𓆩PROLOG - MIMPI𓆪

257 33 7
                                    

Gelap. Satu kata yang menggambarkan visual yang ada di pandangannya. Dirinya menengok ke kanan kiri, hanya ada gelap disini. Dirinya hanya bisa melihat tubuhnya, tapi tidak bisa melihat sekelilingnya.

Dirinya akhirnya memilih untuk melangkah ke depan, dimana tidak terlihat apa-apa selain kegelapan. Dirinya jadi takut, kalau-kalau ada sebuah jurang yang tiba-tiba ada di depannya. Apalagi sesuatu yang dipijaknya sekarang sungguh tidak terlihat apa-apa.

Menghiraukan pikirannya tadi, dirinya terus melangkah kedepan. Beberapa kali dirinya berhenti. Satu kali berhenti lalu melangkah. Dua kali berhenti lalu melangkah. Tiga empat lima enam, dirinya akhirnya memilih untuk tidak melangkah lagi. Dirinya duduk, melipat lututnya dan memeluknya. Menenggelamkan kepalanya di lipatan tersebut.

Gelap, sunyi, sepi, memuakkan.

"Nak..."

Dirinya tersentak. Ia mengangkat kepalanya, mendongak ke arah wanita paruh baya berkebaya merah di hadapannya.

"Nak...."

Wanita itu memasang wajah sendu. Ia sedikit membungkuk. Tubuhnya terlihat renta. Senyum sendu terlukis di wajah cantik keriputnya. Rambutnya tersanggul cantik dibelakang, harum mawar menguar darinya. Setelahnya wanita itu membalikkan badannya dan melangkah pergi. Dirinya pun berpikir untuk mengikuti—berharap bisa menemukan cahaya di tempat gelap ini.

Entah sudah berapa lama dirinya melangkah, mengikuti wanita yang tidak diketahui identitasnya. Entah sudah berapa lama dirinya berpijak. Entah sudah berapa lama dirinya bersabar demi menemukan secercah cahaya.

Wanita tadi tiba-tiba berhenti, dirinya pun refleks untuk berhenti. Beberapa saat wanita itu tidak bergeming, seperti tubuhnya membeku. Dirinya menundukkan kepala, sepertinya harapan untuk menemukan cahaya tidak tergapai.

Lalu sebuah kehangatan dari genggaman tangan menggenggam lembut kedua tangannya yang di satukan. Elusan lembut mengelus pipinya. Kulit yang keriput pun terasa begitu jelas, sentuhan itu sangat hangat dan lembut. Membuat dirinya mendongakkan kepala dan menatap ke arah wanita paruh baya di hadapannya.

"Chandra lan Tara, Surya lan Sandhya. Askara ing Harsa, Ngajab Koushik. Roshan ing Purnacandra...."

Wanita itu terlihat tersenyum. Perlahan sosoknya mulai menjadi butiran putih menyala. Butiran itu perlahan terbang. Cahaya mulai muncul dihadapan dirinya. Netra dirinya ia tutup karena silau, tangannya pun mencoba untuk menghadang cahaya yang masih mencoba untuk menembus netranya.

"Sukmomu bedho...."

Panca langsung membuka kelopak kedua netranya. Ia membeku di atas tempat tidurnya, kedua netranya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Perlahan dirinya mencoba untuk duduk. Ia duduk di pinggir kasur, pikirannya masih mencerna mimpi yang baru saja dirinya alami.

"Chandra lan Tara, Surya lan Sandhya. Askara ing Harsa, Ngajab Koushik. Roshan ing Purnacandra."

Kalimat itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Panca menghela nafas berat. Sebenarnya apa artinya? Batinnya bertanya akan hal itu.

'Tok-tok

Pikirannya buyar ketika mendengar ketokan pintu kamarnya, Panca pun bangkit dan melangkah kearahnya untuk membuka pintu itu.

Hawa dingin menjalar di kamarnya saat tangan kanannya sudah menyentuh kenop pintu. Panca membeku sesaat karena hawa dingin yang tiba-tiba saja menjalar. Hatinya mengatakan untuk tidak membuka pintu itu, tapi pikirannya menentang keras suara hatinya yang bergemuruh.

Panca pun menimbang-nimbang untuk mengikuti kubu yang mana. Hatinya, atau pikirannya. Akhirnya setelah beberapa saat merenung, dirinya pun mengikuti kata pikirannya. Tangannya perlahan memutar kenop pintu ke arah kiri. Ia tarik pintu putih kamarnya itu.

Panca membeku total di pijakannya. Tubuhnya terasa gemetar. Pandangannya terpaku ke arah depan, ke arah sesosok wanita berkebaya merah dan bersanggul.

Wanita itu menyeramkan. Netranya keseluruhan berwarna merah, semerah darah segar yang mengalir di tempat jantungnya berada. Dada tempat jantungnya berlubang seakan telah di tusuk pedang.

Sudut di kedua bibirnya robek. Kulitnya terkelupas dan berwarna kehitaman seperti terbakar. Panca menelan ketakutan dan kegugupan saat tangan sosok itu perlahan terulur ke lehernya.

Tangan kanan wanita itu menyentuh lehernya dan menekannya kuat. Panca tercekik, tubuhnya terasa melayang dan terangkat. Kuku panjang menancap di lehernya. Sekarang Panca tidak berada di kamarnya lagi, sekarang dirinya berada di kegelapan pekat.

Tubuhnya membeku tidak bisa menghentikan cekikan itu, netranya melotot kala tangan yang mencekiknya menambah tekanan. Perlahan kelopak netra Panca mencoba untuk menutup.

"Seng terpileh, bakal menghakimi. Seng berdhoso, bakal di hakimi...."

*Yang terpilih, akan menghakimi. Yang berdosa, akan di hakimi.

Samar-samar Panca mendengar suara yang terlirih dengan geraman. Tekanan cekikan terus menambah, sang wanita berkebaya merah melotot kearahnya. Aliran darah merah mengalir di sudut netranya yang melotot ke arah dirinya.

"Sukmomu bedho...."

"Pancaklara Marlengga!"

"Sukmomu bedho...!!!"

Hah...!

Panca terperanjat. Ia langsung terduduk hingga menyebabkan sakit yang berdenyut di kepalanya. Peluh membasahi dahi dan kaos putih oversize yang dipakainya, padahal AC masih saja menyala, keringat seukuran biji jagung mengalir deras di pelipisnya. Mimpi itu lagi....

Panca duduk di pinggir kasur, cekikan tadi terasa sangat nyata, nafasnya pun terengah-engah, kepalanya masih berdenyut. Sudut netranya melirik kearah jam yang menunjukkan pukul enam pagi, pukul 06:00 itu tertera di jam weker di atas meja nakas di sebelah tempat tidurnya.

Panca mencubit pipinya—memastikan dirinya sudah terbangun dari alam mimpi. Setelah dirasa denyutan di kepalanya memudar, Panca pergi ke kamar mandi untuk melakukan hal yang selalu mengawali paginya.

Tapi, saat Panca berkaca di cermin wastafel, bekas merah terlukis jelas di lehernya. Jika dilihat dengan teliti, bekas itu seperti bekas cekikan, bekas itu terlihat dengan jelas karena kulitnya yang putih. Panca merasa bingung dan gelagapan.

Bingung karena bekas cekikan dilehernya, gelagapan karena nanti pasti kakaknya akan menanyai dirinya.

'Ck, sebenarnya ada apa dengan semua ini?'

Berbagai pertanyaan terus menggema di dalam kepala Panca.

✿✿✿Bersambung...

Gimana? Bagus? Kalau suka, ya udah. Baca. Kalau ndak yah, out. Simpel. (≡^∇^≡)

Jadi ndak usah banyak mbacot ya. (◍•ᴗ•◍)

Lope yu. ◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

(Oh ya, btw ni story 40% kisah nyata, sisanya fiksi)

ℙ𝔸ℕℂ𝔸 𝕀ℕ𝔻ℝ𝔸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang