Pertemuan Takdir

1.5K 23 3
                                    

William baru saja memasuki gerbong kereta, tas ransel tersampir di bahunya yang bidang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William baru saja memasuki gerbong kereta, tas ransel tersampir di bahunya yang bidang. Matanya menyapu sekeliling, mencari tempat duduknya. Ketika menemukannya, jantungnya berdegup kencang. Di hadapannya, duduk seorang pria Jawa yang tampan dengan tubuh berotot yang tercetak jelas di balik kaosnya yang ketat.

"Permisi," ujar William pelan, suaranya sedikit bergetar. "Sepertinya ini tempat duduk saya."

Budi mendongak, matanya bertemu dengan William. Sesaat, waktu seolah berhenti. Budi merasakan desiran aneh di dadanya saat melihat sosok pria Tionghoa yang atletis ini.

"Oh, silakan duduk," balas Budi, berusaha terdengar kasual meski jantungnya berdebar kencang.

William pun duduk, aroma parfumnya yang maskulin tercium samar oleh Budi. Keduanya berusaha tidak saling melirik, namun diam-diam mencuri pandang satu sama lain.

Budi melirik layar ponselnya dengan cemas. Baterainya tinggal 5%, padahal perjalanan masih panjang. Dia menghela napas pelan, lalu memberanikan diri menatap William yang masih asyik dengan ponselnya sendiri.

"Um, permisi," Budi memulai dengan suara sedikit serak. "Maaf mengganggu. Apa... apa kamu punya power bank yang bisa dipinjam? Baterai ponselku hampir habis."

William mengangkat wajahnya, tatapannya bertemu dengan mata Budi yang gelap dan dalam. Jantungnya berdegup kencang. "Oh, ada nih," jawabnya, berusaha terdengar santai meski tangannya sedikit gemetar saat merogoh tasnya. "Ini, silakan pakai."

Saat Budi mengulurkan tangan untuk menerima power bank, jari-jari mereka bersentuhan sekilas. Keduanya merasakan getaran listrik yang aneh menjalar di tubuh mereka.

"Terima kasih," ujar Budi lembut, senyum kecil tersungging di bibirnya yang penuh.

William mengangguk, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. "Sama-sama. Kita... masih lama ya sampai Surabaya?”

Budi mengangguk, tangannya masih menggenggam power bank dari William. "Iya, masih sekitar 5 jam lagi," jawabnya, matanya tanpa sadar menelusuri lengan William yang berotot dibalik kaos putihnya.

William menggeser posisi duduknya, otot-otot pahanya yang kekar terlihat jelas di balik sweatpants shorts abu-abunya. "Oh, cukup lama ya. Kamu... sering ke Surabaya?"

"Nggak terlalu sering," Budi menjawab, berusaha tidak menatap terlalu lama pada tubuh atletis William. "Kamu sendiri?"

William tersenyum kecil, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Ini pertama kalinya aku ke sana. Agak gugup sebenarnya."

Budi merasakan dorongan aneh untuk menenangkan William. "Jangan khawatir, Surabaya kota yang menyenangkan. Kalau butuh bantuan atau informasi, aku bisa... membantu."

Keduanya terdiam sejenak, merasakan tegangan aneh di udara. Aroma maskulin mereka bercampur, menciptakan atmosfer yang membuat keduanya semakin canggung namun juga penasaran.

Train, I'm in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang