EPILOG

88 9 1
                                    

Siapa yang Punya Anak

"Cepet turun! Nanti Mami tinggal, nih." 

"Aduh, Mami! Kenapa harus buru-buru, sih?"

Mulutmu super sibuk. Sambil menggenggam baju kau jalan ke sana-sini. Berbicara dengan nada tinggi memerintah seorang gadis kecil berambut merah dengan wajah tengil yang melompat dari ujung ke ujung setiap benda. Super sibuk. Kau bahkan mempunyai rencana mendaftarkannya ke acara NInja Warrior. 

"Yaudah, ah. Terserah kamu." Kau berdiri tegak mengambil posisi netral berdiri di tengah ruangan. "Pake sendiri bajunya!" Dilempar dress kecil dengan motif bordiran stroberi itu ke arah anakmu. 

"Mamiiii!!!" 

Kau menutup pendengaranmu. Berjalan ke tujuan lain, di mana seorang yang sama kelakuannya dengan manusia kecil tadi pasti sedang melakukan hal yang sama menyebalkannya. 

"Astaga!" Kau berkacak pinggang. Frustasi sekali. Dari ambang pintu kau menahan amarah besar. Suamimu yang kau harapkan dapat membantu, nyatanya masih memakai handuk dan main game seru di atas kasur. 

"Nih, ya lama-lama gua pergi duluan, nih."

"Sabar sayang, nyelesain misi 5 menit lagi." 

Hancur sudah rencanamu untuk menghadiri pernikahan teman lebih awal. Adakah kesadaran yang bisa dibeli di dunia ini? Kalau iya, kau mau satu. 

Pagi yang kacau. Kau jelas sangat tau kata-kata manis suamimu yang 3 tahun lalu membujukmu untuk hamil adalah omong kosong. Mana kontribusi dan kerja sama mengurusi anak itu? Yang ada hanya Karma yang memberi contoh buruk yang selalu anakmu tiru. 

"Mamihhh. Aku minta maaf, aku gabisa pake ini. Tolong pakein." Mata sembab dan hidung merah. Anakmu sepertinya habis mendapat karma y ang sebenarnya. 

Dengan kesabaran yang sudah terisi lagi kau pakaikan gadis kecil itu baju.  "Makanya--" 

"Iya-iya, Mamih. Maafin aku, ya ..." Aduh, kalau bukan karena cara ngomongnya yang manis dan lucu, sudah kau gampar mulut kecil yang menginterupsi itu. 

"Mamiii ... aku minta maaf."

"Iya, Mami maafin." 

Tanggung jawab yang begitu besar. Banyak pula waktumu tersita untuk keluarga. Kalau ditanya kau menikmatinya atau tidak, jawabannya kadang-kadang. Kalau ditanya kau bersyukur atau tidak, jawabannya juga kadang-kadang. 

Sering kali kau menangis saat di mana Karma tidak dapat mengerti apa yang sudah kau hadapi. Sifat tengil dan sedikit mental perisak suamimu itu masih tidak bisa menghilang sampai sekarang. Sosok yang kau harap menjadi seorang ayah yang tegas, mengayomi, dan bojaksanaa tidak didapat dari Karma. Bahkan suamimu sampai sekarang tidak dapat membedakan keadaan sudah ada anak dan belum. 

Seperti saat ini, kehectican pagi tadi sudah berlalu. Kondangan berjalan lancar, anakmu memang sempat menjadi pusat perhatian karena terlalu aktif pergi ke sana dan ke sini. Hingga rasa lelahnya membuncah, kemudian melakukan hal rewel di tengah santapan dessert manismu dan Karma. 

"Manis banget anak kita," ucap Karma melirik anak kalian yang sedang tertidur di pangkuanmu. 

"Giliran gini aja, anak kita." Kau terkekeh sedikit sambil memperhatikan dan mencurigai arah jalan.

"Hehe, masih sore, nih. Jalan-jalan, yuk!" ajak Karma. 

Alismu sedikit memincing. "Tapi ini jalan ke rumah mama," keluhmu. 

Priamu itu menyengir. Membuatmu curiga dengan apa yang dia rencanakan di dalam kepalanya. "Aku kangen banget sama kamu," ucapnya. 

Dan benar saja. Rupanya mertuamu sudah di telfon sejak lalu. Mereka sudah menunggu di depan pintu menantikan gadis kecil yang sedang kau pangku. 

Mobil Karma terparkir di depan lobby, dengan cepat dia turun dan membuka pintu mobilmu. Kau yang tidak tahu hal ini akan terjadi hanya bingung. Apakah ada persediaan pampers dan susu di rumah ini untuk anaknya? Dan bagaimana nanti tantrumnya anak ini saat bangun mengetahui orangtuanya pergi tanpanya. 

"Sini," ucap Karma mengambil anak kalian.

 Diserahkan lagi gendongan itu ke ayah mertuamu yang selalu tersenyum menyambut anakmu kapan pun. Sementara itu, dengan wajah tersenyum juga, mama mertuamu tidak dapat menahan muntahan kata-kata yang mungkin dia tahan. 

"Anak siapa, sih. Hari-hari dititipin di sini," keluhnya. 

Kau dan Karma tertawa. 

"Kan, Mama sama Papah yang minta. Tanggung jawab, dong ..." 

Kau sedikit syok dengan perkataan suamimu itu. Sudah biasa mendengar perkataan sejenis itu darinya, tapi kau tidak membayangkan yang ini benar-benar diucapkan. 

Ya segitu saja. Cepat-cepat kalian berpamitan, dan kau meminta maaf sudah datang dadakan tanpa persiapan, bagaimana pun itu salah anak mertuamu juga. Kau tidak berperan di sini. 

Mobil melaju dengan cepat, Karma bersenandung sepanjang jalan, sementara kau masih tidak mengerti ada apa hari ini. Apa yang menampar Karma sampai merubahnya tiba-tiba begini. Lagu-lagu romantis nakal yang terus terputar? Itu Karma yang dulu. 

"Hah?! Kita ngapain ke hotel?" tanyamu saat mobil yang suamimu kendarakan membelok. 

Karma terkekeh, menahan jawaban sampai seorang petugas valet menghampiri. 

Dilepaskan sabuk penganmu, kemudian Karma melepaskan sabuk pengamannya sendiri. "Ayo turun, kita mau seru-seruan!" 

"Tiba-tiba banget!!!" 

"Susah aku cari waktu dari kantor sama sesuain haid kamu. Sekarang mumpung aku lagi mood banget dari semalem."

"Terus kenapa nggak di rumah aja?"

"Bosen. Anak kita juga kalau jam 2 malem masuk kamar."

"Bisa kita kunci pintunya, Karma." 

"Beda sayang. Kamu mau lagi enak-enaknya malah digedor-gedor? Sebel banget aku kalo udah begitu." 

"Yaudah. Sampe pagi, yak!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[✔️]Pasutri Gaje | Karma AkabaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang