Anne dan Dira hanya bisa membeku, napas mereka tertahan, saat serigala itu bersiap melompat untuk menghabisi mereka. Seolah waktu berhenti, kematian tampak begitu dekat.
Namun, tepat saat serigala raksasa itu mulai menerkam, tiba-tiba muncul kilatan cahaya biru yang terang benderang di hadapan mereka. Sesosok kakek berjubah panjang muncul dari balik semak-semak, berjalan santai seolah tak peduli pada ancaman besar di depannya. Dia tampak tua, dengan janggut putih panjang, tapi matanya berkilat penuh semangat.
"Hei, hei, hei! Ada yang butuh bantuan di sini?" katanya dengan suara ceria, seolah-olah tidak ada bahaya besar di hadapan mereka.
Anne dan Dira hanya bisa ternganga, melihat kakek itu melambaikan tongkatnya yang bersinar. Cahaya biru melesat dari ujung tongkat, mengenai serigala raksasa itu dan membuatnya terlempar ke belakang, meringis kesakitan.
"Bapak... siapa?" Dira bertanya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Oh, panggil saja aku Kakek Ne-" belum sempat berkenalan, serigala itu mengeluarkan raungan yang membuat kakek itu terhempas.
"Hei, sepertinya dia kuat juga, ya?" Kakek Neo tertawa lagi, kali ini sedikit lebih serius, saat serigala itu berdiri kembali dengan cepat, lebih marah daripada sebelumnya.
Serigala itu melompat maju, tapi Kakek Neo dengan gesit mengelak ke samping. Dengan sekejap, dia menciptakan dinding cahaya biru yang menahan serigala itu. Namun, tidak disangka, serigala tersebut menghantam dinding itu dengan kekuatan luar biasa, membuatnya retak dan akhirnya pecah.
"Waduh, nggak nyangka kuat juga," gumam Kakek Neo, matanya kini fokus sepenuhnya. Dia mengayunkan tongkatnya dengan serius, memanggil badai petir kecil di atas serigala itu. Petir menyambar turun, menghantam serigala berkali-kali, namun binatang itu terus maju, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Anne dan Dira melihat dengan takjub, melihat bagaimana kakek itu berjuang dengan segala kemampuan magisnya. Cahaya biru, petir, bahkan tembok es, semuanya dilontarkan oleh kakek itu, namun serigala tetap berusaha mendekat, dengan kekuatan yang luar biasa.
"Gila, dia lebih keras kepala dari batu!" ujar Anne dengan tegang, tapi masih sempat mencubit Dira karena ketakutan.
Kakek Neo mulai tampak sedikit lelah, tapi senyumnya tidak hilang. "Oke, rupanya kamu serius. Baiklah, kalau begitu kita buat ini lebih menarik."
Kakek Neo mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, kali ini cahaya biru memancar lebih terang, membuat serigala itu berhenti sejenak, merasa terancam. Dengan satu gerakan tangan, Kakek Neo mengubah tanah di bawah kaki serigala menjadi lumpur bergerak yang mulai menarik kaki-kaki raksasanya ke dalam.
Serigala itu berjuang, menggeram dengan keras, tetapi lumpur semakin cepat menariknya ke dalam. Kakek Neo melangkah maju, semakin memperkuat mantranya, hingga akhirnya, dengan satu raungan terakhir, serigala itu terseret sepenuhnya ke dalam lumpur dan hilang dari pandangan.
Anne dan Dira menghela napas lega, hampir tidak percaya mereka masih hidup. Kakek Neo, yang kini terlihat sedikit lebih lelah, menoleh ke mereka dengan senyum puas.
"Kakek, sihir kakek... luar biasa!" Anne akhirnya bersuara, masih terengah-engah.
"Panggil aku Kakek Neo, anak muda. Ayo, kalian pasti lelah. Kita ke rumah kakek dulu, minum teh, dan ceritakan semuanya. Lagipula, kalian pasti ingin tahu di mana sebenarnya kalian ini bukan? Aku tahu kalian bukan berasal dari sini." Kakek Neo mulai berjalan, mengajak mereka berdua dengan santai, seperti tidak terjadi apa-apa barusan.
Anne dan Dira saling pandang, lalu mengikuti Kakek Neo dengan langkah lebih ringan. Meski mereka baru saja hampir dimangsa serigala, kehadiran kakek ini memberi mereka harapan baru, dan mungkin sedikit petualangan yang tak terduga.
Saat mereka mulai berjalan menjauh, Anne dan Dira masih belum sepenuhnya pulih dari kejadian yang baru saja terjadi. Namun, tiba-tiba terdengar raungan yang menggema lagi. Anne berhenti, menatap ke belakang dengan wajah penuh ketakutan.
"Kakek Neo... itu suaranya..." Anne berbisik, suaranya gemetar.
Kakek Neo, yang masih berjalan santai, tiba-tiba berhenti dan mendengarkan dengan seksama. "Hah? Kok bisa? Dia masih hidup?"
Dari balik bayangan pohon-pohon besar, serigala raksasa itu muncul kembali, dengan mata yang semakin berkilat tajam. Meski tubuhnya terlihat berlumuran lumpur dan terluka, makhluk itu tetap maju, geram dengan semangat yang lebih besar.
Kakek Neo dengan cepat mengayunkan tongkatnya lagi, kali ini menciptakan jebakan baru yang berupa lingkaran api di sekitar serigala. Nyala api berkobar tinggi, membatasi pergerakan serigala itu. Tetapi, dalam satu lompatan yang mengagumkan, serigala itu berhasil melompati lingkaran api dengan mudah, melanjutkan serangannya.
"Wah, susah ini!" Kakek Neo menggerutu sambil mundur. Dia bersiap untuk mengeluarkan sihir terkuatnya, tapi saat hendak bergerak maju, tiba-tiba dia berhenti dan wajahnya berubah tegang. Kakek Neo terdiam di tempatnya, memegangi pinggangnya dengan ekspresi meringis.
"Aduh, encok kumat!" Kakek Neo menepi, wajahnya menahan sakit, dan akhirnya dia duduk di atas batu besar di dekatnya. "Sebentar... aduh... ini nggak bagus..."
Anne dan Dira yang tadinya kagum, kini berdiri terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya saling pandang, dan Anne hampir tidak bisa menahan kata-katanya.
"Dira... ini serius, kan? Kakeknya... encok?" Anne mengucapkan kata-katanya perlahan, seolah masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Dira menatap Kakek Neo yang kini duduk menahan sakit, dan akhirnya hanya bisa terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. "Ini... pasti mimpi buruk...," Dira bergumam pelan.
Sementara itu, serigala semakin mendekat, dengan raungan yang semakin mengancam. Anne dan Dira mulai panik, mereka melihat ke arah Kakek Neo yang sekarang malah mengeluh soal encoknya, bukannya fokus pada pertarungan.
"Kakek, gimana nih? Serigalanya udah dekat!" Anne berteriak, suaranya mulai penuh kekhawatiran.
Kakek Neo hanya bisa mengangkat tangan, "Tenang... tenang... kasih kakek waktu sebentar... cuma butuh istirahat... aih... nyeri banget..."
Dira hampir tidak percaya dengan situasi yang mereka hadapi. Dari yang awalnya merasa aman di tangan seorang penyihir kuat, kini mereka hanya bisa memandangi serigala raksasa yang semakin mendekat, sementara Kakek Neo duduk dengan encok yang tak kunjung membaik.
Sementara Kakek Neo masih berusaha mengatasi encoknya, serigala itu kini hanya beberapa langkah lagi dari Anne dan Dira, yang berdiri terpaku di tempatnya. Jantung mereka berdegup kencang, mereka tahu waktu mereka semakin menipis.
Namun, di detik-detik terakhir, Kakek Neo, dengan wajah yang sedikit menyeringai, tiba-tiba berdiri tegak meskipun masih terlihat kesakitan. "Oke, encoknya sudah mendingan sedikit... Sekarang, mari kita selesaikan ini!"
Bersambung...
Disclaimer: Cerita ini adalah karya fiksi belaka. Nama, tempat, karakter, dan elemen lainnya adalah hasil imajinasi penulis dan tidak berkaitan dengan kejadian nyata atau karya lainnya. Semua hal dalam cerita ini sepenuhnya merupakan karangan dan tidak dimaksudkan untuk menjiplak atau meniru karya lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rigel (Return of the Star Warriors)
FantasiaApa yang terjadi ketika kamu tidak lagi mengendalikan tubuhmu? Ketika ingatan yang bukan milikmu mulai muncul di benakmu? Anne merasa ada yang sangat salah dalam dirinya, tetapi apa itu? Awalnya semua berjalan baik-baik saja, namun semuanya berubah...