Bab 26: RENCANA TUHAN

114 40 8
                                    

Empat tahun yang lalu

"Uang dari mana?" tanya Farah setelah mengintip isi amplop cokelat yang diberikan oleh Gilang.

"Abis nyekolahin SK." Sambil cengengesan, Gilang menjawab.

Pria itu memang bersyukur karena sudah diangkat menjadi ASN. Seperti ASN-ASN yang lain, dirinya pun bisa menggunakan surat keputusan pengangkatan sebagai jaminan untuk meminjam dana dari lembaga keuangan. Jumlahnya pun bisa sampai ratusan juta.

Pelupuk mata Farah menggenang. "Kamu enggak harus ngelakuin ini, Lang."

"Tentu saja harus," sanggah Gilang dengan wajah serius. "Kalo enggak pindah rumah sakit, papi enggak bisa segera dioperasi."

Farah merenungkan kata-kata Gilang. Papinya memang harus menjalani operasi bypass jantung. Namun karena menggunakan asuransi dari pemerintah, mereka harus mengantri seperti pasien-pasien lain. Pindah ke rumah sakit swasta, itu satu-satunya jawaban. Namun, keluarga Farah tidak memilih opsi itu karena ketiadaan biaya.

Dari lubuk hati, Farah ingin mengikuti saran Gilang. Ia tidak tega dengan kondisi papinya. Ia juga takut jika terjadi apa-apa dengan pria tersebut. Namun, ia juga tidak enak hati menerima bantuan Gilang.

"Kamu bisa bayar balik ke aku setiap bulan," tambah Gilang. Dia tahu, Farah akan tidak merasa nyaman dengan bantuan cuma-cuma, meski mereka sudah menjalani hubungan lebih dari satu tahun. "Gimana?"

Meski sempat ragu, Farah akhirnya mengangguk. "Terima kasih," ucapnya dengan tenggorokan tercekat. "Aku enggak tahu bagaimana harus ngebalas bantuan ini."

"Enggak usah dipikirin. Anggap aja ini bagian dari rencana Tuhan."

***

Masa kini

Khawatir pasien di dalam ruangan sedang istirahat, Farah membuka pintu dengan perlahan. Kembali terngiang kata-kata Gilang saat mereka dalam perjalanan.

'Mama divonis gagal ginjal. Tinggal 6% dari ginjalnya yang berfungsi. Kata dokter, waktunya enggak akan lama lagi.'

Melangkah dalam senyap, Farah mendekati Gendhis yang sedang terlelap. Dari jauh, ia mengamati dengan seksama wanita yang pernah menyebabkan hatinya terluka.

Entah sejak kapan putih di rambut Gendhis mulai semakin banyak. Berat badannya juga berkurang hingga tubuhnya terlihat amat lemah. Ditambah selang oksigen di hidung yang membuat Gendhis terlihat semakin rapuh.

Menyadari kedatangan Gilang dan Farah, Gita, kakak perempuan Gilang, segera bangkit dari kursi di samping ranjang. Perempuan itu lalu mendekati Farah. "Mbak tinggal dulu, ya," ucapnya sambil menepuk pundak Farah dengan pelan.

Farah mengangguk takzim. Meski hanya sekilas bersitatap, Farah bisa melihat sembab di mata Gita. Ia yakin, perempuan itu sudah menguras banyak air mata.

Di mobil tadi, Gilang banyak bercerita. Tentang penyakit Gendhis yang baru ketahuan ketika sudah berada di stadium akhir. Tentang ketegasan Gendhis saat menolak tranplantasi ginjal milik Gilang, satu-satunya ginjal yang cocok untuknya. Juga tentang jadwal-jadwal hemodialis yang harus dijalani selama hampir setahun ini.

Hingga satu ketika, Gendhis ambruk setelah menjalani ritual cuci darah. Sejak itu, Gendhis pun menginap di rumah sakit. Sudah seminggu berlalu.

"Dari kemarin mama selalu manggil nama kamu. Sebenarnya aku ragu, aku malu untuk menghubungi kamu. Tapi dokter berpesan, apapun keinginan mama sebisa mungkin kami harus mewujudkannya." Tenggorokan Gilang tercekat. "Karena bisa jadi itu permintaan yang terakhir."

ABDI NEGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang