Bunga di Tanah Berlumpur

10 9 0
                                    

"Siapa di sana?" tanya Armon, seraya memutar tubuh dan menghunuskan pedang.

Bunyi gemerisik pohon dan semak kembali terdengar, Armon menjadi lebih waspada. Namun pelan-pelan, Helen keluar dengan tangan terpaut di depan tubuh dan wajah penuh malu-malu. Dia tengah mengintip Armon dan ketahuan adalah dua hal yang membuatnya luar biasa malu. Tapi Armon yang berkeringat dan kotor, berpenampilan bak seorang petarung, juga membuat Helen tersipu.

Seperti gagu, Armon hanya terperangah. Mulutnya membuka dan menutup seperti ikan yang megap-megap mencari udara. Dia merasa gelagapan tertangkap berpenampilan seperti ini di depan sang pujaan hati, sungguh tidak pantas.

"Pelayan, bawa Putri Helen ke gazebo dan layani dia. Aku akan mengganti pakaian dulu."

Hanya anggukan yang Armon berikan sebelum pergi bersama Dama. Hari ini rupanya dia harus berhenti berlatih lebih cepat, melewatkan agenda mandi bersama para prajurit yang jarang-jarang bisa berlatih bersamanya. Mungkin dia akan ikut lain kali, nanti saat adiknya telah kembali, itu juga jika danau belum membeku akibat cuaca dingin.

Helen hanya menurut dan mati-matian untuk menjaga sikap tubuh agar tidak menunduk. Sekarang dia menjadi pusat perhatian di tengah tempat berlatih pedang. Pakaian khas seorang putri klan di tanah becek, tentu akan terlihat seperti sesuatu yang kontras, seperti bunga yang mekar di kubangan lumpur. Jadi Helen hanya menyibukkan diri mengangguk berwibawa seraya memilih jalan yang lebih bersih, sebab sedari tadi Ana kerepotan sendiri berjaga-jaga kalau gaunnya yang cukup panjang dan indah bersentuhan dengan kotoran.

Di gazebo, Helen duduk dengan nyaman dan memperbaiki letak mantel di bahunya. Para pelayan segera menghidangkan teh dan cemilan kecil. Mereka memastikan kalau Helen menikmati waktu sendirinya terlebih dahulu sebelum Armon datang menemani.

"Maaf, apa aku membuatmu menunggu lama?"

Suara menyenangkan itu segera membuat Helen menoleh. Perempuan itu menggeleng kecil di dalam senyumnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga, sebuah respon dari rasa malu dan antusias. Hal yang membuat Armon turut tersenyum juga.

Mata Armon melirik pada banyak pelayan di sekitar mereka, tidak tahu kenapa mereka harus sebanyak ini. Padahal para pelayan sedang berbondong-bondong melayani untuk melihat secara langsung putri yang katanya cantik sekali. Pada akhirnya mereka tidak lagi penasaran, dapat tidur nyenyak dan mendapatkan sesuatu yang dibanggakan pada keluarga yang tidak bekerja di lingkungan klan.

"Aku rasa kami tidak memerlukan pelayan sebanyak ini. Kecuali pelayan pribadi dan orang-orang yang bersangkutan, kalian dapat kembali." Demi kenyamanan Helen dan kesenangan pribadi untuk berduaan, Armon memberikan perintah.

Para pelayan memberi hormat hampir bersamaan. Lalu bergerombol pergi dari sana, menciptakan senyum geli di wajah Helen. Dia tidak tahu apa yang para pelayan itu lakukan sebenarnya, tapi pemandangan itu cukup lucu, terlihat seperti segerombolan semut yang bubar setelah ditakuti.

Dama segera mengambil alih tungku untuk menyeduh teh untuk tuannya yang tidak terlalu suka makan banyak cemilan setelah berlatih. Adapun Ana menyusun ulang beberapa cemilan, meletakkan cemilan kesukaan Helen untuk berada paling dekat dengan perempuan itu. Melayani dalam diam, sebenarnya 2 orang itu agak canggung untuk bertingkah seperti angin di sekitar orang-orang yang sedang jatuh cinta, masih belum terbiasa.

"Apakah terjadi sesuatu hingga kamu datang menemuiku?" Armon menyesap tehnya dan di dalam hati memuji kemampuan Dama dalam membuat teh.

"T... tidak m... memiliki teman, aku hanya k... kesepian."

"Tidak ada hal yang ingin dilakukan?"

"A... ada. Tapi t... terkadang ingin mencari teman b... berbincang. Selain itu, a... aku m... merindukanmu."

