Bab 27: CLEANSING

91 40 8
                                    

'Silakan duduk.' Tanpa suara, Arya mempersilakan Farah untuk duduk di sofa. Sementara dia terus berbincang di telepon.

Farah mengikuti instruksi Arya dan duduk di sofa satu siter. Perempuan itu mulai meremas jari-jemari karena perasaan tidak tenang. Setiap masuk ke ruangan kepala sekolah, pasti saja ada masalah yang akan dihadapinya, mulai dari ketentuan nilai minimal di raport, pengumuman KKP, hingga pengunduran diri Dexa.

Farah menduga hari ini tidak ada bedanya. Apel pagi bahkan belum selesai, tapi Arya sudah memanggilnya. Jika bukan karena urusan mendesak, hal itu pasti bisa ditunda hingga siang nanti. Pemikiran itu semakin membuat Farah gelisah.

Demi merilekskan diri dan menunggu Arya selesai menelepon, Farah pun mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Selama ini ia tidak terlalu memperhatikan ruangan berukuran 5 x 6 meter itu. Ternyata ada banyak piala berbagai ukuran yang berjajar dalam lemari kaca di belakang sofa panjang. Dexa pernah bilang, salah satu piala yang ada di ruang kepala sekolah adalah hasil kerja keras tim basketnya.

'Cari saja piala paling tinggi dan besar', kata Dexa kala itu. Maka tanpa perlu melihat dari jarak dekat, Farah bisa menemukan piala yang dimaksud. Juara 1 kejuaraan bola basket antar SMA se-provinsi, dalam hati Farah mengulang informasi Dexa. Ia seakan-akan bisa membaca tulisan yang tertera di bagian bawah piala itu.

Di samping piala-piala itu ada lemari berisi map-map yang disusun sesuai warna. Juga buku-buku yang diletakkan sesuai dengan tinggi dan warnya. Entah Sukma, Arya, bagian administrasi, atau mungkin ketiganya, Farah yakin orang yang menyusun lemari-lemari itu terobsesi dengan keteraturan.

Di satu dinding terdapat foto presiden dan wakil presiden yang mengapit Burung Garuda. Lima tahun sekali foto-foto itu akan berganti, meski wajahnya mungkin itu-itu lagi. Diikuti oleh kurikulum yang juga berubah lagi. Sementara gaji guru honorer, tetap begini-begini.

Di sisi dinding lainnya, terdapat struktur organisasi sekolah. Bagian paling atas berjajar foto dan nama sebagai kepala sekolah serta foto dan nama ibu Archi sebagai Ketua Komite Sekolah. Keduanya dihubungkan dengan garis putus-putus yang melambangkan koordinasi. Lalu di bagian bawah terdapat foto dan nama-nama guru yang dihubungkan dengan garis lurus kepada Arya. Farah fokus di satu titik. Tidak ada lagi foto dan nama Dexa di sana karena sekarang telah berganti dengan milik Paramita.

"Mohon maaf, Miss Farah," ucap Arya sambil bergegas menuju sofa.

Permintaan maaf Arya menghentikan lamunan Farah. Perempuan itu segera memperbaiki posisi dan siap mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh kepala sekolah di hadapan.

"Saya sengaja hanya memanggil Miss Farah, karena Miss Farah adalah satu-satunya tenaga honorer di sekolah ini." Arya membuka percakapan.

Farah mengangguk. Dari kata-kata itu Farah bisa menduga bahwa urusan kali ini pasti berhubungan dengan statusnya sebagai honorer.

"Kemarin sore, saya dan kepala-kepala sekolah lain menerima surat dari dinas pendidikan. Isinya adalah perintah untuk mengadakan program," Arya menjeda demi mencari kata-kata yang lebih sopan, "peniadaan tenaga honorer di satuan pendidikan."

Farah mengernyit. "Peniadaan gimana maksudnya, Pak?"

"Artinya, tenaga honorer di satuan pendidikan harus ditiadakan."

Farah mencerna kata-kata yang didengar untuk mendapatkan poin yang ingin disampaikan Arya. Lalu tiba-tiba, perempuan itu menyunggingkan senyum. "Maksudnya, semua tenaga honorer di sekolah-sekolah akan diangkat menjadi ASN atau KKP, ya, Pak?" tanyanya optimis.

Arya tersenyum tipis, sementara Farah menghela napas lega. Tidak seperti sebelumnya, kunjungan ke ruangan kepala sekolah kali ini untuk mendapatkan kabar baik. Setelah penantian lama, Farah akhirnya bisa naik status.

"Bukan seperti itu Miss," kata Arya, lagi-lagi memecah lamunan Farah. "Peniadaan adalah istilah saya sendiri. Program ini aslinya disebut cleansing, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai pembersihan. Artinya, semua tenaga honorer di sekolah harus di--"

"Dibuang?" tanya Farah dengan tenggorokan tercekat.

Arya mengangguk, isyarat mengiyakan tebakan Farah.

Melihat respon Arya, Farah pun mendengkus. "Baru kali ini saya mendengar program yang menggunakan istilah sangat kasar, Pak. Siapapun yang memilih nama program ini, saya rasa dia tidak punya empati."

Arya kembali mengangguk. "Saya setuju dengan Miss Farah. Pemilihan kata untuk program ini memang kurang tepat. Ada banyak kosakata lain yang lebih layak," ucapnya. Sebagai lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Arya punya banyak pembendaharaan istilah yang lebih manusiawi daripada cleansing. "Meskipun istilah-istilah itu tetap merujuk pada satu makna. Tenaga honorer di sekolah negeri harus dinonaktifkan."

Terpukul, Farah pun menunduk. Sejak kemarin, seakan-akan masalah tidak henti-henti menyapanya. Dexa, Gilang, sekarang pemecatan. "Kapan program itu berlaku, Pak?" tanya Farah berusaha tegar.

Farah tahu keputusan yang disampaikan Arya tidak bisa dihindari. Maka ia harus segera menyusun rencana untuk melamar di sekolah baru -sekolah swasta tentunya- atau mencari pekerjaan lain. Ia harus segera mendapat mata pencaharian lain agar bisa terus membiayai kebutuhan keluarga.

"Surat keputusan itu berlaku sejak hari ini," jawab Arya. "Artinya, besok Miss Farah tidak perlu lagi datang ke sekolah."

Farah mendongak sambil tercengang. "Kenapa mendadak sekali, Pak? Saya bahkan belum pamit ke murid-murid," protesnya. Namun beberapa detik kemudian, perempuan itu segera tersadar. Bukankah ini bukan kali pertama pemerintah membuat keputusan mendadak?

"Lalu bagaimana dengan kelas-kelas saya?" Farah mengganti pertanyaan.

"Kelas-kelas Miss Farah akan dialihkan ke Pak Dirga, Bu Siska, dan Miss Diva. Pastinya nanti akan ada guru yang memiliki kelebihan jam mengajar. Tapi semua harus bisa menerima itu. Kita tidak bisa apa-apa lagi. Peraturan tetap peraturan."

Farah mengangguk. Mereka memang hanya pelaksana, sedangkan pemerintahlah pihak yang mengambil keputusan. Meskipun, Farah menyayangkan karena kebijakan itu diambil tanpa melihat kondisi nyata di lapangan. Contohnya yang terjadi di SMA 514. Apakah pemerintah pernah berpikir bahwa kelebihan jam mengajar bisa membuat guru lelah dan tidak lagi efektif dalam mengajar?

"Demikian juga untuk guru pendamping Ibib di olimpiade. Miss Farah bisa mempercayakannya hal itu kepada sekolah. Nanti akan saya tanyakan ke tiga guru Matematika tadi, siapa yang bisa pergi."

Farah tersenyum kecut. Akhirnya ia tahu bagaimana perasaan Dexa yang melatih Archi dari awal, tapi akhirnya tidak bisa mendampingi murid kebanggaannya itu saat bertanding di tingkat nasional.

"Tapi saya masih berusaha agar Miss Farah bisa tetap menjadi pelatih Math Club," tambah Arya. Dia tidak enak hati jika harus memutus semua sumber pemasukan Farah. Dia tahu, mencari lowongan mengajar di tengah-tengah semester pasti akan sulit. Farah setidaknya harus menunggu hingga tahun ajaran baru dimulai beberapa bulan lagi.

"Hanya itu yang ingin saya sampaikan ke Miss Farah. Mewakili sekolah, saya mengucapkan rasa terima kasih atas pengabdian Miss Farah selama ini. Saya juga minta maaf jika saya pribadi pernah melakukan kesalahan atau membuat kebijakan yang tidak adil bagi Miss Farah."

Lagi-lagi, Farah hanya mengangguk. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Protes pada Arya pun tidak ada gunanya. Namun, Farah masih penasaran dengan satu hal.

"Kalo boleh tahu, apa alasan pemerintah melakukan program cleansing untuk tenaga honorer di sekolah, Pak?"

Arya menghela napas. Dia berusaha mencari kalimat yang lebih layak, tapi tidak menemukannya. Maka, pria itu pun menjawab dengan jujur, "Menurut pemerintah, gaji untuk tenaga honorer membuat APBD membengkak."

Mendengar itu, Farah pun tercengang. 

***

ABDI NEGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang