11. Pelukan Mama

5 3 0
                                    

"Gita ...."

Suara Mama menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku menoleh dengan lemah, kemarin, aku terbangun di tengah malam, mendapati Mama yang tidur di sebelahku, memberikan pelukan hangat. Bahkan Papa juga ada di kamarku malam itu, dia tak sadar lirikanku karena terlalu fokus dengan laptopnya, mungkin Papa masih bekerja. Jadi, aku memutuskan untuk kmebali memejamkan mata dan tertidur dengan cepat.

Di luar sana gerimis, hujan mulai mengguyur halaman rumah. Sejak tadi pagi, awan gelap berkumpul menciptakan mendung, aku tak bersekolah di hari kedua kehadiranku di sekolah baru ... Gista juga.

Kata Mama, Gista tak keluar dari kamar, sampai Papa yang hampir merusak engsel pintu juga tak mendapatkan hasil selain perdebatannya dengan Mama.

"Maaf, ya, Sayang ...."

Aku menatap Mama, dia menerbitkan senyum kecil, tangannya terangkat sebelum berhenti. Gerakan yang terjadi berulang kali hari ini.

"... Maaf, Sayang."

Binar mata yang biasanya membuatku ikut tersenyum itu sedikit menghilang.

"Mama minta maaf terus." Aku cemberut, mengalihkan pandangan, berniat merajuk.

Namun, Mama sedang serius, dia meraih tanganku yang sebelumnya di atas perut, diselimuti kain tebal yang hangat. Mama menunduk, memandangi tangan kami yang kini saling menggenggam. Aku mendongak, menatap wajah Mama yang kini terlihat sedih.

"Mama minta maaf karena sikap Gista, maaf juga karena Mama ngebiarin kamu sampai kena luka begini."

Mama mengusap sisi wajahku, dia melirik ke atas, ingin sekali melihat seberapa parah luka yang kudapatkan dengan rasa perih yang masih terasa sampai sekarang.

Bahkan, saat bangun, aku menangis kencang, ditambah suhu tubuh yang terasa panas ketika Mama mengecek dahiku dengan punggung tangannya.

Aku langsung terkena demam, entah dengan Gista, aku memikirkannya.

"Gista masih marah padaku, ya, Ma?" tanyaku.

Mama menggeleng cepat. Dia sempat terdiam sebelum menjawab, "Gista nggak pernah marah sama kamu. Dia cuman belum terbiasa."

Aku menghela napas, mulai bosan mendengar jawaban Mama yang selalu sama.

"Ini." Aku menunjuk kepalaku. "Kapan lagi diobatin? Aku suka rasanya jadi dingin."

"Nggak sakit?"

Aku menelengkan kepala. "Lukanya sakit, tapi kalau dipakein obatnya, jadi lebih enak, rasanya dingin."

"Iya, nanti, ya. Nanti malam lagi."

"Nggak bisa setiap saat aja, Ma? Ini kepalanya sakit, perih, nyut-nyutan, kalau aku gerak kayak gini aja, sakitnya kerasa." Aku menggerakkan alis, menaik turunkan keduanya.

Mama tersenyum, kali ini lebih santai.

"Iya, nggak bisa, dong. Nanti ya, malam, Mama banyakin kasih salepnya," kata Mama.

Aku mengangguk bersemangat sampai meringis karena tak sengaja membuat luka di kepalaku terasa ditarik.

"Aku baik-baik aja kok!" seruku.

Panik melihat wajah Mama yang kembali sedih, aku segera meyakinkannya, mendekat untuk merentangkan tangan dan memeluk Mama dengan erat.

Kami terdiam, Mama membalas pelukanku, kupikir dia akan membaik dan kembali tersenyum. Ternyata Mama malah menangis, sambil dengan perhatiannya mengusap punggungku, Mama juga seperti sengaja menghindari rambutku agar aku tak kesakitan.

"Mama, kenapa menangis?" Suaraku mengecil, tapi kuyakin Mama masih bisa mendengarku.

Kurasakan gelengan kepalanya, jadinya aku pasrah bersandar di pelukan Mama. Di luar sana, rintik hujan semakin banyak berjatuhan, suaranya juga terdengar nyaring menghantam permukaan atap.

"Sekali lagi, maaf, ya, Gita. Maafin Mama karena nggak bisa jaga kamu."

Aku cemberut, ingin protes karena tak merasa begitu, tapi tubuhku dipeluk erat oleh Mama, seolah sengaja mengunciku agar tak melihatnya yang sedang menangis.

"Gita nggak apa-apa." Aku tersenyum, kepalaku yang tertoleh membuatku melihat ke luar dari jendela kamar.

Mama mengerutkan peluknya bersamaan suara gemuruh pelan yang membuatku memejamkan mata.

Suasana nyaman, walau posisi yang kurang mengenakkan, tapi di pelukan Mama, kehangatan melingkupi tubuhku.

"Mama sayang Gita, Gista, juga Papa. Mama sayang kalian semua."

Mendengar kalimat pengakuan yang tiba-tiba itu membuatku yang hampir terlelap, berusaha untuk menjawabnya di tengah buaian kasih sayang Mama.

"Aku juga sayang sama Mama, sayang sekali. Selamat sore, Ma?" Aku tak tahu sekarang masih sore atau tepatnya sudah malam, mataku mengerjap karena mengantuk sebelum kembali terpejam dan meneruskan perkataan sebelumnya. "Gita sayang Mama."

to be continued ....

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang