a series of misfortunes

8 0 0
                                    

this was uploaded back in january but i unpublished because i felt bad... here's what i got so far

***

Prolog
Malam itu jauh lebih gelap dari biasanya. Hujan turun tanpa henti dan gemuruh petir dapat terdengar dari seluruh penjuru kota. Cuaca itu seakan-akan menjadi sebuah pertanda terhadap abomination yang akan segera lahir. Anak yang lahir itu dinamakan Greesel oleh ibunya. Entah inspirasinya dari mana. Namanya terlampau bagus untuk nasibnya kelak. Mungkin, itu cara ibunya merasa lebih baik tentang dirinya karena ia tahu ia tidak akan ada di hidup anak itu.

Greesel menangis ketika baru dikeluarkan. Ibunya terlihat tidak beremosi seakan-akan tersadar bahwa tidak akan ada ikatan emosional di antara mereka. Bapaknya pun entah di mana, boro-boro ada di kelahirannya, bapaknya saja tidak ada yang tahu. Apakah si pejabat hidung belang? Apakah si pegawai bank berambut klimis? Apakah si Pak Guru yang sudah beristri itu? Ah, ibunya pun tidak peduli, mengapa Greesel harus peduli?

Sebuah kecelakaan, sejak kecil, Greesel tidak pernah mendapatkan kasih sayang. Ketika baru lahir pun, ibunya langsung mengirimnya untuk diadopsi. Ia tidak pernah sempat merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Masa mudanya dihabiskan dalam sistem asuh yang sama sekali tidak ada bagus-bagusnya. Sejak awal pun, pandangannya terhadap dunia sudah dibuat pesimis.

Dikarenakan awal yang tidak mengenakan itu, Greesel tumbuh besar dengan sebuah kepercayaan bahwa dirinya telah dikutuk sejak lahir. Kehidupannya pun tidak pernah berjalan normal. Rasanya, siapapun yang dekat dengannya selalu ditimpa kesialan. Keluarga asuh pertamanya, wali kelas pertamanya, teman pertamanya, mereka semua menemukan nasib buruk. Kebakaran rumah, sakit keras, kematian, semuanya seperti mengikuti Greesel diam-diam dari belakang.

Ia tidak pernah mengerti apa yang telah ia lakukan hingga ia pantas mendapatkan nasib seburuk ini. Apakah ia melakukan genosida di kehidupan sebelumnya? Itulah yang ia ratapi setiap hari. Sebelum tidur, setelah tidur, ketika berkegiatan, ketika tidak berkegiatan, pikiran itu kerap terbesit di benaknya.

Masih terekam jelas kenangan tentang dirinya yang baru saja keluar dari sistem asuh. Hari itu sama seperti hari kelahirannya. Hujan tidak henti turun dari pagi, langit ditutupi oleh awan-awan berwarna abu-abu, dan suhu pun lebih dingin dari biasanya. Ia hanya membawa satu ransel berisi baju-bajunya dan off she goes.

Ia hanya memiliki satu kenalan. Semua orang memanggilnya Wara. Tidak ada yang tahu nama aslinya tetapi ia selalu meminta dipanggil Wara. Desas-desusnya, nama Wara diambil dari kata Jawara yang sebenarnya jauh dari tabiat aslinya. Mana ada jawara yang menjual narkoba untuk hidup? Ya, sejak lama, Greesel sudah bergesekan dengan kehidupan gelap.

Menjadi anak tak diinginkan membuatnya sasaran empuk bagi orang-orang yang mau memanfaatkannya. Perasaan-perasaan yang terpendam, pertanyaan-pertanyaan yang takkan pernah bisa dijawab, semuanya menjadi profil sempurna orang yang mudah dimanipulasi. Orang sepertinya hanya membutuhkan sesuatu yang bisa membuatnya lupa sejenak. Tebak apa yang dapat memberikan efek tersebut? Narkoba dan alkohol.

Sistem asuh di sini sama sekali tidak bagus. Bukan hanya tidak bagus tetapi memang non-existent. Greesel terpaksa harus mengurus dirinya sendiri. Panti asuhan yang dulunya menaunginnya sama sekali tidak memiliki inisiatif untuk membantunya. Akhirnya, ia hidup dari bisnis ilegal itu.

Dikarenakan perawakannya yang terlihat sehat dan fakta bahwa ia perempuan, ia jarang dicurigai oleh polisi. Ia pun langganan menjadi kurir narkoba. Semua tipe sudah dia sebarkan rasanya. Tetap saja, uangnya sama sekali tidak cukup. Uang yang tidak cukup dan tekanan yang sangat besar membuatnya semakin stres. Ia hampir tak bisa bertahan tetapi ia tidak memiliki pilihan lain. Tiap hari adalah sebuah pertarungan untuk tetap hidup. Ia terus-menerus hidup dengan ketakutan akan ditangkap.

chat-based narratives and unfinished storiesWhere stories live. Discover now