Suara yang agak berbisik itu membuat siapapun di sana tersipu, apalagi Armon. Seketika saja, kembang api seperti meledak-ledak di dalam dada, membuat jantungnya berpacu cepat. Perutnya juga seperti siap memuntahkan kupu-kupu yang sibuk mengerumuni bunga cinta yang mekar dan merekah.

"Ah..., seperti itu rupanya," balas Armon sekenanya, seketika seperti seorang pujangga yang hanya bisa membuat syair sumbang, terlalu bingung untuk bereaksi seperti apa.

Ada kesunyian yang mengambang, mengambil alih untuk beberapa waktu sementara mereka mengendalikan perasaan masing-masing. "Sudah beberapa hari di klan ini, apakah kamu merasa betah? Atau ada yang membuatmu tidak nyaman?"

Helen menggeleng kecil lalu mendesah senang setelah menyesap teh panasnya. "T... tidak ada yang m... membuatku tidak betah. Aku nyaman."

"Syukurlah. Semoga kamu tetap seperti ini, bahkan setelah kita menikah. Bagaimanapun juga, klan ini akan menjadi rumahmu."

"Aku juga b... berharap begitu. Pada a... awalnya m... mungkin aku t... tidak pernah b... berharap untuk m... menganggap klan ini r... rumah."

Ada perasaan tidak terima dan tidak percaya di dalam diri Armon. Jodohnya, seseorang yang menjadi alasan kelahirannya berkata seperti itu. Apa yang terjadi? Armon jelas ingin tahu. 

"Kenapa?"

"Ada b... banyak rumor t... tentang kamu di l... luar sana, P... Pangeran," jawab Helen seraya terkekeh kecil. Lucu sekali melihat wajah cemberut dari laki-laki itu.

"Lalu hal itu membuatmu takut untuk menikah denganku?"

"Ya."

Sahutan singkat Helen membuat Armon merasa tidak nyaman. Bersungut-sungut dia kembali bertanya, "rumor itu, tentang apa?"

"Semua t... tentang k... kisah yang m... memberikan rasa ngeri dan enggan. Kisah-kisah yang m... membuatku ingin m... melarikan diri, menolak untuk m... menjadi t... takdirmu." Jawaban Helen membuat Armon hampir melongo. Rumor macam apa yang membuat Helen hampir tidak masuk ke dalam pelukannya?

"Aku bukan orang yang terlalu penyabar. Tapi sekarang aku tengah mencoba," balas Armon.

Helen tertawa keras karena kata-kata itu, hingga Armon juga ikut tertawa. Sedari tadi mereka berbincang tentang hal yang sama, tapi hanya Armon yang tidak tahu detailnya. Jika seperti ini, orang yang penyabar juga tidak akan mau menunggu. Helen pasti sedang menggodanya.

"Rumor itu b.. berkata bahwa kamu a... adalah orang yang m... mengerikan. Kamu m... membunuh tanpa ampun, m... menyakiti tanpa t... terkecuali. P... perawakanmu tinggi besar dengan mata merah, w.. wajah marah dan b... bertaring tajam, khas s... seorang haus darah."

Rumor yang buruk, Armon merasa tidak terima. Dia sebegini tampan dan gagah, bagaimana bisa disamakan dengan binatang buas? Rumor yang terlalu mengada-ada, entah siapa pencetusnya.

"Kenapa aku digambarkan sebagai monster yang jelek sekali? Ada hal lain?"

"Ada. Rumor juga b... berkata bahwa tidak ada yang bisa m... menikah d... denganmu, sebab kamu akan m... membunuh setiap p... perempuan yang akan menjadi istrimu."

Armon terkekeh tidak percaya. Rumor itu pasti adalah rumor yang menjadi alasan utama Helen sempat ingin menolak perjodohan mereka. Dia bergumam dalam perasaan dongkol, "ada-ada saja."

"Tapi rumor t... terakhir adalah rumor yang paling a... aneh, b... bertentangan dengan rumor s... sebelumnya. Bahwa kamu memiliki s... seorang p... perempuan di sisimu. Perempuan d... dari klan yang hilang di... dimakan k... kegelapan. Perempuan itu dikatakan d... diboyong olehmu ke dalam klan, s... sebagai calon s... selir."

Tidak ada petir di siang ini, tapi Armon merasa begitu terguncang. Napasnya terhenti sebentar dan keringat dingin sebesar biji jagung menuruni pelipis. Helen tahu?

Kutukan Bulan MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang