Asah pedang dan asah otak

34 3 0
                                    


Di tengah malam yang sunyi, di dalam kastil Kuraigana yang megah dan menakutkan, Dracule Mihawk duduk di kursi besar dengan anggun. Mata emasnya menatap kosong ke arah api yang menari-nari di perapian, seolah-olah merenungi arti hidup dan kematian.Namun, kedamaian malam itu segera terpecahkan oleh suara langkah kaki yang berat dan tidak stabil. Mihawk memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang, sudah tahu siapa yang akan muncul.

Pintu ruangan terbuka dengan keras, dan di sana berdiri Roronoa Zoro, anaknya. Zoro mengenakan pakaian latihan yang sedikit kebesaran, rambut hijau khasnya acak-acakan seperti biasa, dan ekspresi wajah yang selalu tampak... polos. Ada sedikit kebingungan di matanya, namun di balik kepolosan itu, tersimpan kekuatan yang luar biasa.

"Dad! Dad!" seru Zoro dengan semangat, sambil setengah berlari mendekati Mihawk, hampir menabrak meja di tengah ruangan.

Mihawk menatap anaknya dengan ekspresi datar, meski dalam hati ia sudah terbiasa dengan tingkah Zoro yang kadang... tidak terlalu cerdas. "Ada apa, Zoro?"

Zoro menghentikan langkahnya di depan Mihawk, napasnya sedikit tersengal. "Aku mau tanya, pedang itu tajam karena diasah atau karena... karena pedangnya sendiri yang tajam dari sananya?"

Mihawk hampir tersedak anggur di tangannya, tetapi ia berhasil menahan diri. "Zoro," katanya dengan suara rendah namun tajam, "Pedang menjadi tajam karena diasah dengan teknik yang benar. Kekuatan asli pedangmu bergantung pada bagaimana kamu merawatnya."

Zoro mengangguk, seolah mencerna informasi itu dengan serius. "Oh, jadi... kalau aku lupa asah pedangku, apa pedangnya bakal jadi tumpul?"

Mihawk menatap anaknya dengan sabar. "Ya, Zoro. Pedang yang tidak diasah akan menjadi tumpul, seperti otak yang tidak diasah akan menjadi bodoh."

Zoro menggaruk kepalanya yang berantakan, tampak bingung dengan analogi yang diberikan ayahnya. "Jadi... aku juga harus asah otak, ya?"

Mihawk menatap Zoro dengan tatapan yang sulit dijelaskan, antara rasa prihatin dan sedikit keputusasaan. "Ya, Zoro, otak juga perlu diasah. Namun, sepertinya kamu lebih berbakat dalam mengasah pedangmu."

Zoro tertawa, memperlihatkan senyum polosnya yang membuatnya tampak jauh lebih muda dari usianya. "Aku ngerti, Dad! Aku bakal asah pedangku sekarang juga. Otakku... nanti saja ya!"

Mihawk memejamkan matanya, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Zoro yang terakhir. "Ingat, Zoro, seorang pendekar pedang tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik. Pikiran yang tajam juga penting."

Zoro mengangguk dengan semangat, meskipun tampak jelas bahwa nasihat ayahnya hanya masuk setengah, sementara setengah lainnya mungkin tersesat entah di mana. "Oke, Dad! Aku bakal asah pedang dulu, terus kalau sempat aku coba asah otakku juga."

Mihawk hanya bisa menghela napas panjang. "Lakukan yang terbaik, Zoro."

Zoro tersenyum lebar, lalu berbalik dan berlari keluar ruangan. Tapi, sebelum ia sampai ke pintu, ia tiba-tiba berhenti dan kembali menoleh. "Oh, iya! Dad, aku hampir lupa. Kalau aku asah otak pakai apa, ya?"

Mihawk tidak bisa menahan diri lagi. Ia menutupi wajahnya dengan satu tangan, mencoba menahan tawa yang hampir keluar. "Zoro, kamu sudah lebih dari cukup dengan pedangmu. Fokuslah di situ."

Zoro tampak lega. "Oh, oke! Aku kira harus pakai batu asah juga."

Mihawk hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Pergilah, Zoro. Pedangmu menunggu."

Zoro mengangguk lagi dan akhirnya keluar dari ruangan, meninggalkan Mihawk yang kembali duduk dengan anggurnya. Ia menatap piala anggur itu sejenak sebelum menyesapnya perlahan.

"Anak ini," gumamnya pada dirinya sendiri, "Tidak pernah berhenti membuatku takjub. Kekuatan besar di tangan yang polos... Semoga dunia siap untuk menghadapi dia."

Dan malam pun kembali tenang, meski jauh di dalam kastil, suara asahan pedang terdengar, diiringi gumaman polos seorang anak yang terus berusaha memahami dunia dengan caranya sendiri.
—————
Pagi di Kuraigana selalu dimulai dengan kicauan burung-burung yang bersarang di pohon-pohon tua di sekitar kastil. Matahari yang baru terbit memancarkan sinar keemasan, memberikan sentuhan hangat pada bangunan batu yang dingin. Dracule Mihawk sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Setelah latihan pagi yang intens, ia kini berdiri di depan meja panjang yang penuh dengan peta-peta dan catatan-catatan strategi.

Di tengah keseriusannya meneliti peta dunia, pintu ruangan terbuka, dan Zoro muncul dengan gaya khasnya—berjalan setengah malas dengan wajah polos yang selalu sedikit bingung. Kali ini, ia membawa tiga pedangnya yang sudah diasah dengan baik, meski di ujung pedangnya tampak bekas asahan yang terlalu bersemangat.

"Dad! Aku udah asah pedangku!" seru Zoro dengan senyum bangga, menunggu pujian dari ayahnya.

Mihawk menatap pedang-pedang itu sejenak, memperhatikan ketidaksempurnaan di ujungnya, tetapi memutuskan untuk tidak mengomentari hal itu. "Bagus, Zoro. Bagaimana rasanya setelah diasah?"

Zoro berpikir sejenak, mengerutkan keningnya. "Tajam. Tapi... kayaknya aku asah terlalu lama, ujungnya jadi sedikit... hilang."

Mihawk hampir tersedak napasnya. "Zoro, jangan terlalu keras saat mengasah. Kamu bisa merusak bilahnya."

Zoro mengangguk, tampak serius. "Oke, Dad. Aku bakal lebih hati-hati. Tapi... soal otakku, Dad. Kamu bilang otak juga harus tajam, kan? Aku coba baca buku tadi malam, tapi malah ketiduran di halaman pertama."

Mihawk menghela napas panjang. "Membaca adalah salah satu cara untuk mengasah otakmu, Zoro. Tapi, itu bukan satu-satunya cara. Latihan berpikir, memecahkan masalah, dan belajar dari pengalaman juga penting."

Zoro mengerutkan kening, tampak bingung lagi. "Jadi, kalau aku ngalamin masalah, itu berarti otakku lagi diasah?"

Mihawk menatap anaknya dengan sabar. "Kurang lebih seperti itu. Setiap kali kamu menghadapi tantangan, otakmu akan belajar cara mengatasinya. Tapi ingat, jangan hanya mengandalkan otot. Otakmu juga harus bekerja."

Zoro mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata ayahnya. "Oke, Dad. Jadi... kalau aku ngalamin masalah, aku harus mikir dulu sebelum nyelesainnya?"

Mihawk tersenyum tipis. "Tepat sekali, Zoro. Itu yang namanya strategi."

Zoro tersenyum lebar, senang dengan penjelasan yang akhirnya bisa ia pahami. "Oke, aku bakal coba mikir dulu sebelum bertindak. Tapi kalau udah nggak sempat mikir, aku bisa langsung tebas aja, kan?"

Mihawk tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari mulutnya. "Kalau situasinya mendesak, ya, kau boleh tebas saja. Tapi lebih baik kalau kau sudah punya rencana di kepalamu."

Zoro tertawa juga, merasa senang telah mendapatkan restu dari ayahnya. "Berarti mulai sekarang aku bakal coba asah otak dan pedangku, Dad. Biar nggak cuma kuat, tapi juga cerdas."

Mihawk menatap anaknya dengan rasa bangga yang dalam. Meskipun Zoro kadang terlalu polos dan sedikit lambat dalam memahami beberapa hal, ia tahu bahwa di balik semua itu, anak ini memiliki potensi yang luar biasa. "Itu yang terbaik, Zoro. Kau akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan suatu hari nanti."

Zoro tersenyum lebar, merasa didukung sepenuhnya. "Makasih, Dad! Aku bakal terus latihan dan belajar. Jadi kalau ada masalah, otakku siap duluan."

Mihawk hanya bisa mengangguk, berharap bahwa suatu hari nanti, Zoro akan benar-benar mengerti apa yang ia maksud.

Kastil Kuraigana and the Bonds of FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang