Bulan yang Cemburu

12 8 2
                                    


Pertemuan Helen dan Armon hari itu berakhir tidak baik. Helen masih belum merasa yakin dan Armon masih belum mampu untuk meyakinkan. Demi menenangkan diri sendiri, mencegah pertengkaran yang tidak diinginkan, Armon pergi dengan sebuah kalimat pamit yang menggetarkan hati Helen di malam itu. "Izinkan aku untuk kembali lebih dulu. Selamat malam. Semoga besok pagi kamu telah menyadari rasa cinta yang aku jatuhkan untukmu."

Cinta, laki-laki itu berbicara tentang cinta. Helen tidak sempat mengatakan bahwa dia telah siap memberikan hatinya sepenuhnya. Bunga-bunga mekar di dada Helen, menjadi godaan besar untuk meruntuhkan keraguan yang selama ini menjadi dinding penghalang dari kisah cintanya. Ada kebahagiaan dan kebebasan yang Armon tawarkan dan dia benar-benar menginginkan itu.

Helen bangun dalam keadaan lebih segar pagi ini. Dia mandi dengan banyak wewangian dan berpakaian dengan gaun yang berwarna lebih mencolok. Dia menata rambutnya dan menggunakan wewangian kulit, lalu mematut diri di depan cermin. Hingga kemudian terinterupsi oleh suara di luar.

"Pesuruh Pangeran Alpha tiba!"

Pintu ruangan terbuka dan seorang pelayan pribadi Armon serta seorang pelayan muda memasuki ruangan dengan langkah yang kuat. Di depan ruang rias Helen, dia membungkuk dan menundukkan pandangan.

"Putri Helen, maafkan kelancangan hamba karena memasuki paviliun tempat Putri beristirahat. Hamba hanya datang untuk memberikan hadiah kecil dari Pangeran Alpha. Hamba harap Putri dapat menerima," jelas pelayan itu.

Helen melambaikan tangan sebentar dan Ana maju untuk mengambil kiriman Armon. Dari kejauhan Helen dapat melihat kalau Armon mengirim sebuah cangkir dan teko, memberinya teh yang telah diseduh. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan sampai memberikan hadiah seperti itu. Tapi Helen senang dan merasa kalau menikmati teh hangat setelah mandi pagi di udara yang dingin akan terasa sangat menyenangkan.

Penuh dengan kehati-hatian, Ana membawa teh itu ke meja di dekat perapian. Dia mengambil jarum pemeriksa racun dan menoleh lalu mengangguk ke arah Helen setelah yakin kalau tidak ada racun di sana. Dari balik tirai tipis dan transparan itu, Ana melihat senyum Helen yang tampak hangat.

Gaun yang awalnya sedikit menyentuh lantai karena Helen yang duduk menatap cermin, kini tampak menggantung. Tubuh ramping dan mungil itu berdiri dan seperti tampak siap menikmati teh kiriman pujaan hatinya. Helen menatap suruhan yang mengantar teh tadi lalu berujar, "terima k... kasih. Kamu d... dapat kembali."

Seperti yang diduga, pelayan suruhan itu tampak terkejut. Dia hampir mengangkat kepala dan menatap wajah Helen karena merasa tidak percaya. Butuh beberapa waktu untuk pelayan itu mengendalikan diri lalu berdiri dengan posisi tubuh yang membungkuk.

"Baik, Putri. Mohon Putri berkenan untuk mengizinkan hamba pergi," ujar pelayan itu.Tidak ada jawaban, tapi kedua pelayan itu langsung pergi. Perhatian Helen hanya terpaku pada teh yang ada di atas meja. Para pelayannya bergerak cepat menyingkap gorden tipis di sana hingga Helen dapat keluar tanpa gangguan.

"S... setelah aku me... menikmati teh i... ini, aku ak... akan m... menemui P... Pangeran Alpha Armon. S... siapkan p... pakaian yang b... bagus tapi tidak b... berlebihan."

***

Tidak seperti yang diharapkan, Helen baru dapat menemui Armon di malam hari setelah laki-laki itu selesai bekerja. Itu juga bukan Helen yang pergi mengunjungi, Armon yang meminta Calan menyampaikan surat kecil bahwa dia yang akan menemui Helen di paviliunnya. Jadi perempuan itu hanya perlu menunggu dengan sabar, seraya meminta pelayan untuk menyiapkan minuman hangat dan makanan kecil.

