01. Anak Baik

43 9 27
                                    

Semenjak menyadari aku lahir tanpa tahu siapa Ibu, Ayah, bahkan tanggal lahir, aku hanya akan tersenyum lebih sering dibandingkan orang lain. Aku bersikap riang dan teman-teman menganggapku sebagai seorang yang ceria, aku membantu pekerjaan para pengurus panti asuhan tempatku tinggal, berteman dengan semua orang dan menjadi sosok yang dikenal baik dengan panggilan Gita.

Kata bu Risma, aku seperti bayi yang baru lahir beberapa jam sebelum tangisanku memecah malam di depan pintu pasti asuhan. Aku tak mengingatnya, tentu saja, bisa jadi aku hampir mati karena kedinginan saat itu, entahlah.

Yang pasti, saat ini, aku sudah berusia sepuluh tahun dan sedang menuliskan catatan ke buku yang dibelikan setiap bulannya untuk anak panti asuhan, kami, aku dan yang lain, uang hasil donasi dari orang-orang baik.

Karena itu, sebagai balasan baik untuk mereka, aku menggunakan buku ini dengan benar, penuh kasih sayang kututup buku di pangkuanku dan menoleh saat langkah kaki terdengar mendekat.

"Kamu sudah bersiap, ya?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Gita, aku mau rambutku dikepang seperti punya kamu," katanya lagi setelah beberapa saat.

Aku mengerjap lambat. Dia ingin rambutnya dikepang? Seperti punyaku? Rambutnya yang pendek, bahkan mirip rambut laki-laki itu?

Aku menggeleng. "Maaf Runa, aku nggak bisa."

Wajahnya mengerut sedih, ia bertanya, "Kenapa? Aku juga mau terlihat cantik ...."

"Jadi, menurutmu aku cantik?" Aku tersenyum senang.

Runa mengangguk cepat. Wajah kecil dengan pipinya yang berisi itu menatapku dengan cerah.

"Iya, Gita cantik. Kata Bastian juga begitu, tadi di luar, Bastian bilang kalau sudah besar nanti, dia mau nikah sama kamu." Kemudian Runa kembali muram, aku kebingungan saat rautnya terlihat sedikit kesal menatapku. "Padahal aku suka Bastian."

Aku bergeming, dengan pipi menggelembung, aku mengedikkan bahu. Setelah itu turun dari kasur, aku menarik pergelangan tangannya, keluar dari kamar.

Menyusuri koridor, aku dan Runa melewati beberapa kamar anak lain, aku melongok di persimpangan jalan, di sebelah kiri kami ada halaman luas menuju gerbang keluar, tapi aku mengajak Runa berbelok ke kanan, ke halaman lain yang dijadikan ruang tengah tanpa atap, tempat kami bermain.

Di depan sana ada bu Rusma, pengurus kamar kami, beliau masih muda, berusia dua puluh tujuh tahun, menoleh saat menyadari kami mendekat.

Runa yang sejak tadi menurut saja mengikutiku hanya diam memandang bingung. Aku tersenyum dan menusuk pelan paha bu Rusma.

"Iya, Gita?" tanyanya.

Aku mendekat dan menjinjit, berbisik ke telinga bu Rusma. Runa yang melihat itu pun mengerutkan keningnya, menatapku dengan penasaran.

"Oh?" Aku menahan tawa melihat reaksi bu Rusma yang ingin tersenyum, tapi juga bingung bagaimana menanggapiku.

"Kamu bilang apa? Kenapa berbisik-bisik? Aku nggak dikasih tahu?" Runa ikut mendekat, matanya mendelik kesal.

Dengan tersenyum, aku cekikikan melihat Bastian berjalan melewati kami, dia tak sadar sampai bu Rusma memanggilnya, menyuruh Bastian untuk mendekat.

Aku bisa melihat wajah Runa merona, tapi seolah tak tertarik, dia melengos, mendekat ke arahku.

"Ya?" tanya Bastian.

Dia melirik ke arahku, tapi Runa yang memalingkan wajah dengan cepat, aku cekikikan, bertatapan dengan bu Rusma.

"Tugas sekolah sudah kamu kerjakan belum?" tanya bu Rusma.

Kali ini Bastian melirik Runa. "Belum."

"Kok belum, sekarang sudah mau siang. Besok sudah masuk sekolah lagi, kan? Kapan mau dikerjakan?" Bu Rusma kembali bertanya.

Bastian kembali melirik Runa, bertepatan ketika Runa juga melirikkan matanya ke arah Bastian.

"Kenapa melirikku terus-terusan, sih?" sentak Runa, dia terlihat kesal, tapi aku yakin di hatinya sudah berbunga-bunga.

"Dasar geer! Aku melirik Gita, kan sudah kubilang, aku sukanya Gita," sahut Bastian mengelak.

Bu Rusma tersenyum, dia menarik kuping Bastian pelan. "Masih kelas empat SD loh kamu ini, masih kecil."

"Bu Rusma!" Bastian pasrah tertarik, tapi mulutnya protes, wajahnya memerah malu karena dilihat oleh kami.

Runa menahan tawanya, dia bahkan tertawa kecil dengan menyembunyikan wajah di belakang pundakku.

"Jangan mentertawaiku!" teriak Bastain yang langsung ditepuk mulutnya oleh bu Rusma.

Aku juga tertawa, senang melihat Bastian yang suka usil itu malu.

"Runa, kubilang jangan mentertawakanku!" Bastian melotot ke arah Runa, berbeda menghadap bu Rusma, Bastian kembali memohon dilepaskan.

"Kenapa cuman aku? Gita, kan, juga tertawa," ucap Runa.

"Karena kamu nggak mau ngajarin aku lagi, makanya aku belum mengerjakan tugas sekolah, kita kan sekelas. Gita beda sekolah. Jadi, salah kamu!"

Bu Rusma kembali bersuara. "Loh, kenapa minta ajarin Runa? Di sekolah diajarin guru, nggak ngerti?"

"Bastian kalau di sekolah suka tidur, Bu," adu Runa yang membuat Bastian kembali mendelik ke arahnya.

Belum sempat Bastian menggerutu, bu Rusma menyela, "Kamu tidur? Bastian, kamu mau Ibu aduin ke kepala panti? Ibu bilang aja biar kamu dimarahin sama beliau, mau?"

Bahu Bastian mengerut, menggeleng pelan. "Jangan, Bu."

"Aku nggak ngerti sama penjelasan guru di sekolah, tapi ..." Bastian kembali melirik Runa, dengan delikan sinis, suaranya memelan. "Kalau Runa yang ngajarin, aku ngerti."

Aku cekikikan, kali ini ikut melirik Runa yang mendadak salah tingkah, raut wajahnya seolah tak peduli dan biasa saja, tapi matanya tak mau menatap ke arah Bastian lagi. Sampai kami bertatapan, aku langsung saja menunjukkan raut wajah menggoda.

"Cie ...." Setelahnya aku tertawa saat Runa mendelik dan menjauh dariku.

"Gita!" protesnya sebelum pergi dengan gerakan yang aneh, membuat tawaku makin kencang.

Bu Rusma sudah melepaskan Bastian, beliau ikut tersenyum, sedangkan Bastian mengusap telinganya yang panas, dia bersikap sok keren, melirikku sebelum melengos.

Belum sempat aku mengejeknya, suara lain terdengar di antara kami.

"Gita, kamu belum bersiap-siap?"

Aku menoleh, terkesiap menyadari kepala pantiku datang tak sendiri, bersama dua orang yang sudah pernah bertemu denganku dari beberapa minggu yang lalu.

Mereka Damar dan Agni, calon Ayah dan Ibuku, aku dengan kikuk berjalan mendekat menyalimi keduanya sebelum menatap kepala panti.

"Sudah. Masih di kamar, sebentar, akan aku ambil—" Bastian maju, dia menyela, "Biar aku ambilkan, Gita."

Bu Rusma mengangguk. "Iya, Bastian tolong Gita, ya."

Bastian mengangguk dan segera pergi, sepertinya dia juga berniat mencari Runa, memberitahukan kedatangan calon orang tuaku.

Tak berselang lama, ketika aku hanya mendengarkan calon orang tuaku, oh, atau nantinya kusebut dengan panggilan Mama dan Papa, yang berbincang dengan kepala panti dan bu Rusma, Bastian datang bersama Runa. Juga anak panti yang lainnya ikut melepasku.

Kami berpamitan dengan haru, tentu saja, setelah 10 tahun besar di pasti, aku akan merindukan mereka, tempat ini, dan segala kenangannya.

to be continued ....

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang