𓆩01 - ANAK KECIL?𓆪

147 23 0
                                    

𓄿𓄿𓄿

'Tok-tok

"Ca?" suara bariton terdengar dari balik pintu kamar Panca. Sang empu yang dipanggil sedang memasang dasi di hadapan cermin full body pun menoleh ke arah pintu dan segera menjawab,

"Iya..!" jawab balas Panca kepada sosok yang berada di luar pintu kamarnya itu. Panca lalu memakai Hoodie coklatnya. Ia memakainya bertujuan untuk menutupi bekas cekikan di leher. Panca menyampirkan tasnya di bahu kanannya. Kali ini Panca bersyukur karena dirinya tenggelam di Hoodie yang kebesaran itu.

Hareswara Marlengga. Pria yang menjabat sebagai kakak Panca itu terlihat sudah melangkah menuju tangga saat memastikan sang adik sudah keluar dari kamarnya. Panca mengikuti di belakang, jantungnya berdegup kencang karena takut bekas cekikan di lehernya ketahuan oleh kakaknya yang sangat teliti itu.

Tapi saat sudah sampai di ruang makan, Panca merasa lega karena Hareswara yang terlihat hendak memakai jasnya. Pria berusia dua puluh empat itu dikejar waktu sepertinya hingga tidak terlalu memperhatikan. Elusan lembut di pucuk surai nya Panca rasakan.

"Kakak ada meeting pagi, Panca sarapan terus berangkat sama pak Laksa. Pulang dijemput pak Laksa juga, jangan mampir ke mana-mana hari ini." kata sekaligus titah Hareswara saat sudah berhenti mengelus surai adiknya yang belum duduk di kursi meja makan. Hareswara sempat menyinggung pak Laksa, supir pribadi yang selalu mengantar adiknya saat dirinya tak memiliki waktu.

"Oke, kakak juga hati-hati di jalan," ingat Panca pada Hareswara. Hareswara tersenyum kecil, ia mengacak surai Panca lalu langsung melenggang pergi. Panca cemberut. Ia menekuk wajahnya karena surai yang sudah dirinya atur rapi menjadi berantakan lagi karena sang kakak. Untung sayang.

Panca duduk di kursi meja makan. Dirinya dengan tenang memakan rotinya. Walau terlihat tenang, tapi didalam kepalanya tepatnya pikirannya terus saja bercabang. Apalagi bekas cekikan dilehernya itu.

Mengapa mimpi itu terus saja berulang?

Siapa wanita itu?

Apa maksud dari kata-katanya?

Mengapa, dirinya merasakan kalau disekitarnya terasa sangat aneh?

Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?

Pikirannya semakin bercabang. Dirinya tersentak kala Ayudhisa—seorang pembantu di rumahnya menepuk bahu kiri Panca.

"Maaf tuan kecil, sedari tadi saya sudah memanggil-manggil tuan kecil tapi tuan kecil tidak merespon," kata Ayudhisa seraya sedikit menunduk. Panca menggeleng, ia lalu berucap,

"Nggak pa-pa bik, Panca tadi ngelamun jadi nggak denger bik Dhisa manggil," katanya sambil menyematkan nama panggilan darinya untuk Ayudhisa. Bi Dhisa mengangguk, lalu ia menyerahkan sebuah botol vitamin. Panca dengan amat terpaksa mengambil vitamin itu. Pasti ulah kakaknya yang menyuruh Bi Dhisa untuk memberikan botol vitamin laknat itu.

"Yaudah bik, Panca permisi berangkat dulu." Setelah meminum vitamin tadi, Panca berdiri. Ia menyampirkan tas yang baru saja diberikan oleh Bi Disha. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut saat Panca berpamitan kepada dirinya. Tuan kecilnya itu selalu sopan kepada dirinya.

"Baik, tuan kecil semangat belajarnya," katanya. Panca tersenyum hingga netranya membentuk bulan sabit.

"Iya bik!" Setelahnya Panca berlari kecil kearah pintu utama. Bi Disha menatap punggungnya, setelah punggung itu menghilang dirinya pun melanjutkan pekerjaannya.

༺ღ༒℘ɑׁׅ݊ꪀᝯׁ֒ɑׁׅ ꪱׁׁׁׅׅׅ݊ꪀժׁׅ݊ꭈׁׅɑׁׅ༒ღ༻

ℙ𝔸ℕℂ𝔸 𝕀ℕ𝔻ℝ𝔸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang