Kerinduan

8 3 0
                                    


Untuk sekedar memenuhi alasan untuk bertemu, Helen harus menunggu agak lama. Bahkan saat bulan telah bulat besar di atas kepala, dia masih menunggu. Sudah beberapa hari, tapi entah bagaimana, dia rasanya bahkan sanggup menunggu bertahun-tahun, seakan dia pernah melakukan itu sebelumnya.

Perempuan itu duduk di gazebo, tanpa alas kaki memeluk lututnya dan menyangga sesekali dagu mungilnya di sana. Dari sela-sela mantel yang menyelimutinya, jari-jari Helen yang tidak tertutup sarung tangan, menyusup keluar. Tangan kecil itu menengadah, dengan sabar menunggu beberapa kelopak bunga untuk hinggap di sana, singgah dan menjadi manisan bagi mata Helen yang tampak begitu menyukainya. Seperti anak kecil, Helen menggelung dirinya dalam mantel dan gaun sederhana.

Tiba-tiba cahaya kekuningan berpendar dari ujung lorong arah gerbang paviliun. Para penjaga yang awalnya hanya berdiri agak rileks dan mengintip sedikit-sedikit Helen yang begitu indah, langsung menegakkan tubuh. Ana dan beberapa pelayan lain yang tadinya berdiri di dekat Helen langsung mundur perlahan, bersembunyi di balik bayangan atap. Helen masih tidak menyadari semua itu, tidak sadar kalau cahaya kekuningan itu berasal dari lampion penerang jalan yang Dama bawa untuk tuannya.

Armon berjalan mendekat dan mata hitam pekatnya melihat tanah lalu dengan sengaja menginjak dedaunan yang terlihat paling kering. Diusik oleh sesuatu yang tidak terduga, Helen menoleh lalu matanya membesar. Dia yang awalnya terlihat begitu mungil, langsung menyembulkan tangan dan kaki dan dengan hampir melompat berdiri dengan gugup untuk menyambut Armon.

Ada kekeh yang Pangeran Alpha itu sisipkan dari sela bibir yang agak kedinginan. Dia menghela napas sebentar, menampakkan asap yang terbentuk karena angin panas dari celah bibir. "Kamu begitu terkejut, apa kedatanganku tidak diinginkan?"

Helen menggeleng cepat dan menyahut dengan gagap yang cukup parah, "b... bukan s... seperti itu! B... bukan tidak di... diinginkan, tapi t... tidak di... disangka."

"Aku memang sangat sibuk. Tapi untuk mengunjungimu, kurasa bukan suatu kesulitan."Karena memang jika dia adalah prioritas, maka hal lain dapat diatur. Armon hanya memperlakukannya selayaknya seorang pasangan dan dia berharap kalau Helen menerima itu dengan baik. Bahkan dia berharap kalau perempuan itu akan terbiasa.

"Kamu tidak berbohong, bunga ini memang sangat indah. Apalagi saat pohonnya disinari cahaya bulan purnama yang putih cerah, begitu cantik."

Armon tidak hanya memuji bunga-bunga plum itu, tapi perempuan dengan gaun dan mantel sederhana yang masih menatapnya dengan mata biru yang bening. Meski gaun dan mantel itu berwarna hambar, serta sama sekali tidak memakai perhiasan rambut, Helen tetap menarik perhatian. Di bawah cahaya bulan, perempuan itu terlihat cantik.

"K... kamu ingin m... minuman h... hangat?" tanya Helen saat laki-laki itu mengusap telapak tangan yang masih terpasang sarung tangan penghangat.

"Tidak juga." Armon mendudukkan dirinya di samping Helen.

"N... nanti jika kamu m... mau, k... katakan saja p... padaku."

"Hanya mengenakan mantel? Di mana sarung tangan penghangatmu?" tanya Armon saat melihat jari-jari kecil Helen cukup gemetar.

Helen hanya menggeleng pelan sebelum mengepalkan tangan dengan kening berkerut, seakan baru sadar kalau jarinya kedinginan. Armon juga ikut mengerutkan kening lalu melepas sarung tangan dan mengusap-usap telapak tangan pada satu sama lain. Dia menyentuh tangan Helen dengan lembut lalu menggumam, "maaf."

Ada kehangatan yang menjalar dari ujung jari laki-laki itu. Apalagi saat tangannya digenggam dengan penuh sayang, rasa hangat itu sampai ke hati. Juga sampai ke pipi sampai pipi mungil Helen memerah.

Kutukan Bulan MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang