𓆩03 - PEMBICARAAN DI RUANG MAKAN𓆪

81 13 6
                                    

𓃚𓃚𓃚

"Sudah selesai pak?" tanya Panca kala pak Laksa sudah menyantaikan posisinya. Terlihat pak Laksa berdiri, lalu menghampiri dirinya dan bu Arumi yang sedari tadi memperhatikan.

"Sudah tuan kecil," jawab pak Laksa seraya tersenyum tipis. Panca mendengus pelan. Walau susah dimakan oleh usia, tapi kemampuan memperbaiki mobil dari sang supir sekaligus pendampingnya ini selalu lebih baik dari dirinya sendiri.

"Saya benar-benar merasa berterima kasih nak Panca, pak Laksa." Bu Arumi menundukkan kepalanya, ia hendak memberi imbalan.

"Tidak apa-apa bu," kata Panca menolak secara halus. Bu Arumi tampak ragu, tapi segera yakin kala pak Laksa berkata.

"Lagipula sudah menjadi kewajiban bagi sesama manusia untuk saling tolong menolong bu. Apalagi kan, ibu ini perempuan," kata pak Laksa meyakinkan.

Bu Arumi menganggukkan kepalanya perlahan dan berkata, "Yasudah. Saya jadi berhutang budi. Sekali lagi, terima kasih pak Laksa, nak Panca."

"Iya bu. Sama-sama," kata pak Laksa. Panca tersenyum tipis.

"Kalau begitu saya dan pak Laksa pamit bu. Bu Arumi juga harus pulang kan? Sudah hampir malam soalnya," kata Panca. Bu Arumi melirik langit.

Kegelapan hampir menyahut ternyata.

"Iya. Kalau begitu terima kasih sekali lagi."

Menjadi penutup, pak Laksa dan Panca segera memasuki mobil setelah berkata untuk hati-hati kepada bu Arumi. Bagaimanapun bu Arumi masihlah seorang perempuan. Berbahaya jika berkendara seorang diri. Panca tentu menawarkan untuk bersama, tapi bu Arumi yang merasa sudah terlalu merepotkan menolak.

"Saya pamit ya bu."

Setelah mobil yang dikendarai oleh pak Laksa dan ditumpangi oleh Panca menghilang sepenuhnya karena jarak, bu Arumi tidak bergegas menyalakan mesin mobil. Ia menatap sejenak sebuah foto.

Bu Arumi merenung. Dulu, untuk sekedar mengganti ban mobil saja tidak sesusah ini. Menghancurkan renungannya, bu Arumi segera melajukan mobil. Sebelum sang malam menyahut nyaring.

ℙ𝔸ℕℂ𝔸 𝕀ℕ𝔻ℝ𝔸

Setelah sampai dirumah, Panca hendak segera masuk dan membersihkan diri. Sebelum malam menyahut nyaring, dan sang kakak yaitu Hareswara pulang dari kantor. Sudah dipastikan sang kakak akan bersedekap tangan seraya menatap tajam karena dirinya pulang sedikit terlambat dari perkataannya.

Lebih baik sekarang Panca benar-benar harus pergi ke kamar, tapi baru melangkahkan kakinya di ruang tengah, sebuah suara bariton sudah memanggil dirinya.

"Ca," panggil suara itu. Sosok itu duduk di sofa membelakangi Panca, menghadap televisi layar lebar di ruang tengah. Panca yang baru mau melangkah ke arah tangga langsung menoleh dengan patah-patah kala sang kakak memanggil dirinya.

"Hm... Iya?" Dengan sedikit jurus andalannya-yaitu senyum manis semanis gula Panca menjawab panggilan. Menepis segala keringat dingin yang hendak mengalir di pelipisnya.

"Ehem, duduk," kata Hareswara memberi titah. Panca menelan kegugupan terlebih dahulu, lalu ia segera duduk di sofa dekat sang kakak. Tatapan maut sang kakak memang tidak ada, tapi posisi duduk yang angkuh itu membuat Panca meremang karena merasakan sesuatu.

ℙ𝔸ℕℂ𝔸 𝕀ℕ𝔻ℝ𝔸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang