Setelah pertemuannya yang mengguncang dengan Louis, Jesselyn berdiri di tengah-tengah ruang tamu mansion keluarga Prabhat, masih merasakan kegelisahan di hatinya. Ia berjalan perlahan menyusuri koridor besar itu, mencoba memahami perasaannya. Tiba-tiba, langkah lembut dan suara hangat menyapa dari belakang. Suasana tegang itu segera menghilang ketika ibu Louis, Ny. Prabhat, muncul dengan senyum ramah dan penuh kehangatan. Sosok wanita paruh baya itu seperti membawa angin segar dengan aura yang lembut, membuatnya nostalgia dengan ibunya sendiri yang telah tiada.
Ibu Louis, Nyonya Prabhat, mendekatinya dengan senyum lembut dan penuh kehangatan, sama seperti yang selalu ia ingat. Wanita itu tampak anggun, dengan postur tinggi dan pakaian elegan, namun aura keibuannya begitu kuat. "Oh, Jesselyn, sayangku," kata ibu Louis dengan suara yang menenangkan seperti lagu pengantar tidur, "Ibu turut berduka cita atas kehilanganmu. Orang tuamu adalah orang-orang yang luar biasa." Ia menggenggam tangan Jesselyn dengan lembut, matanya menunjukkan rasa simpati yang mendalam. "Tapi kumohon, selagi kamu di sini, anggaplah ini rumahmu. Anggaplah aku sebagai ibumu, dan ayah Louis sebagai ayahmu sendiri. Dan tentu saja, kamu harus menganggap Louis sebagai saudaramu." Matanya berbinar-binar karena kehangatan. "Ibu selalu menginginkan seorang anak perempuan, dan sekarang, rasanya akhirnya aku memilikinya." suaranya seperti menenangkan kegelisahan gadis yang di depannya itu.
Jesselyn tersenyum lemah, merasa dihargai, meski hatinya masih terasa berat. Teringat kembali pada masa-masa dulu ketika Nyonya Prabhat sering mengajaknya berbincang saat ia berkunjung. Wanita itu selalu penuh kasih, seperti ibunya sendiri. Namun, bayangan Louis yang begitu dingin tadi masih menghantui benaknya. "Itu sangat baik, Tante. Terima kasih. Aku benar-benar menghargai kebaikanmu."
Ny. Prabhat melingkarkan lengan di sekitar bahu Jesselyn dengan kasih sayang. "Ayo, aku ingin mengajakmu berkeliling. Mungkin bisa membuatmu sedikit lebih nyaman. Kamu harus terbiasa dengan setiap sudutnya, nak." Ny. Prabhat tersenyum lembut saat menawarkan, kemudian mengulurkan tangan dengan ramah. Jesselyn menerima tawaran itu, dan mereka mulai berjalan-jalan mengelilingi mansion yang luas dan megah itu.
Saat mereka mulai berjalan melewati rumah besar itu, ibu Louis menunjukkan berbagai ruangan dan fitur dengan antusias. Berjalan melintasi lorong-lorong yang panjang, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya matahari. Ny. Prabhat antusias menjelaskan setiap ruangan dengan detail.
Koridor panjang dan langit-langit yang tinggi itu dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan, membuat mansion itu terasa bak istana. "Ini adalah ruang tamu utama, tempat kami biasa menjamu tamu. Perabotan di sini sebagian besar adalah peninggalan keluarga kami, sudah ada selama beberapa generasi." jelasnya, sambil menuntun Jesselyn ke ruangan megah dengan jendela tinggi yang membiarkan sinar matahari keemasan masuk. Ruang itu dihiasi dengan perabot antik nan elegan, sofa kulit lembut yang mewah, karpet tenun rumit yang menutupi lantai marmer, dan sebuah perapian besar dengan lukisan keluarga Prabhat tergantung di atasnya. Perapian besar dengan rak yang dihiasi foto-foto keluarga dan vas-vas hias mendominasi salah satu dinding. "Kami sering berkumpul di sini pada malam hari. Tempat ini sangat nyaman untuk menghabiskan waktu bersama keluarga."
KAMU SEDANG MEMBACA
"HEIR OF FORTUNE, HEART OF THORNS": Jeongwoo Jihan
Fanfiction⎙ Visualisasi: 𝐉𝐞𝐨𝐧𝐠𝐰𝐨𝐨 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐧 ─────────── "Tahukah kamu berapa kali aku bertanya-tanya mengapa? Mengapa kamu, dari sekian banyak orang, memunggungiku? Apakah itu menyenangkan? Menyakitiku, melihatku menderita...