Bel kuliah berbunyi nyaring di sekitar lorong panjang. Itu saatnya untuk berlari mengejar waktu dan berharap dosen tidak melihatku melamun di depan pintu kelas karena terlambat.
“Damn it!” Tumpahan kopi menjadi awal kesialannya hari ini.
“Mangkanya jangan lari-lari. Pakek matamu Na,” geram bocah ingusan sok paling nakal.
“Kalo bisa kupukul kepalamu ya Bren!” Diana berteriak nyaris melempar Brendo dengan sepatu pantofelnya. “Bocah setan.”
Malang sudah nasib Diana hari ini. Tampilannya sudah tidak karuan lagi dan sialnya ia melamun di depan pintu kelas. Terlambat. Pak Ali sudah sibuk mengajar di dalam. “Brendo sialan.”
Sekarang apa yang harus dilakukan? Berdiam diri berharap Pak Ali melihat keberadaannya atau mengetuk pintu agar tidak ketinggalan kelas dengan konsekuensi mendapat poin dan omelan Pak Dosen. “Ke dua pilihan yang buruk.”
Diana menghela nafas. Memberanikan diri untuk mengetuk pintu, ia siap menerima apa pun. Tapi sayang, Pak Ali lebih dulu membuka pintu. Diana membujur kaku dengan senyum yang gugup.
“Diana sudah berapa kali kamu telat di kelas saya?” Pak Ali menatap Diana.
Diana tersenyum kaku. “Saya sudah berusaha tidak telat pak. Tadi saya sudah lari, eh malah ketumpahan kopi karena ke tabrak Brendo. Ini buktinya Pak.” Diana menunjukkan bukti tumpahan kopi.Dosen Diana hanya menggeleng. “Poin ke lima untuk kali ini Diana.”
“Loh Pak, gak ada niatan buat memaklumi saya hari ini pak?” rengek Diana mencoba merayu dengan melasnya.
“Tidak ada alasan Diana. Cepat duduk! Masih untung kamu dapat ilmu dari saya.” Pak Ali menegaskan omongannya.
Diana menunduk. “Baik Pak, mohon maaf sekali lagi dan terima kasih banyak.”
Pak Ali mengangguk.
“Hari ini sial banget kamu Na,” bisik Tiana. Teman sejati Diana.
“Diem.”
Jam mata kuliah Pak Ali telah selesai. Diana dan Tiana menyusuri lorong loker untuk mengambil barang tinggalan mereka.
“Sekarang apa ini? Pacarmu ada di depan lokerku lagi Tiana.” Diana menggerutu sudah berapa kali pacarnya yang pikun ini bersandar di depan lokernya. Tiana tertawa kecil. “Jangan tertawa terus, suruh pacarmu jangan bersender di situ.” Diana melirik Tiana.
“Ih kenapa? Gak ada yang rusak kok kalo pacarku di sana.”
Diana mendengus jengkel. “Mataku yang rusak Tiana. Sudah tahu temanmu ini jomblo dari lahir. Eh malah pamer kemesraan, segala kiss sembarangan lagi di depan mata gadis kecil polos ini.” Diana menunjuk kedua matanya. Batinnya jengkel sekali.
Tiana tertawa mendengar ocehan Diana, tapi apalah telinganya tebal sekali. Tidak mendengarkan malah berlari menghampiri kekasihnya dan seperti apa yang Diana bilang. Kiss sembarang.
“That’s gross.” Diana dengan malas menutup matanya sesekali merengek harus menunggu dua orang ini menyingkir.
Hari yang melelahkan untuk Diana yang tak punya pasangan. Di mana-mana orang-orang bergandengan, selfie bersama, tertawa, dan berpelukan. “Oh god! Godaan apa ini?!”
Dan sampailah ia di kasur empuk yang berantakan. Diana menghela nafas di sela-sela bantal dan selimut. Diana mengetik sesuatu di handphone nya. “So tired.” Sebuah pesan singkat yang akan dibaca oleh dua orang sahabatnya. Tiana dan Lia.
Bunyi notif satu. Balasan dari Tiana berupa foto selfie berdua dengan pacarnya sekaligus caption bertulis “Tetap semangat Diana, cari pendampingmu agar tetap tersenyum seperti aku”.
Bunyi notifikasi ke dua dari Lia. Serupa, tapi tak sama. Model pameran Lia berupa vidio berisikan Lia dan pacarnya yang sedang berpelukan menonton film.
Diana mengernyitkan alisnya, sudah tidak bisa berkomentar apa-apa hanya bisa membalas, “What is that?!” dengan acungan jari tengah sebagai pembalasan.
Mereka berdua puas melihat balasan Diana.
Diana mendengus kesal. “Persetan kalian.”
Dini hari, sudah menjadi rutinitas bagi kalangan perempuan untuk overthinking. Diana terbaring menatap atap polosnya. Ditemani cahaya remang-remang dan bunyi musik yang masih menyala.
Apakah sebahagia itu mempunyai pasangan? Selama hidupnya ia belum merasakan punya pasangan, tapi di lain sisi ia juga malas kalau dirinya punya pendamping.
Berdasarkan apa yang dia lihat, model pacaran sekarang hanya untuk permainan. Awalnya saja yang bahagia, merasakan butterfly, atau apalah itu dan berakhir putus karena penyebab yang tidak diketahui atau hal sepele atau hal red flag yang baru diketahui. Itu mengerikan.
Hidupnya terlalu serius dalam hal ini, di daftar list-nya ia berencana memulai hubungan dengan perasaan yang mantap dan benar-benar jatuh cinta kepada dirinya yang apa adanya. Tapi apalah daya sejauh ini tidak ada yang masuk dalam kriterianya.
Apakah ini bijak? Of course untuk Diana sendiri. Bermain perasaan itu menyakitkan, bukan begitu girls?
Tapi setiap harinya, batinnya iri. Lirik kanan lirik kiri semuanya berpasangan.
Tidak jarang ia menendang kerikil di depannya karena kesal. Ah tapi masa bodo, di lain kebahagiaan mereka, pasti tidak jarang mereka saling bertengkar bukan? Nikmati keberuntungan dan ke single-an mu Diana. Mari kita lihat who is your true love?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuck Virtual Love, Indeed
Teen FictionPenasaran gak sih sama unsur kebenciaan cerita ini? Se benci itu kah dengan hubungan virtual? Apa yang terjadi dalamnya? Pada intinya, berhubungan dengan orang yang tepat membuat banyak perasaan delusional. Di cerita ini suatu kepercayaan akan ter...