⎙ Visualisasi: 𝐉𝐞𝐨𝐧𝐠𝐰𝐨𝐨 𝐉𝐢𝐡𝐚𝐧
───────────
"Tahukah kamu berapa kali aku bertanya-tanya mengapa? Mengapa kamu, dari sekian banyak orang, memunggungiku? Apakah itu menyenangkan? Menyakitiku, melihatku menderita...
Jesselyn berdiri di balkon kamarnya, menikmati sejuknya angin malam yang membawa kenangan masa kecilnya bersama Louis. Matanya masih tertuju pada rumah pohon yang tampak sunyi di ujung taman. Terlalu banyak memori di sana-tawa, canda, dan bahkan rahasia kecil yang mereka bagi. Meski sekarang kenangan manis itu kini terasa pahit. Louis bukan lagi anak laki-laki yang dulu selalu mengayominya, melindunginya. Namun, mengapa hatinya masih terasa berdebar setiap kali melihatnya?
Pikirannya kembali ke peristiwa yang baru saja terjadi. Masih bisa merasakan intensitas tatapan Louis yang tertuju padanya, meskipun Louis sudah tidak berada di sampingnya. Pertemuan terakhir mereka telah mengguncangnya, kata-kata dinginnya lebih menyakitkan daripada luka fisik. Namun, ada sesuatu dalam matanya-sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang tak terkendali.
"Mengapa dia harus menatapku seperti itu?" bisiknya pada dirinya sendiri, pikirannya memutar ulang cara Louis menatapnya sebelumnya. Mata yang dulu ia kenal begitu baik, kini dipenuhi dengan sesuatu yang gelap dan tak terucapkan.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat Jesselyn tersentak dari lamunannya. Di ambang pintu berdiri Louis, dengan tatapan tajam dan penuh emosi yang sulit ia sembunyikan. Penampilan Louis sekarang tampak lebih segar setelah berendam. Rambutnya masih sedikit basah dan berantakan, dan sekarang hanya mengenakan kaos biasa dan celana pendek.
"Apa kamu menikmati masa tinggalmu di sini, Jesselyn?" suaranya dingin, hampir seperti ejekan.
Jesselyn menatapnya, berusaha menguasai diri. "Louis, aku... Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab itu."
Louis mendekat, langkahnya penuh dengan kekuatan yang hampir mengintimidasi. Namun, di balik semua itu, Jesselyn merasakan ada sesuatu yang lain-sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Sudah bertahun-tahun," gumam Louis, mendekat hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. "Kamu datang kembali seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi. Seolah-olah aku hanyalah bagian dari masa lalumu yang mudah dilupakan."
Jesselyn mengangkat pandangannya, jantungnya berdegup kencang. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Beban masa lalu yang mereka bagi menggantung di antara mereka seperti tirai berat-begitu banyak kata yang tak terucapkan, permintaan maaf yang belum tersampaikan, dan perasaan yang belum terselesaikan.
"Aku minta maaf," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Louis tertawa, tapi itu adalah tawa dingin dan hampa. "Maaf? Setelah bertahun-tahun, itu saja yang bisa kamu katakan?" Dia melangkah lebih dekat, memperkecil jarak di antara mereka, wajahnya kini hanya beberapa inci dari wajah Jesselyn. kehadirannya begitu besar hingga membuat Jesselyn hampir tak bisa berdiri. Membuatnya tersengal, dan dia bisa merasakan kehangatan napas Louis di kulitnya.
Jesselyn meringis sejenak kemudian menghela napas panjang, menahan perasaan yang bergejolak di dadanya. Matanya bertemu dengan tatapan Louis, tajam dan penuh kekecewaan. Ia tahu apa yang akan keluar dari bibir Louis, dan ia juga tahu bahwa itu hanya akan menambah bara pada api yang sudah lama menyala di antara mereka. "Louis," suaranya terdengar lembut, nyaris berbisik. "Aku mengerti... kau masih terjebak dalam masa lalu kita. Tapi, bisakah kamu berhenti membicarakannya? Bukankah kita sudah cukup jauh berjalan?"
Louis, yang sejak tadi berdiri mematung dengan lengan kekarnya terlipat, menatapnya dengan sinis. Sorot matanya gelap, berkilat marah. Ia menyipitkan matanya, seolah kata-kata Jesselyn hanya membuat luka itu semakin dalam. "Berhenti?" suaranya dingin, hampir seperti desisan. "Kenapa? Karena kamu tidak mau mengakui kesalahanmu?"
Suara itu, dengan nada penuh sindiran dan kekecewaan, membuat jantung Jesselyn berdebar lebih cepat. Namun ia berusaha tetap tenang. Tangan mungilnya gemetar sedikit di sisi tubuhnya, tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Louis.
"Tidak," jawabnya, suaranya bergetar meski ia berusaha tegar. "Bukan seperti itu... karena setiap kali aku mencoba menjelaskan, kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kamu selalu memotong, selalu menilai sebelum aku bisa berbicara."
Louis menatapnya, tatapannya semakin tajam. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, begitu tegang dan penuh pertanyaan yang belum terjawab. Dengan nada yang lebih dalam, ia menantang, "Kalau begitu, sekarang bicaralah. Aku mendengarkan."
"Louis..." ucap Jesselyn dengan ragu-ragu untuk melanjutkannya. Suaranya nyaris tak terdengar sekarang, jantungnya berdebar lebih keras daripada sebelumnya. Napasnya sesak, ruang di antara mereka dipenuhi emosi yang terlalu kuat untuk dikendalikan.
Louis menatapnya, matanya bergejolak dengan badai emosi-kemarahan, luka, dan sesuatu yang lain... kerinduan. Perlahan, seolah-olah dia melawan setiap nalurinya, dia mengangkat tangannya, dengan lembut menyibakkan sehelai rambut dari wajah Jesselyn. Sentuhannya lembut, hampir penuh kasih sayang, dan itu mengirimkan getaran listrik melalui tubuhnya. "Katakan" suaranya sekarang lembut hampir berbisik
Napas Jesselyn tertahan saat jemarinya terus menyentuh pipinya, hangat dan tak terduga lembut. Seolah-olah, untuk sesaat, tembok-tembok yang dibangun Louis di antara mereka runtuh, memperlihatkan kerentanan yang selama ini ia coba sembunyikan.
Sebelum akhirnya Jesselyn berani melanjutkan kalimatnya "Aku... aku tak bisa menjelaskannya sekarang," gumamnya pelan, matanya menunduk, tidak berani menatap Louis. "Ini belum waktu yang tepat."
Mendengar jawabannya, Louis terdiam sejenak, menatap wanita di depannya dengan ekspresi tak percaya. Louis menatapnya lama, matanya yang pernah penuh harapan kini hanya menyisakan kekecewaan yang dalam. Reflek Louis menarik jari-jarinya dari wajah kecil Jesselyn. Senyum kecut menghiasi wajahnya, namun senyum itu lebih menyerupai luka yang belum sembuh. "Belum waktu yang tepat?" ulangnya sinis, seraya menahan tawa yang getir. "Sudah terlalu lama, Jess. Dan kamu masih mencari-cari alasan." ia tertawa lagi, tawa yang tak membawa kebahagiaan, melainkan penuh kegetiran. "Membuang-buang waktu saja," gumamnya, suaranya serak oleh luka yang semakin menganga.
Kata-kata itu seperti duri yang menancap di hati Jesselyn. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan, tapi bibirnya terkunci. Namun ia tahu, dalam setiap tawa pahit itu, ada luka yang tak pernah sepenuhnya ia pahami.
Jesselyn mengangkat wajahnya, matanya berembun, namun tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menahan Louis yang perlahan berbalik pergi. Hanya angin yang berhembus dan gemericik air yang terus menjadi saksi bisu dari percakapan mereka, yang berakhir tanpa kepastian.
Di bawah langit yang masih kelabu, dua hati yang terluka kembali berpisah, masih terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu yang seolah tak mau melepaskan mereka.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejauh ini makasih buat teman-teman yang sudah mau support dan menghargai usaha Zane dengan vote dan komen. Akun Zane kecil tapi dua hal yang membuat Zane semangat menulis sampai sekarang adalah kalian.