Langit malam cerah menyambut saat matahari kembali ke peraduan. Bintang bertaburan, bulan menampakkan diri secerah yang dia bisa. Di bawah sana, Helen duduk di kursi yang berada di dekat pohon bunga plum. Secara ajaib, gazebo telah terbangun dan di atas meja, ada beberapa hidangan lezat dan minuman hangat yang tersaji. Jadi Helen menunggu di sana dengan penuh kesabaran dan hati yang berbunga.

Helen tidak menyadari kedatangan orang yang ia nanti ketika matanya agak memicing saat menatap kelopak-kelopak bunga yang jatuh. Bulan tertutup awan dan cahaya api lentera yang bergoyang-goyang membuat suasana jadi remang-remang. Jadi di dalam kesunyian, Armon mengamati siluet yang memesona itu. Meski tidak bisa melihat rupa calon istrinya dengan jelas, Armon tetap saja terpana.

Sebenarnya Armon benar-benar ingin menatapi keindahan itu lebih lama, tapi rasa rindu yang menggedor tulang rusuk membuatnya tahu kalau dia harus segera bertegur sapa. Di atas segala keinginan hati, Armon menggerakkan kaki, menimbulkan suara gemerisik kecil yang mengusik kesunyian di sana. Helen terlihat sedikit menegang lalu menoleh dengan lambat."Telah menunggu lama, Putri?" sapa Armon.

Helen hanya mengangguk samar, menunjukkan senyum kecil yang terlihat seperti godaan untuk mencintainya lebih dalam. Karena senyum itu begitu memikat, Armon sampai harus mengalihkan pandangan ke mana saja. Hingga tanpa sengaja malah menengadah ke langit, melihat bulan yang masih tertutup awan. Pelan-pelan Armon bersungut-sungut, "aku rasa bulan sedang merajuk karena seseorang melebihi keindahannya."

Tidak ada yang menyangka kalau Armon dapat berkata semanis itu. Para pengawal, penasihat dan pelayan yang sedari tadi mengikuti di belakang hanya dapat tertunduk dan mengulum senyum. Beberapa saling lirik dan menggoda lewat ujung mata.

"K... kamu su... sudah tiba," sambut Helen. Ada semburat merah muda lucu di kedua pipinya dan mata yang biru itu mengerjap beberapa kali, seperti kepakan sayap kupu-kupu. Helen tersipu-sipu, tapi juga merasakan benih kebahagiaan mulai menumbuhkan tunas.

Pada perkataan itu, Armon hanya tersenyum. Tidak ada canggung dalam geraknya ketika langsung menempatkan diri di samping Helen, menghadap pada arah yang sama. Berdua di dalam ketenangan malam, menatap pohon bunga plum dan bulan yang masih terlihat samar-samar.

Mereka tidak bersentuhan, apalagi saling menyentuh. Tapi hawa panas yang menguar dari tubuh masing-masing berhasil memberikan kehangatan yang terasa begitu menenangkan. Rasa hangat yang merambat sampai ke hati, memberikan getaran menyenangkan yang begitu candu. Jatuh cinta, rasanya begitu luar biasa.

"A... aku ha... nya ingin ber... berterima k... kasih atas ke... kepedulianmu untuk me... mengirimiku teh tadi p... pagi." Helen memecah kesunyian.

"Kamu menyukainya?" tanya Armon.

Ada anggukan kecil yang malu-malu, merekahkan senyum di wajah tampan Armon. "Aku senang kalau kamu suka. Seperti yang aku perkirakan, teh terbaik di tanah ini akan menjadi favoritmu. Tidak usah berterimakasih, memberikan sesuatu pada kekasihku adalah sesuatu yang wajar." Armon terdengar biasa, tapi Helen yang menggila dibuatnya. Kewarasan Helen meleyot, dia terasa seperti gila. Armon dengan entengnya menyebut kata 'kekasih' dan itu juga tanpa aba-aba.

Senyum Helen begitu lebar, mengembang seperti adonan kue yang diberi terlalu banyak ragi, meluber hingga tidak terbendung. Rasa bahagia yang tidak ingin dikesudahi. Pada akhirnya hanya bisa berharap pada semesta untuk membiarkannya hidup dalam kebahagiaan ini selamanya, membayar semua penderitaan yang telah dia lalui. Meski terdengar kurang ajar, Helen ingin menjadi keras kepala sekali ini saja.

Kutukan Bulan MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang