Rahasia William

637 9 0
                                    

Sesampainya di kamar William, mereka meletakkan barang belanjaan mereka di meja. William mengambil dua botol air mineral dari mini bar dan menawarkan satu pada Budi.

"Jadi," William memulai, duduk di tepi tempat tidur. "Soal besok..."

Budi mengambil kursi di dekat jendela, berusaha menjaga jarak yang aman. "Iya, kita berangkat jam berapa?"

Mereka mulai membahas rencana keberangkatan, namun perhatian keduanya terpecah. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang ingin mereka bicarakan tapi tak tahu harus memulai dari mana.

Tiba-tiba, ponsel William kembali berdering. Kali ini, ia menghela napas panjang dan akhirnya mengangkatnya.

"Halo, Ma," ujarnya, suaranya terdengar lelah. "Iya, Ma. Aku baik-baik aja. Nggak, Ma. Aku nggak bisa pulang lebih cepat."

Budi mendengarkan dengan seksama, berusaha tidak terlihat terlalu tertarik. Namun ia bisa merasakan ada ketegangan dalam suara William.

 Namun ia bisa merasakan ada ketegangan dalam suara William

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ma, udah kubilang berkali-kali. Aku nggak mau dijodohin. Iya, aku tahu dia anak temen Mama yang baik. Tapi aku nggak..." William melirik ke arah Budi, lalu mengecilkan suaranya. "Aku nggak bisa, Ma. Ada... ada orang lain."

Jantung Budi seolah berhenti berdetak mendengar kalimat terakhir William. Orang lain? Siapa? Apakah mungkin...?

William mengakhiri panggilan dengan helaan napas panjang. Ia menatap Budi dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Maaf ya, Bud. Itu... itu Mamaku. Dia..."

William terdiam sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "Dia... ingin menjodohkanku dengan anak temannya."

Budi merasakan hatinya rungkad. Jadi ini alasan William terus mengabaikan panggilan ibunya. Kekecewaan dan rasa cemburu mulai merayap dalam dirinya, meski ia berusaha keras untuk menyembunyikannya.

"Oh," hanya itu yang bisa Budi ucapkan, suaranya terdengar hampa.

William membuka mulutnya, seolah ingin menjelaskan lebih lanjut, namun ponselnya kembali berdering. Ia menatap layarnya dengan frustasi.

Budi bangkit dari kursinya, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat. "Sepertinya mama mu masih ingin bicara. Aku... mungkin sebaiknya aku pulang saja."

"Bud, tunggu," William mencoba menghentikannya, tapi Budi sudah melangkah ke arah pintu.

Dengan tangan gemetar, Budi meraih gagang pintu. Namun sebelum ia bisa membukanya, ia merasakan tarikan di tangannya. Dalam sekejap, ia berhadapan dengan William. Sebelum Budi bisa bereaksi, bibir William sudah menempel lembut di bibirnya.

Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, namun terasa seperti selamanya bagi Budi. Ketika William akhirnya menjauh mundur beberapa langkah, suasana di antara mereka menjadi sangat canggung.

William menunduk, wajahnya memerah. "Maaf, Bud. Aku... aku nggak seharusnya melakukan itu. Itu tindakan nggak senonoh dan nggak pantas."

Budi masih terdiam, otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara kebingungan dan... kesenangan?

"Aku..." William melanjutkan, suaranya bergetar. "Aku gay, Bud. Dan aku... aku menyukaimu."

Pengakuan itu membuat Budi semakin bingung. Di satu sisi, ia merasa lega karena ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun di sisi lain, ia belum siap menghadapi kenyataan ini.

"Will, aku..." Budi berusaha bicara, namun kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya.

William menatapnya dengan mata penuh harap dan ketakutan. "Aku mengerti kalau kamu nggak ngerasain hal yang sama. Aku cuma... aku cuma nggak bisa menyembunyikannya lagi."

Budi masih terdiam, pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mengakui perasaannya juga? Atau sebaiknya ia pergi dan menenangkan diri dulu?

"Aku... aku butuh waktu, Will," Budi akhirnya berkata, suaranya nyaris berbisik. "Ini semua terlalu mendadak."

William mengangguk pelan, kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. "Aku mengerti, Bud. Maaf sudah membuatmu tidak nyaman."

Budi meraih gagang pintu lagi, kali ini William tidak menahannya. "Sampai ketemu besok di stasiun," ujar Budi sebelum melangkah keluar.

Di koridor hotel, Budi bersandar ke dinding, jantungnya masih berdegup kencang. Ia menyentuh bibirnya, masih bisa merasakan kehangatan ciuman William. Perasaannya campur aduk - bingung, takut, namun juga... bahagia?

Sementara itu, di dalam kamar, William terduduk di tepi tempat tidur, menyesali tindakannya. Ia takut telah merusak hubungannya dengan Budi. Ponselnya kembali berdering, tapi kali ini ia mengabaikannya, pikirannya dipenuhi oleh Budi dan ketidakpastian yang menanti mereka besok.

Sepuluh menit berlalu dengan lambat. William masih terduduk di tepi tempat tidur, pikirannya kacau. Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Jantungnya berdegup kencang saat ia membukanya dan mendapati Budi berdiri di sana, wajahnya memerah.

"Will," Budi berkata lirih, "Bisa... bisa tolong antarkan aku ke bawah? Aku nggak punya kartu kunci untuk liftnya."

William mengangguk tanpa kata, masih murung. Ia mengambil kartu kunci dan melangkah keluar kamar.

Train, I'm in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang