Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Harga diri Sunghoon tidak pernah sekrisis ini. Kali ini benar-benar memalukan. Sialnya kenapa juga dia baru menyadarinya. Dibandingkan Jay yang notabenenya tuan rumah, Sunghoon justru yang terlihat paling banyak menghabiskan makanan.
Tawa renyah Jay membuatnya semakin ingin mengubur diri hidup-hidup. Sunghoon tidak pernah seceroboh ini dalam menjaga sikap, terlebih lagi itu ketika bersama orang yang baru ia kenal.
"Sorry, gue udah lama nggak makan masakan rumah seenak ini." Sunghoon mendehem, memilih untuk berterus terang.
Jay mengangguk, menelan habis air putih yang sejak tadi tertampung di dalam mulutnya. "Mau nambah? Biar gue bilang ke Mama—"
"Nggak." Potong Sunghoon cepat, menggeleng ribut.
"Yang bener?" Jemari Jay menarik satu batang rokok dari barisan yang lain. "Mumpung lo di sini, dan mumpung gue kasih gratis."
Sunghoon menggeleng keras. Menghabiskan suapan terakhirnya. "Nanti gue bayar." Mengingat sekarang ia tengah berada di rumah makan milik Mamanya Jay. Agak tidak nyaman juga sudah makan banyak, tapi tidak ada timbal balik.
Jay mendecih, "Nyokap gue nggak semelarat itu juga kali, sampe nggak bisa ngasih sedekah." Jemarinya bergerak memantik rokok.
Tetap saja tidak enak. Mana makanan yang disuguhkan Mama Jay sangat banyak. Semuanya serba daging, dengan resep yang berbeda-beda, dan jelas segala rasa tidak ada yang gagal. Sayur-sayuran yang dioseng, sampai sup, ikut meramaikan meja makan mereka yang paling penuh mengalahi pelanggan lainnya.
Sunghoon sampai yakin, kalau Mamanya Jay ini jelas salah satu pengusaha warung makan paling berduit di wilayah ini. Jay saja yang terlalu merendahkan diri, menganggap dirinya miskin.
Perut Sunghoon benar-benar kenyang. Sudah lama ia tidak makan se-khidmat ini. Diam-diam pandangannya kembali jatuh ke arah wanita cantik yang sejak tadi sibuk menyiapkan makanan, dan melayani para pelanggan. Dari cara wanita itu berinteraksi, jelas dia sangat akrab dengan para pelanggan. Melihat bagaimana pelanggan-pelanggan ini juga nampak begitu menyukai Mama Jay.
Tanpa sadar, perasaan Sunghoon menghangat. Sudah lama ia tidak melihat hal positif seperti ini. Di komplek perumahan elitenya, orang-orang jarang berinteraksi dengan satu sama lain. Rata-rata dari penghuninya sibuk bekerja, dan masalah pribadi lainnya, tanpa mempedulikan sekitar.
Pusat kota itu nyaris krisis momen kebersamaan. Berada di satu rumah yang sama saja masih ada yang jarang berinteraksi, akibat terlalu sibuk bekerja. Apa lagi yang hanya sekedar satu komplek dan bertetangga. Mereka terlalu kaku.
"Nyokap lo udah berapa tahun usaha di sini?" Sunghoon gantian menatap Jay. Pemuda itu hanya mengenakan baju kaos hitam tanpa lengan, dengan celana pendek selutut. Selalu saja begitu. Kalau tidak hitam, ya putih.