Langit sore di atas mansion keluarga Prabhat yang berwarna lembut, membentang luas dengan semburat cahaya keemasan dan ungu yang menari di horizon. Udara segar pegunungan menyapu lembut wajah Jesselyn ketika dia mengikuti langkah Nyonya Prabhat, wanita elegan yang anggun dalam setiap geraknya. Jesselyn mengagumi arsitektur megah dari mansion itu, sementara angin lembut bertiup, membawa aroma tanah dan dedaunan yang segar. Suara sepatu hak tinggi wanita itu beradu halus dengan lantai marmer saat mereka berjalan melewati lorong panjang dengan jendela besar yang menyajikan pemandangan indah di luar.
Mereka akhirnya tiba di lapangan berkuda yang terbuka luas, dengan pagar kayu putih yang membingkai pemandangan indah itu. Derap kuda yang gagah terdengar di kejauhan, memecah keheningan siang yang tenang. Dan menampilkan taman-taman hijau, hamparan tanah hijau memanjang sejauh mata memandang, diapit oleh deretan pohon yang rindang. Nyonya Prabhat tersenyum anggun saat mereka mendekati lapangan itu. Mata Jesselyn tertuju pada seorang penunggang kuda.
Di sana, di tengah lapangan, tampak sosok Louis menunggangi kudanya dengan anggun. Pria itu tampak begitu memukau saat ia menunggangi kudanya, tubuhnya yang tegap dan atletis bergerak seirama dengan gerakan lincah kuda hitam yang ia tunggangi. Dalam balutan jaket kulit gelap yang menonjolkan lekuk ototnya, serta celana berkuda yang melekat sempurna di tubuhnya menambah kesan gagah, sarung tangan kulit, dan sepatu bot mengilap yang memeluk kakinya sempurna. Di punggungnya, tersandang busur dan beberapa anak panah.
Fokusnya terpaku pada target yang berdiri jauh di seberang lapangan. Tangan kokohnya memegang busur dengan satu tarikan penuh kesiapan, anak panah berada di ujung tali busur, siap melesat kapan saja. Otot-otot lengan dan bahunya terlihat tegang saat ia fokus, matanya menyipit dengan konsentrasi, menyelaraskan arah kuda yang berlari dengan bidikan panah yang ia genggam. Setiap gerakannya mencerminkan ketenangan yang dilatih, penuh konsentrasi, seolah dunia di sekitarnya tak lagi ada, hanya tersisa dia, kudanya, dan busurnya. Cahaya matahari yang memantul dari rambut hitamnya yang sedikit basah karena keringat menambah pesonanya, membuat sosoknya terlihat lebih mengintimidasi namun tak terbantahkan memikat.
Mata Jesselyn tak bisa berpaling. Sosok Louis di atas kuda, dengan angin yang sesekali menerbangkan rambut hitamnya yang sedikit basah karena keringat. Sorot mata Louis yang tajam dan sikapnya yang penuh fokus, tak hanya memancarkan kekuatan, tetapi juga pesona yang menakjubkan, yang bahkan ia sendiri sulit hindari. Gerakan tangannya ketika menarik tali busur begitu tegas, namun halus, seperti tarian yang dirancang dengan sempurna. Cahaya matahari sore yang jatuh di atas lapangan kuda itu membuat siluet tubuh Louis semakin terlihat gagah.
Setiap hentakan kuda, setiap gerakan busur yang ia arahkan, membuat Louis terlihat seolah berasal dari dunia yang berbeda-seorang pangeran dalam cerita dongeng yang tak terjangkau.
Jesselyn hanya bisa menatapnya dengan mata membulat, mengingat Louis yang dulu, seorang anak lelaki dengan senyum nakal, kini berubah menjadi pria dewasa dengan pesona yang tak terelakkan.
"Oh, lihatlah." Suara Nyonya Prabhat memecah lamunan Jesselyn. Sang wanita paruh baya tersenyum lembut anggun yang menghiasi bibirnya, namun ada sesuatu dalam senyumannya yang elegan dan penuh kebanggaan. Matanya mengikuti setiap gerakan Louis. "Putraku sedang berlatih," katanya seraya menunjuk ke arah Louis dengan anggunnya.
Jesselyn hanya bisa mengangguk pelan, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, teringat interaksinya terakhir kali dengan Louis yang penuh ketegangan. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Nyonya Prabhat menatapnya dengan senyum licik namun penuh kasih.
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah Jesselyn, seolah menangkap sesuatu di matanya. "Nak, apa kamu tidak ingin mencobanya? Aku bisa menyuruh Louis untuk mengajarimu." senyum tipis bermain di bibirnya. "Aku masih ingat dulu, kamu selalu bersemangat melihat Louis menunggangi kuda. Kamu akan bersorak dengan suara kecilmu, 'Aku ingin seperti Kak Louis!' Benar, bukan?" Nyonya Prabhat tertawa kecil, suaranya lembut namun tajam, seolah menggali kenangan masa kecil Jesselyn yang sudah lama terkubur. Mengembalikan mereka ke masa kanak-kanak yang penuh nostalgia.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HEIR OF FORTUNE, HEART OF THORNS": Jeongwoo Jihan
Fanfiction⎙ Visualisasi: 𝐉𝐞𝐨𝐧𝐠𝐰𝐨𝐨 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐧 ─────────── "Tahukah kamu berapa kali aku bertanya-tanya mengapa? Mengapa kamu, dari sekian banyak orang, memunggungiku? Apakah itu menyenangkan? Menyakitiku, melihatku menderita...