"Kok lama?" Jay menoleh.
Sunghoon menghampiri. Duduk di atas pagar balkon, menghadap ke arah Jay yang tengah duduk di bangku satu-satunya di pelataran itu. "Tadi sekalian bantuin Nyokap lo tutup warung."
"Eh, udah tutup?" Terlalu lama merenung, memandang derasnya guyuran air hujan membasahi pinggir kota yang tak kunjung mereda, membuat Jay sampai lupa waktu.
Lelaki itu menyalakan lockscreen ponselnya. Pukul 23.00pm. "Pantesan," desis Jay. Kepalanya terangkat, kembali menatap Sunghoon yang nampak tak terganggu dengan cuaca dingin malam ini. "Lo nggak bakal dicari Bokap?"
Ini pertama kalinya Jay menyinggung tentang Ayah Sunghoon. Mengingat sejak sore tadi lelaki itu tidak pulang ke rumah dan justru ikut bersama Jay—katanya ingin makan di warung Mamanya Jay. Tapi justru berakhir sampai mandi, menyempatkan untuk membantu melayani pelanggan Rona, dan kini bahkan Sunghoon mengenakan baju kaos Jay.
Katakan kalau Sunghoon mulai merasa nyaman di Bumi sebelah sini. Tempat sederhana yang justru terasa seperti rumah nyata baginya.
"Bokap sibuk. Nggak ada waktu buat ngeladenin gue." Bohong. Buktinya ada berpuluh-puluh panggilan tak terjawab dari asisten pribadi Ayahnya yang sama sekali tidak Sunghoon hiraukan.
Ayahnya memang selalu sibuk. Ruang kerja, berkas-berkas penting, dan klien lebih menarik perhatian pria itu. Tapi ketika berperan menjadi figuran penting di mata masyarakat, membuat pria itu tidak pernah lupa untuk terus menyempatkan—mengawasi apa saja yang Sunghoon lakukan saat sedang di luar.
Bagi Sunghoon, alasannya selalu dicari—walaupun itu lebih sering melalui perantara; asisten Ayahnya—bukan semata-mata karena Ayahnya benar-benar peduli. Melainkan Ayahnya hanya takut ia melakukan kesalahan yang fatal; yang mampu mencoreng nama baik keluarganya, memperburuk citra Ayahnya di depan publik.
Terlalu egois. Sunghoon selalu menyimpulkan situasinya seperti itu.
Kalau disuruh memilih, antara putranya dan pekerjaan. Sunghoon berani jamin, Ayahnya akan lebih mementingkan pekerjaan. Karena memang setidak penting itu dirinya.
Kadang Sunghoon bertanya-tanya, apa mereka memang memiliki hubungan darah? Atau apakah mereka memang Putra dan Ayah? Karena rasanya terlalu asing dan kaku.
Kehilangan sosok Ibu di keluarga itu menciptakan jarak yang semakin besar di antara keduanya. Kini hanya menyisakan situasi yang serba kekurangan. Seperti dua Kutub Utara tanpa matahari. Rasanya hubungan mereka akan terus membeku, tanpa ada yang menghangatkan, apa lagi mencairkan.
Seperti ada yang menekannya setiap saat, dari segala arah. Membuat Sunghoon tidak pernah merasa betah berada di rumah. Rasanya terlalu sesak.
"Yaudah, di sini aja, nggak papa." Jay berucap dengan enteng. Seakan mereka tidak pernah berada di situasi saling bersaing. Seakan mereka selalu berada di pihak yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bumi Sebelah Sini [ JayHoon ]
LosoweAnehnya, sesuatu yang secukupnya di sini justru seperti rumah baginya. Dom: Jay Sub: Sunghoon Warn! bxb!