Denial
Saat aku mendapat pesan itu dari Michelle, aku memang tidak ingin mempercayainya. Tidak mungkin, hal setragis itu harus menimpa orang terdekatku. Apalagi Cynthia—mengapa harus dia? Semuanya terasa tidak nyata, apa mungkin ini semua hanyalah mimpi buruk di mana aku tidak bisa tersadar?
Aku sadar bahwa semua ini nyata ketika mencarinya di mesin pencari. Pesawat yang ditumpangi Cynthia hilang dari radar. Kejadiannya terjadi dengan tiba-tiba. Dalam satu momen, melapor ke ATC, di momen selanjutnya tiba-tiba hening. Mengetahui informasi itu, aku sudah bersiap untuk yang terburuk. Walaupun, ujung-ujungnya, aku tetap tidak bisa mempercayai kenyataan ini.
Berita yang aku lihat itu tertanam dalam otakku dengan jelas. Ada sebuah ilustrasi dari pesawat yang terbakar di tengah penerbangan. Memikirkan pemandangan itu sebagai hal terakhir yang dilihat oleh Cynthia membuatku mual. Aku tidak mau berpikir tentang hal itu lagi. Seharusnya, aku berada bersamanya. Seharusnya, aku mati bersamanya.
Seharusnya, aku sudah tidur sekarang. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Beberapa hari belakangan, aku kekurangan tidur. Kegiatanku terlalu banyak, lebih lagi, aku membantu Cynthia mengemas barang-barangnya. Siapa yang menyangka bahwa aku akan mengantarnya ke ambang kematian?
Entah mengapa, aku masih mengharapkan kabar darinya esok hari. Mungkin, by some miracle, dia selamat dari kecelakaan pesawat. Mungkin, pesawatnya tidak kecelakaan. Mungkin, mungkin, mungkin. Kepalaku dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang tak ada habisnya. Ingin sekali menyakar wajahku agar semuanya berakhir.
YOU ARE READING
chat-based narratives and unfinished stories
Фанфикsince i'm going to be leaving. i'll make sure that everything will still be accessible. just see this as the terminal lucidity era of this account lol. i'll upload the stuff i put out on twitter and my unfinished stories that will now forever be unf...