"Saya mau ketemu pengawas SMA 514," ucap Farah pada petugas keamanan yang menghadang di depan pintu kantor pengawas sekolah.
"Ibu sudah bikin janji?" tanya petugas berseragam krem cokelat itu.
"Ini urusan penting, Pak. Saya tidak sempat bikin janji."
"Begini, Bu. Setiap pengawas membina 13 sampai 15 sekolah. Hampir setiap hari mereka harus mengunjungi sekolah-sekolah binaan itu. Saya khawatirnya pengawas yang ibu tuju sedang melakukan kunjungan. Makanya ibu harus buat janji dulu," jelas petugas tersebut. Ini bukan kali pertama dia mendapati pengunjung yang belum membuat janji temu.
Farah melirik di pinggang petugas tersebut. "Pak, itu namanya walkie talkie. Bisa dipakai untuk menghubungi rekan bapak yang lain. Tolong pergunakan itu untuk nanyain, apakah pengawas SMA 514 ada di tempat atau tidak?" Ia lalu mengeluarkan ponsel. "Kalo sinyalnya enggak nyampe, pake handphone saya aja!"
Petugas keamanan itu tersenyum tipis karena kegigihan Farah. "Kalaupun ada di kantor, pengawas sekolah punya banyak tugas, Bu. Mereka harus membuat administrasi, pelaporan, dan macam-macam. Jadi, ibu harus buat janji dulu."
Farah mendecak. "Pak! Saya guru. Untuk ke sini, saya harus meninggalkan murid-murid saya di sekolah. Kalo saya pulang tanpa hasil dan besok-besok harus balik kembali, berarti saya harus ninggalin murid-murid saya lagi. Gimana kalo salah satu murid saya itu adalah anak bapak? Apa bapak rela anaknya datang ke sekolah tapi tidak mendapatkan haknya untuk belajar mata pelajaran saya?"
Mendengar penjelasan panjang Farah, petugas itu bengong. Namun sedetik kemudian, dia geleng-geleng sambil menahan senyum.
"Tunggu sebentar di sini. Saya coba tanyakan dulu. Apakah pengawas yang ingin ibu temui ada di tempat atau tidak?"
Petugas itu lalu berjalan menuju meja informasi. Bukan! Dia luluh bukan karena penjelasan Farah. Dia hanya iba jika guru tersebut pergi tanpa hasil padahal sudah rela menembus macet dan terik untuk sampai ke kantor tersebut.
***
"Silakan duduk, Bu!"
Farah yang masih berdiri di ambang pintu menatap dengan mata nyalang pada sosok di balik meja. Lalu dengan langkah-langkah besar, perempuan itu bergegas mendekati pria yang tadi mempersilakannya untuk duduk.
"Sebagai om, harusnya bapak memberikan teladan yang baik. Jangan mentang-mentang bapak punya jabatan, lalu bapak seenaknya memuluskan jalan keponakan bapak melalui kompetisi yang tidak adil. Itu bukan perwujudan rasa sayang keluarga. Bapak justru menjerumuskan keponakan bapak dalam lingkaran kecurangan yang mungkin akan terus berputar di situ-situ saja. Lalu bikin keponakan bapak semakin tenggelam dan sulit menyelamatkan diri." Tidak bisa menahan diri, Farah langsung memberikan argumentasi panjang. Bahkan tanpa perlu repot-repot duduk.
Tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan perempuan di hadapan, sosok di balik meja pun memicing. "Duduk dulu, Bu. Perkenalkan diri dulu. Baru kita bicara tentang masalah ibu. Sebagai guru, ibu pasti tahu tentang sopan santun."
Menyadari bahwa sikapnya tadi tidak tepat, Farah pun manut untuk duduk. Selama beberapa detik ia mengatur napas, lalu berkata, "Nama saya saya Farah Satya Negara. Saya guru pengampu mata pelajaran Matematika di SMA 514."
"Guru ASN?"
"Saya masih honorer."
Pria di depan Farah mengangguk. "Apa yang membawa Bu Farah ke sini?"
"Saya ke sini terkait pengumuman seleksi KKP."
Pria berbadan tambun itu memicing. "Bukankah sudah diumumkan melalui kepala sekolah masing-masing?"
"Sudah." Farah mengangguk. "Tapi saya ke sini karena ingin memprotes hasilnya."
"Kenapa? Apa karena nama Bu Farah tidak masuk?"
Farah mengiyakan.
"Bu Farah, perihal KKP sudah ada aturannya. Setiap sekolah memang memiliki kuotanya masing-masing. Ada yang 1, ada yang 3, bahkan ada sekolah yang sama sekali tidak dapat kuota untuk tahun tersebut. Jadi kalo nama Bu Farah belum masuk, kemungkinan karena di sekolah Bu Farah kuotanya tidak ada atau hanya sedikit. Makanya tidak semua guru honorer bisa terpilih."
Farah melirik papan nama yang ada di meja, lalu memulai penjelasan, "Begini, Pak Lukman. Saya adalah guru dengan pengalaman lebih dari dua tahun serta pernah melatih murid-murid saya hingga mereka lolos olimpiade Matematika tingkat kota."
Perempuan itu memberi jeda karena merasa bersalah harus membawa-bawa prestasi murid-muridnya. Setelah beberapa detik, Farah melanjutkan, "Selain saya, ada rekan saya yang merupakan lulusan S2 dari University of Helsinki. Apa menurut Pak Lukman, kami berdua tidak layak untuk diterima sebagai KKP?"
"Jika melihat latar belakang pendidikan dan pengalaman, ibu dan rekan ibu bisa dikatakan cukup layak. Tapi seperti yang saya sampaikan tadi, setiap sekolah memiliki kuota masing-masing sehingga tidak semua guru honorer di satu sekolah bisa diterima."
Mengabaikan penjelasan terakhir Lukman, Farah pun mengejar kalimat awal. "Apa kualifikasi kami menjadi kurang layak jika dibandingkan dengan fresh graduate yang belum punya pengalaman hanya karena dia adalah keponakan bapak?"
Lukman memicing. "Sebagai informasi, keponakan saya yang paling besar baru saja masuk SMP," tegasnya dengan air muka serius.
Pernyataan tersebut membuat Farah terkejut. Namun Lukman belum selesai.
"Saat ini, pengawas SMA 514 sedang tidak ada di tempat. Saya adalah pengawas di sekolah lain dan kebetulan bisa meluangkan waktu untuk menampung apa yang ingin ibu sampaikan."
Farah terdiam. Petugas keamanan tadi hanya memintanya masuk ke ruangan ini. Dia tidak menjelaskan bahwa Lukman bukanlah pengawas SMA 514. "Saya mohon maaf, Pak," ucapnya teringat perilaku tidak sopan di awal.
Mengabaikan permintaan maaf Farah, Lukman berkata, "Saya akan segera menyampaikan masalah ini kepada pihak terkait. Ibu bisa kembali ke sekolah tempat ibu mengajar."
Merasa lawan bicaranya tidak lagi ingin melanjutkan obrolan, Farah pun segera pamit dan angkat kaki. Namun baru beberapa meter, langkah Farah terhenti oleh kata-kata Lukman.
"Biasanya, kepala sekolah juga punya andil dalam merekomendasikan honorer yang akan diangkat sebagai KKP."
***
"Saya mohon maaf jika selama kepemimpinan saya, saya punya banyak salah." Sukma menjeda untuk menyeka air yang mengalir lewat hidung dan mata. "Mungkin kata-kata saya sering menyakiti perasaan ibu dan bapak semua, atau mungkin kebijakan-kebijakan saya ada yang tidak sesuai dengan harapan ibu dan bapak."
Suara isak dari beberapa guru kembali memenuhi di ruangan. Sementara itu, Farah hanya bisa tertunduk dan diam. Ia tidak menyangka, protesnya ke kantor pengawas dua minggu lalu membuat Sukma harus dimutasi ke sekolah lain.
''Saya sudah bilang, jangan gegabah!'
Seandainya Farah mengindahkan kata-kata Dexa, mungkin peristiwa ini tidak perlu terjadi. Karena selain mutasi Sukma, tidak ada hal lain yang berubah. Farah dan Dexa tetap menjadi guru honorer, Diva tetap menjadi karyawan kontrak provinsi, sementara om Diva tidak disanksi apapun. Alasannya karena pemberi rekomendasi KKP adalah kepala sekolah. Tidak atas campur tangan dari pihak manapun, termasuk pengawas SMA 514.
Farah hampir tersedak mendengar alasan itu. Ia tidak percaya bahwa pengawas SMA 514 tidak terlibat sedikitpun. Namun, lagi-lagi Farah teringat kata-kata Dexa.
'Harus ada pion yang dikorbankan untuk melindungi sosok yang lebih punya kuasa.'
Farah masih bergumul dengan pikirannya, ketika Sukma mendekati meja Farah. "Terkadang, untuk bisa bertahan dalam sistem yang carut-marut, kita memang harus menggadaikan idealisme," bisiknya. "Semoga Bu Farah bisa bertahan."
Meski marah dan kecewa, Sukma masih sempat menyunggingkan senyum lebar. Senyum yang bagi Farah menjadi beban. Apakah kepala sekolah yang baru bisa diajak bekerja sama terkait berbagai kebijakan di sekolah?
KAMU SEDANG MEMBACA
ABDI NEGARA
RomanceMenjadi Abdi Negara. Cita-cita Farah sangat sederhana. Tapi tantangan yang harus dihadapinya luar biasa. Ditambah lagi kehadiran Dexa, musuh bebuyutan yang tiba-tiba menjadi rekan kerjanya.