Pertengahan semester tiga sudah dihantam banyak pekerjaan, desakan, dan omongan tak penting—apalagi kalau bibi datang. Beginikah nasib mahasiswa yang merasa salah jurusan padahal baru pertengahan semester tiga? Tiada hari tanpa mengeluh dan mencaci maki.
Setiap harinya, setiap menit, dan detik berlangsung seperti biasanya. Sungguh biasa. Jam 06.00 tepat aku harus berjalan untuk berangkat kuliah lantas melihat lalu lalangnya berbagai pasangan yang saling mencium selamat tinggal, berucap kalimat manis “Have a nice day Honey”.
Begitulah kira-kira kalimat yang masuk ke dalam lubang telinga. Cukup menggelitik bulu halus. Tak ada hari yang damai, hanya hari tiada stress.
“Ini gimana sih? Salah mulu. Aku harus gimana?!” Gebrakan meja penuh emosi memenuhi ruang kamar Diana. Ibunya yang kaget menghampiri Diana. “Kenapa Dek?”
Diana memasang mata berkaca-kaca karena dirinya kesal. “Ini loh salah terus. Harus ngulang berapa kali.”
Ibunya memeluk erat putri kecilnya. Walaupun sudah berkepala dua masih pantaskan dipanggil putri kecil? Ku harap begitu.
“Tidak apa, pelan-pelan aja Sayang. Mau Mama bikin kan teh? Atau jalan-jalan?” Ibu Dina mengelus rambut ikalnya.
Diana menggeleng. “Teh aja.”
“Tumben?”
“Banyak binatang bermesraan Ma.” Diana mengusap ke dua matanya yang basah.
“Emang lagi musim kawin Dek?” Ibunya bertanya lagi.
“Mungkin aja. Liat tuh teman-teman Ana, banyak yang mesra-mesraan.”
“Yaampun manusia kamu panggil binatang Dek?” Ibu Diana berucap yak percaya.
Apakah se-kudet ini ibuku kali ini? Bukannya kelihatan ya yang berwujud binatang di zaman ini. “Manusia juga bisa jadi anjing, babi, dan ular Ma. Jadi jangan kaget.”
Ibu Diana menepuk dahi. “Astaga. Sebentar ya Mama mau ke dapur. Lima menit.”
Diana tersenyum lantas mengangguk. “Titip camilan Ma!”
Dua jam mata Diana ter fokuskan ke layar laptop. Membenahi apa yang salah dan menambah apa yang kurang. Sampai dimana matanya berair, Diana meneruskan untuk istirahat sejenak.
Tak disengaja Diana melihat layar laptopnya yang menyala dengan tampilan iklan vidio game. Semacam game multiplayer dan banyak hal di dunia online tersebut. Diana merasa ia lah targetnya. Menekan layar laptopnya dan mencoba mengunduh.
Ternyata tidak seburuk itu. Ini lumayan untuk orang stress sepertiku. “Ah coba bentar gak masalah kan?” gumam Diana. Ia meraih headphone-nya.
40 menit Diana mulai enjoy dengan segala isi dari game tersebut. Ia bisa bertemu, mengobrol, dan bermain dengan orang yang tak dikenal.
“Salam kenal Tyna, senang bertemu denganmu.” Diana bicara melalu headphone nya. Suara mereka saling terkoneksi.
“Aku juga Na,” balas Tyna. Mereka saling berbincang dan bercanda. Sampai akhirnya ada yang menyerobot untuk bergabung. Sekedar bertanya sih, tidak lebih.
“Halo, ada yang tahu letak bola pantul itu?” Seorang laki-laki bertanya kepada mereka berdua.
Diana menjawab, “Itu di sebelah kanan.”
“Terima kasih,” ucapnya lantas pergi begitu saja.
“Kamu kenal dia Na?” Tyna bertanya.
“Oh enggak. Aku cuman mau menjawab pertanyaannya aja,” jawab Diana.
Melanjutkan apa yang ia kerjakan di dalam game.
Soal bola pantul. Ah itu permainan pangkur dengan bola yang memantul, kadang bola itu berbunyi konyol. Aku tidak suka mendengar bunyi kentut milik bola tersebut. Herannya selera orang tadi buruk sekali. Beberapa kali aku lihat orang itu masih memainkan bola pantul konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuck Virtual Love, Indeed
Teen FictionPenasaran gak sih sama unsur kebenciaan cerita ini? Se benci itu kah dengan hubungan virtual? Apa yang terjadi dalamnya? Pada intinya, berhubungan dengan orang yang tepat membuat banyak perasaan delusional. Di cerita ini suatu kepercayaan akan ter...