Perona tertekan
Matahari pagi baru saja menyapa Kastil Kuraigana, membawa kehidupan pada tempat yang biasanya sepi dan sunyi. Namun, tidak ada yang bisa lebih menghidupkan suasana daripada suara berisik yang datang dari ruang tengah kastil."ZORO! Kamu itu BODOH atau apa?!" teriak Perona, kakak Zoro yang sudah terkenal dengan suara nyaring dan gaya bicara yang tajam. Perona, dengan rambut merah mudanya yang mencolok dan tatapan penuh kemarahan, berdiri dengan tangan berkacak pinggang, memelototi Zoro yang hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku nggak ngerti, Perona..." balas Zoro dengan nada polos yang justru membuat Perona semakin frustrasi. "Kamu bilang asah pedang, jadi aku asah sampai tajam banget. Tapi kenapa malah dimarahin?"
Perona menghela napas panjang, seakan mencoba mengumpulkan kesabaran yang sudah habis sejak lama. "Kamu nggak bisa asah pedang sampai ujungnya hilang! Itu namanya merusak, bukan mengasah!"
Zoro menatap Perona dengan mata besar dan polosnya, jelas-jelas tidak mengerti sepenuhnya. "Tapi... kan semakin tajam semakin bagus, kan?"
Perona hampir saja mengamuk lagi, tapi ia mencoba menenangkan dirinya. "Oke, oke. Tarik napas, Perona. Ingat, Zoro ini adikmu... meskipun dia sedikit... lambat."
Di sudut ruangan, Mihawk duduk dengan tenang, memperhatikan interaksi kedua anaknya dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Namun, di balik ketenangan itu, ia tahu betapa melelahkannya menghadapi dua anak yang sangat berbeda ini.
"Perona," ujar Mihawk dengan nada tenang namun tegas, "Zoro mungkin tidak secepat kamu dalam memahami sesuatu, tapi dia punya caranya sendiri. Bersikaplah sedikit lebih sabar."
Perona menoleh ke arah ayahnya, tampak kesal tapi mencoba menghormati nasihatnya. "Tapi, Dad, aku udah coba sabar! Zoro itu... ya ampun, dia itu kayak batu! Gimana bisa dia nggak ngerti hal dasar seperti ini?"
Zoro, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya berbicara lagi. "Aku nggak sepolos itu kok, Perona. Aku tahu banyak hal... meskipun mungkin bukan yang kamu bilang penting."
Perona memutar matanya, jelas-jelas sudah lelah dengan pembelaan Zoro. "Kamu bahkan nggak bisa bedain strategi sama asal tebas, Zoro! Gimana kamu bisa bilang ngerti banyak hal?"
Mihawk menyandarkan tubuhnya di kursi, memijat pelipisnya. "Zoro memang berbeda, Perona. Tapi bukan berarti dia tidak berharga. Sebagai kakaknya, kamu harus bisa mengarahkannya, bukan hanya mengkritiknya."
Perona mendengus, tapi ada sedikit rasa bersalah di matanya. Ia tahu bahwa Mihawk benar, tapi berhadapan dengan Zoro kadang terasa seperti mencoba mengajari batu untuk berenang. "Oke, oke. Aku akan coba lebih sabar, Dad. Tapi kalau Zoro bikin kesalahan lagi, jangan salahin aku kalau aku meledak!"
Mihawk mengangguk dengan tenang. "Kesabaran adalah bagian dari kekuatan, Perona. Tapi ingat juga, Zoro, bahwa kamu harus belajar lebih cepat. Dunia di luar sana tidak sebaik kakakmu."
Zoro mengangguk pelan, meski tetap dengan wajah polosnya. "Aku bakal coba, Dad. Tapi jangan salahin aku kalau kadang... ya, aku sedikit lambat."
Perona hanya bisa menghela napas lagi, merasa bahwa percakapan ini seperti lingkaran yang tidak pernah berakhir. "Ya Tuhan, Zoro... Kamu benar-benar bikin aku capek."
Mihawk menatap kedua anaknya, merasa sedikit terhibur meski juga lelah dengan dinamika unik mereka. "Kalian berdua adalah dua sisi dari koin yang sama. Dan meskipun kadang melelahkan, aku bangga pada kalian."
Perona dan Zoro menatap Mihawk dengan mata yang berbeda—Perona dengan rasa hormat, Zoro dengan kebingungan tapi juga rasa sayang yang tulus. "Makasih, Dad," ujar Zoro akhirnya, mencoba mengerti arti kata-kata ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kastil Kuraigana and the Bonds of Family
HumorOneshot: Ini cerita spesial keluarga Roronoa Zoro bersama Ayah dan Kk Perempuannya yang sangat ademmm 🤭