"Dek, ayo bangun!" ucapku kepada anakku yang tertidur lelap di kamarnya. Ia langsung membuka mata, mengucek-nguceknya, dan pergi ke arah kamar mandi. Kakaknya sudah di meja makan, memakan sarapan yang aku siapkan.
Aku duduk di sebelah Mandy, anak sulungku, sembari menunggu Faith. Tidak ada sosok bapak di rumah ini. Ia meninggalkan kami ketika Faith masih sangat kecil. Aku kesal kalau mengingat-ngingatnya. Mudah sekali ia melepaskan tanggung jawab dan mencampakkan diriku. Padahal, aku meninggalkan segalanya demi bersamanya.
"Adek kamu itu, ya. Kebo banget."
Mandy tertawa kecil sebelum menjawab, "Emang. Padahal sekarang udah jadi sophomore."
"Cepet banget, ya, waktu berlalu. Perasaan baru kemarin Mama liat kalian belajar jalan sama nogmong."
"Mama bisa aja. Dukung aku terus ya, Ma. Aku mau banggain Mama."
"Of course, Sayang. Mama doain kamu masuk ke universitas yang kamu mau."
Aku ikut makan setelah itu, menghabiskan bermenit-menit berbincang dengan Mandy. Ia sangat tertarik terhadap fisika. Aku akan mendukungnya, apapun yang ia pilih nantinya. Ia berhak untuk memilih apa yang ia ingin lakukan.
Faith bergabung dengan kami setelah itu. Ia menggunakan setelan apa adanya dan langsung melahap roti lapis yang aku buat dengan lahap. Melihat itu, aku langsung menanyakannya jika ada yang salah. Ia menyangkal, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku bisa melihat tembus kebohongannya itu, tetapi, jika ia tak nyaman, aku tak akan memaksanya.
Setelah kami bertiga selesai telah selesai sarapan, aku mengambil kotak makan siang mereka di kulkas dan memberikannya. Orang-orang banyak yang mengatakan bahwa aku terlalu memanjakan anakku, mereka tak tahu bahwa aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka. Makanan sekolah terkadang tidak layak, aku tidak mau mereka sengsara selama berjam-jam hanya karena makanan yang tidak layak. Lagipula, membuatkan makan siang mereka jauh lebih sehat daripada membeli sesuatu atau memakan makanan dari sekolah.
Rumah kami sekitar 20 menit dari sekolah sehingga kami harus berangkat cukup pagi, ditambah lagi, aku harus pergi ke toko roti untuk mulai membuat roti-roti. Aku berbohong jika aku mengatakan bahwa aku tidak lelah, namun, setidaknya aku menjalani hari-hariku dengan perasaan senang di hatiku. Kedua anakku adalah hadiah terindah yang dapat diberikan oleh Tuhan.
Aku, Mandy, dan Faith berangkat dari rumah pada pukul 8 pas. Sekolah dimulai pada pukul setengah 9 sehingga seharusnya tidak ada masalah. Dalam perjalanan ke sekolah, Mandy terus mencoba membuat Faith tersenyum, namun Faith seakan tak menggubrisnya. Pasti ada sesuatu di pikiran anak itu. Tidak biasanya ia terdiam seperti ini. Biasanya, ia selalu memiliki candaan untuk dilontarkan.
"Faith, kamu kenapa? Dari pagi kayaknya, you're not having it banget, ya?"
"Aku tadi mimpi," ucapnya lalu berhenti sejenak, mengambil nafas, "aku ketemu Papa."
"Papanya ngapain emangnya?"
"Papa bilang Papa nyesel bikin aku lahir. Katanya, harusnya aku nggak usah ada aja."
"Aduh, Sayang. Nggak usah dipikirin. Udah sebelas tahun lebih Papa kamu nggak ada. Yang di mimpi kamu itu nggak asli. Jangan dipikirin, ya, Faith."
"Bener kata Mama. Kita udah lama banget bisa hidup tanpa Papa. Jangan sampe, gara-gara mimpi, semuanya jadi berubah," tambah Mandy.
"Iya, Man. Sedih aja kalau inget. Orang lain pada punya bapak, kalau kita, lokasinya aja nggak tau."
"Kamu nggak miss-out, kok, Faith. Your father was an awful man," balasku mencoba menenangkannya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Entah karena tidak enak atau karena hal lain. Aku rasa, ia sadar bahwa membahas bapaknya di depanku memang suatu topik yang tabu.
Pada akhirnya, kami sampai juga di depan sekolah. Aku menurunkan mereka dan melambaikan tangan. Sekarang, aku harus segera pergi ke toko kue. Aku harap Austin dan Sarah sudah berada di sana. Walaupun usahaku masih kecil-kecilan, aku cukup sibuk. Tokoku selalu ramai dan pesanan terasa tak habis-habis.
Mobilku diparkirkan di lahan parkir toko roti ketika aku sudah sampai. Jalanan tidak terlalu macet sehingga aku datang tepat waktu. Aku membuat adonan-adonan dan memasukkannya ke oven.
***
"Austin, can you send these to Irma's house?" ucapku kepada Austin ketika sudah memasukkan roti-roti ke dalam kotak.
"Sure, sure. Are there any other packages?"
"I don't think so. Be careful," balasku.
Ia langsung mengambil kotak yang berada di hadapanku dan berjalan ke luar, ke arah motornya. Pagi ini, toko roti sudah sangat ramai. Tempat dudukku hampir tak menyisakan tempat kosong. Kami tidak hanya menjual aneka roti saja, kami juga menjual minuman hangat. Yang membuatku heran, di hari yang panas pun, tokoku selalu ramai. Bukannya ingin sombong, aku hanya ingin memberitahu saja.
YOU ARE READING
chat-based narratives and unfinished stories
Fanfictionsince i'm going to be leaving. i'll make sure that everything will still be accessible. just see this as the terminal lucidity era of this account lol. i'll upload the stuff i put out on twitter and my unfinished stories that will now forever be unf...