Seperti dihantam oleh gelombang emosi yang datang silih berganti. Seolah-olah dinding yang kokoh di sekelilingnya menjadi saksi bisu kekacauan di dalam hatinya. Hanya beberapa saat yang lalu, gadis yang baru saja ia temui adalah cinta pertamanya-dan sekaligus orang yang kini ia benci. Kombinasi perasaan yang membuatnya hampir kehilangan kendali. Perasaan itu-campuran antara cinta, marah, dan kecewa-menghantam dirinya tanpa ampun. Hati Louis terhuyung dalam badai perasaan yang tak kunjung reda. Seolah emosi yang tersimpan selama bertahun-tahun berusaha membebaskan diri.
Denting langkah kakinya memantul di sepanjang lorong lantai dua, berderap cepat seolah ingin melarikan diri dari perasaannya sendiri. langkahnya penuh kemarahan yang sulit ia kendalikan. Sampai di kamar, tanpa sadar ia mendobrak meja kerjanya dengan kekuatan yang hampir menghancurkannya, menciptakan suara keras yang bergema di ruangan. Meja itu bergetar sebelum akhirnya diam. Namun, ia sendiri masih gemetar karena kemarahan yang membara di dadanya dan keringat dingin membasahi keningnya.
Tangan kekarnya gemetar, nafasnya memburu, mencoba mencari ketenangan yang sulit ditemukan. Tersengal-sengal, frustrasi, tangannya secara naluriah dengan kasar mengusap rambutnya yang berantakan, sementara ia menghela nafas panjang, berusaha meredakan gejolak di dalam dirinya. Namun, bayangan Jesselyn terus menghantuinya.
"Air panas, sekarang!" teriaknya. Namun, tatapannya tak terarah pada para pelayan yang tampak terburu-buru di pintu, segera bergegas menuruti perintahnya. "Ya, tuan muda" ujar kepala pelayan.
Matanya tetap terpaku pada sebuah foto kecil yang terbingkai rapi di meja kerjanya. Menyimpan kenangan tak tergantikan. Tangan Louis gemetar ketika meraih bingkai itu, memperhatikan gambar masa kecilnya bersama Jesselyn. Pandangannya kabur oleh amarah dan kesedihan yang bercampur. Senyum mereka dalam foto itu begitu murni, tak ternoda oleh kebencian yang kini mengisi ruang di antara mereka.
Di dalam foto itu, terpampang senyum masa kecilnya bersama Jesselyn-satu-satunya orang yang berhasil membuat hatinya merasakan cinta, namun juga kebencian yang dalam. Matanya menatap dalam-dalam foto tersebut, bibirnya bergerak pelan, hampir seperti gumaman, "Aku membencimu..." katanya, nada suaranya rendah, hampir patah. "Tapi... kenapa rasanya aku masih mencintaimu?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya serak.
Dia merasa dadanya seperti dihantam ribuan perasaan. Campuran antara kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan sedikit kilasan kebahagiaan yang hampir terlupakan. Hatinya ingin menangis, tapi kebenciannya membuatnya ingin berteriak. Hatinya terasa terbakar, tapi bagian lain dari dirinya merindukan kehangatan yang dulu pernah ia rasakan.
"Kenapa aku masih merasakan ini?" gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang meluap. Tatapannya terhenti pada senyumnya sendiri di foto itu-senyum seorang anak yang tak mengenal kepahitan. Namun kini, setiap kali melihat wajah gadis itu, hatinya berdenyut, menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan.
Louis tertawa getir, mengepalkan tangan "Pria sok kuat ini..." katanya pelan, memalingkan wajahnya dari cermin, suaranya pecah, tapi ia cepat menguasai diri."terus berusaha menyembunyikan semua emosi di balik topeng dingin. Padahal hanya dengan melihat mu lagi setelah sekian lama aku hanya ingin memelukmu..." desahnya, kali ini suaranya terdengar lebih tenang, namun tidak kurang getir.
"Anak laki-laki yang bahkan masih berumur 9 tahun, menyukai gadis kecil berumur 6 tahun. Lucu rasanya, aku pikir itu adalah rasa suka yang hanya akan lewat begitu saja. Aneh"
"Mengapa rasa ini tak juga hilang? Kenapa setiap kali aku melihatmu, ada sesuatu yang menahan langkahku?" Matanya berkilat-kilat, penuh perasaan campur aduk-sedih, marah, kecewa, dan entah kenapa, masih ada seberkas rasa bahagia yang samar-samar.
Tapi dia tidak, Louis menolak untuk tunduk pada perasaan itu. Louis memilih untuk tetap dalam kebekuan yang telah lama ia bangun. Kebencian yang sudah berakar kuat, atau setidaknya, begitulah yang ia yakini. Ia meneguhkan dirinya, mempertahankan sikap dingin dan kebencian yang selama ini menjadi tamengnya. Memupuk kebenciannya sebagai pelindung dari rasa sakit yang lebih dalam.
Di tangan Louis, foto itu tergenggam dengan erat, jari-jarinya yang kuat menggenggam tepi bingkai, dan sejenak ia ingin menghancurkannya, menghapus semua kenangan yang ia anggap menyakitkan.
Tangannya gemetar dan mengepal erat, berusaha melawan dorongan hatinya yang ingin melempar bingkai itu dan menghancurkannya. Jari-jarinya yang kuat mencoba meremas bingkai kayu tersebut. Tapi di saat yang sama, Louis tahu ia tak akan pernah bisa melakukannya. Tidak ada kekuatan yang cukup untuk merusak kenangan masa lalu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan foto itu kembali di atas meja.
Tangannya gemetar. Dengan napas tertahan, ia berkata lirih, mendesah "Bahkan untuk menghancurkan foto masa kecil kita... aku tidak sanggup." bisiknya, penuh kekesalan pada dirinya sendiri. Suaranya serak. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan setiap air mata yang mencoba turun. Ia tahu, meskipun hatinya dipenuhi oleh kebencian, cinta yang pernah ada masih tetap tinggal-tersembunyi di balik topeng dingin yang ia kenakan setiap kali mereka bertemu.
"Aku seharusnya tetap kuat. Dia tak boleh tahu... perasaan ini, perasaan yang seharusnya kubuang sejak dulu."
Ia menatap foto itu lebih lama, menggenggam bingkainya dengan erat sebelum akhirnya meletakkan kembali foto itu di meja, tetapi hatinya tetap terjebak di masa lalu yang tak bisa ia hapus. Tangannya masih gemetar, dan hatinya masih tak menentu. Sebuah tarikan napas berat terlepas dari dadanya. Ia berbalik, membelakangi gambar itu, melawan godaan kenangan yang perlahan-lahan ingin membawanya kembali ke perasaan yang berusaha ia kubur.
Louis menghembuskan napas panjang, menegakkan tubuhnya dengan sikap dingin yang dipaksakan. Ia memilih kebencian untuk menutupi kelemahannya.
Dengan langkah berat, ia menuju pintu, berharap air panas bisa membasuh luka-luka yang tak terlihat di hatinya. Namun, dalam setiap langkah, ia tahu, kenangan tentang Jesselyn akan selalu ada-mengintai, menuntut, dan tak pernah benar-benar hilang. Menari-nari di sudut hatinya yang tersembunyi, mengingatkannya pada cinta yang tak bisa ia hapuskan, tak peduli seberapa dalam kebenciannya.
Ia memasuki kamar mandi remang-remang yang hanya diterangi lilin dan dindingnya berlapis marmer. Melepaskan semua pakaiannya dan berendam dalam air hangat. Memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya di tepi bak mandi megahnya berusaha menenangkan emosinya yang belum stabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HEIR OF FORTUNE, HEART OF THORNS": Jeongwoo Jihan
Fanfiction⎙ Visualisasi: 𝐉𝐞𝐨𝐧𝐠𝐰𝐨𝐨 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐧 ─────────── "Tahukah kamu berapa kali aku bertanya-tanya mengapa? Mengapa kamu, dari sekian banyak orang, memunggungiku? Apakah itu menyenangkan? Menyakitiku, melihatku menderita...