Jika dan Semoga

4 3 0
                                    

Entah bagaimana, tapi Pemimpin Bandit yang memiliki harga dan kepercayaan diri tinggi itu kini berakhir babak belur. Berada dalam ketidakberdayaan, dia tanpa sengaja berlutut di depan Armon yang masih berdiri tegak di depannya. Bukannya tidak tersentuh, Armon memang memiliki beberapa memar dan luka, tapi tidak separah Pemimpin Bandit itu. Dia memiliki seorang guru bela diri terbaik di negari ini, akan sangat memalukan jika dia kalah.

"Apa yang terjadi? Siapa kamu sebenarnya?" Jari Pemimpin Bandit itu menunjuk wajah Armon dengan tidak sopan, sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum kecil. Ewan merasa inilah saatnya untuk memperkenalkan diri.

"Akhirnya kamu berlutut juga. Tidakkah sebaiknya kamu berlutut sejak awal? Sejak kamu menembakkan anak-anak panah ke arah kami, kamu seharusnya telah berlutut memohon ampun."

Pemimpin Bandit itu menoleh ke arah Ewan yang tengah berdiri dari posisinya duduk dan dengan santainya mengusap bokong yang agak kotor.

"Apa maksudmu?" tanya seorang anggota bandit yang sedari tadi hanya dapat meradang marah dalam diam.

"Sedari tadi bukannya menjadi teliti dan menilai situasi, malah sibuk sendiri merasa menjadi tak terkalahkan," cibir Ewan, "gunakan mata kalian! Lihat bendera yang berkibar di pihak kami. Kamu pikir kami orang-orang sembarangan? Ditambah lagi, yang di depanmu, kamu tidak lihat jubah dan plakat yang dia kenakan?"

Para anggota bandit terdiam dan sang pemimpin menengadah lalu menyipitkan mata dalam upaya melihat lebih jelas. Bendera hitam dengan lambang bulan keemasan, senada dengan warna jubah yang tersampir di bahu laki-laki yang tadi bertarung dengannya. Ada plakat yang tergantung di ikat pinggang, sebuah plakat familiar, tapi tidak sering dilihat. Satu-satunya di negeri ini, satu-satunya di tanah ini, dan hanya ada satu orang yang memilikinya, Pangeran Alpha Klan Lunar Empire.

"Berlutut!" Pemimpin Bandit seketika berteriak.

Bunyi gedebum yang nyaris bersamaan muncul saat para anggota bandit dan pemimpinnya berlutut di atas tanah. Armon mengerutkan wajah dan nampak serius. Matanya menatap tajam pada pemimpin bandit yang berlutut seperti seorang pendosa.

"Hamba yang bodoh ini telah berani mencari masalah. Hamba berhak menerima hukuman!" Suara yang gagah berani, begitu lantang mengakui kesalahan. Seharusnya dia menjadi seorang kesatria, bukan bandit.

"Apa aku seperti monster yang haus darah di matamu?"

"Hamba tidak berani! Maaf telah menyinggung Yang Mulia!"

"Yang Mulia apanya?" desis Armon, "bangun!"

Pada pemandangan itu, Ewan terkekeh-kekeh. Armon kesal, Ewan senang. Sebagai seorang calon pemimpin klan, Armon adalah orang yang terlalu rendah hati, sehingga Ewan senang mengerjainya karena itu.

"Pangeran Alpha tidak akan menghukummu, santai saja. Dia malah akan marah jika kamu terus berlutut." Ewan membantu Pemimpin Bandit untuk bangkit berdiri, perkataannya hampir membuat Armon memutar mata jika tidak ingat dia harus membawa wibawanya.

"Baik." Pemimpin Bandit memberi isyarat agar seluruh pengikutnya untuk bangun juga.

"Ah ... Anda ...," kata Pemimpin Bandit kembali berbicara, "Jenderal Ewan?"

"Hei! Kamu kenal? Aku rupanya begitu terkenal!"

"Jenderal terbaik yang tidak pernah kalah dalam perang dan pertarungan, bukan hanya kenal, saya bahkan kagum."

Setelah itu Ewan bertingkah seperti di atas langit, tertawa dengan puasnya. Dia menepuk-nepuk punggung Pemimpin Bandit itu dan mulai membual kalau prestasinya bukan apa-apa. Padahal untuk mencapai itu, Ewan harus melewati neraka dalam berlatih.

"Karena hamba kalah dalam duel, mari, hamba akan layani tuan-tuan sekalian dengan pantas. Markas kelompok kami tidak jauh dari sini."

Pasukan kemudian pergi ke atas gunung, sedikit lebih tinggi dari tempat mereka dihadang, namun masih di kaki gunung. Kelompok bandit dan prajurit klan saling bantu, menarik kuda dan mendorong kereta. Mereka memasuki markas tepat saat jenggala akan disinari oleh rembulan.

***

"Pasukan panahan sudah disiapkan?" Di padang pasir yang basah oleh darah, keringat dan air mata itu, sang pemimpin bertanya.

"Alpha Damian, apakah pasukan panahan dan pasukan terakhir harus dikerahkan sekarang?" Sang Jenderal, seseorang yang berada di dekatnya dan menaiki kuda yang terluka tampak ragu.

"Apa yang kamu takutkan? Nasib prajurit hanya dua, mati dalam perang atau selamat karena sedikit keberuntungan. Jangan banyak tanya! Kamu adalah seorang Jenderal, Harres!"

Orang yang dipanggil Harres itu tahu kalau dia harus mengumpulkan akal sehat, akal sehat seorang prajurit. Satu-satunya yang harus dia percayai saat ini adalah takdir, takdir yang dipenuhi dengan jika dan semoga. Bahwa jika dia bertahan hidup, semoga itu karena klannya menang. Atau jika dia mati, semoga akhir hidupnya tidak menyakitkan dan dia dalam keadaan yang indah.

Di dalam tarikan napas panjang, dia berteriak dan menggoyangkan tali kuda. Damian juga turut memicu kuda itu untuk berlari kencang, memukul bokongnya yang terluka. Kuda itu, setelah ini pasti akan mati, tapi ia harap semua jika dan semoga yang mungkin kuda itu miliki juga bisa didengarkan Semesta.

Harapan pada takdir tidak hanya tumbuh di dalam relung Harres --atau mungkin kuda yang berlari sekuat tenaga--, tapi juga di dalam hati Damian. Namun ada jika dan semoga lain yang selalu dia panjatkan dalam semua doa di setiap untaian napasnya yang tersisa. Bahwa jika dia mati, semoga istri dan anak yang begitu dia cintai hidup dalam kenyamanan, keamanan dan kedamaian selamanya. Permintaan pada semesta atas nama cinta --sebab dia lebih buruk daripada sekedar budak cinta--. Doa pada Semesta teruntuk nama-nama yang tercinta, Eleanor dan Darren.

***

Mimpi pendek tadi malam berhasil mengusik tidur Armon, membuatnya bangun dengan perasaan yang familiar. Perasaan yang sama sejak pertama kali dia melihat mimpi itu sebagai seorang anak laki-laki berumur 17 tahun. Kenangan yang hidup di dalam dirinya, meski raga saat itu telah hanya bersisa tulang.

Mimpi pendek itu menyiksa, tapi juga dirindukan. Kenangan mereka membuat sedih, tapi juga bahagia. Beberapa kali Armon melewati jalan panjang namun pada akhirnya kembali pada tempat yang sama. Armon beberapa kali bertekad untuk melupakan, memulai lagi segalanya karena telah mendapatkan kebebasan dari Semesta --setidaknya dilahirkan kembali di klan yang meskipun sama, itu dia anggap sebagai kebebasan--. Namun lama, setelah beribu-ribu kali menyangkal dan mencoba lari, dia baru menyadari kalau porosnya selalu sama. Senyum pertama kekasihnya, sebuah takdir yang membuatnya selalu jatuh cinta. Senyum pertama seorang perempuan yang selalu membekas dan mengikutinya hingga akhir.

"Tidak tidur?" Sebuah suara mengusik subuh sunyi Armon. Itu adiknya, datang seraya menyampirkan jubah hangat dan ikut memandangi bulan.

Armon hanya menggeleng sedikit lalu membiarkan cahaya dari yang terindah di malam hari menyiram wajahnya. Ada kesedihan dan keputusasaan, sesuatu yang Ewan benci. Wajah itu, wajah yang hanya muncul setelah pengusikan terang-terangan oleh Semesta.

"Mimpi yang sama? Yang mana? Aku yang terlihat pengecut atau dia yang terlihat gagah berani?"

Armon tertawa dan menyahut dengan suara rendah yang agak serak, "aku tidak memimpikan Eleanor yang gagah berani malam ini. Mimpiku singkat, tapi tentang kamu yang pengecut."

Wajah Ewan berkerut-kerut lalu ikut tertawa juga. Dia dulu begitu pengecut dan itu adalah dosa, hingga Semesta memberinya karma ini. Karma yang sesungguhnya tidak pernah dia inginkan, tapi juga tidak dapat dia abaikan.

Kutukan Bulan MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang