04 • Kobaran Api

13 6 0
                                    

Liera tidak begitu mengingat banyak tentang hari itu. Hari di mana ia terjebak semalaman di mansion milik Leo. Rasa sakit itu tiba-tiba pergi bertepatan dengan kesadarannya yang perlahan menghilang. Seberapa besar ia mencoba mengingat, sedikit pun tak ada yang bisa diingat. Saat itu Liera merasa benar-benar mengantuk. Ia tak mengerti, bagaimana bisa ia terbangun di tempat yang berbeda. Bukan kamar Leo, melainkan kamar pribadinya. Terlebih Liera kembali dikejutkan dengan fakta bahwa ia sudah tertidur selamat satu pekan. Memang tidak normal, tetapi ketika mengingat kembali siapa dirinya. Itu menjadi sebuah hal yang bukan tabu.

Liera terbangun. Membersihkan diri dan melakukan aktivitas seperti yang ia lakukan di setiap akhir pekannya. Menganggap semua yang terlihat seolah benar-benar normal, tak ada yang salah dengan kehidupannya. Maka ia berusaha untuk menutup mata lagi, bukan ingin lari, hanya saja ia terlalu lelah dengan banyaknya kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Karena pria itu Evanisto, sosok yang sampai kapanpun tidak akan bisa lenyap sepenuhnya dari muka bumi ini. Terbukti adanya reinkarnasi. Bukan suatu kebetulan semata namun memang takdir Tuhan. Bukan kelahiran kembali yang Liera takutkan, akan tetapi tujuan pria itu hidup sekarang.

Liera menyentuh dahinya sebab baru saja merasakan kalut yang menyeruak. Ia yakin jika sekarang irisnya pasti sudah berubah warna. Pengaruh sihir itu terasa lebih lama dibandingkan biasanya. Liera tak mengerti dengan semua ini, terlebih ketika ia melihat kobaran api yang tiba-tiba semakin besar menyerbu ruang kamarnya. Lalu disusul bayangan yang perlahan masuk ke dalam sana.

Liera bungkam. Irisnya menangkap sosok yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Leo berjalan pelan dengan api yang membara semakin besar.

Liera tengah menerka-nerka banyaknya kemungkinan yang akan terjadi. Bukan ungkapan semacam pria dengan semangat api yang membara. Tetapi ini benar-benar pria dengan kobaran api yang semakin membara mengiringi di setiap langkahnya.

Kali ini, apa yang pria itu pikirkan?

Bungkam masih saja menyelimuti di setiap pergerakan, sampai di mana Leo berhenti dua langkah di depan Liera. Menatap wanita itu penuh dengan amarah yang terasa pedih.

Apakah kali ini, kau memilih untuk lebih dulu mengakhiri segalanya? Dan tentunya, dikehidupan tanpa cinta ini? Evan, aku harus berbuat apa? Apakah rasa itupun, hanya aku saja yang masih merasakannya sampai detik ini? Kupikir, dikehidupan kali ini, kau terlihat seperti ingin membalaskan semua dendammu padaku. Hanya itu yang terlihat oleh indra penglihatanku.

Tidak seharusnya Liera jatuh cinta. Lihatlah apa yang telah cinta perbuat padanya. Cinta membiarkannya dekat dengan sang Alpa, hanya untuk kesepian pada akhirnya. Liera pikir ia bisa lari dari cintanya. Liera takut mempercayai jika Leo merupakan satu-satunya. Ya, satu-satunya yang akan pergi dari cintanya. Dan Liera tidak bisa melepaskannya.

"Evanisto, senang melihatmu kembali. Apa kau telah menunggu hari ini tiba?"

Api semakin besar. Tidak ada tanda-tanda dari kedua sosok itu untuk beranjak dari tempat masing-masing. Liera masih senantiasa menatap Leo dengan senyum terpatri begitu lembut, namun tidak dengan balasan yang pria itu berikan. Tatapan tajam yang siap membunuh kapan saja. Liera tak masalah dengan itu. Akan Liera biarkan dunia ini terbakar. Liera biarkan dunia ini terbakar untuk Leo. Akan seperti ini pada akhirnya. Jika ia tak bisa memiliki, maka tidak untuk yang lainnya.

"Aku tak dapat menganggap diriku bersih. Hidupku sangatlah kotor. Mirisnya lagi ketika aku tahu itu tetapi tak dapat mengubahnya. Inilah hidup yang kujalani, Evan. Tidak hanya di kehidupan lalu, namun juga sekarang. Jika Moon Goddess masih memberikan kesempatan untuk mengulang kembali, akankah semua berubah? Kupikir tidak."

Tak ada yang tahu secara pasti, bahkan Liera pun tak mempercayai dirinya sendiri.

"Wanita gila. Sedikitpun kau tak pernah memikirkan hal baik datang? Yang kau pikirkan hanyalah menghancurkan hidupmu sendiri. Menghancurkan orang disekitarmu, keluargamu, termasuk cintamu. Kau egois!"

Liera menghela napas tiba-tiba. "Aku egois?" pungkas Liera menatap Leo tak percaya. Maniknya bergetar, ia menahan agar air matanya tidak jatuh. Bersyukur ketika suhu panas akibat adanya api berkobar kuat, mengeringkan air matanya. "Kau benar! Aku hanya melakukan apa yang kuanggap benar! Menuruti semua takdir yang telah diciptakan-Nya! Apa aku salah?"

Bukannya merasa bersalah atas ucapan angkuhnya. Leo malah semakin menertawakan keadaan. "Kau hanya terlalu mempercayai takdir!"

Liera pun kembali tergelak. "Lalu apa? Kau tak percaya?"

"Bagaimana bisa wanita sepertimu selalu mengalah dengan takdir yang belum tentu benar adanya?"

Tidak ada yang tahu.

Tentu saja tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Apakah itu akan menjadi kisah yang indah dan menyenangkan untuk dijalani, atau malah sebaliknya. Haruskah Liera menjalani kisah ini, layaknya sebuah drama romansa sempurna? Namun, yang Liera ketahui hanyalah rasa sakit, kepedihan, dan ketidakadilannya sendiri.

Pasti Liera terlihat sangat konyol sekarang. Sesungguhnya ia tidak mudah tersedu, bahkan ia malu ketika mengucurkan air asin dari pelupuk matanya. Tapi kali ini berbeda, hatinya menjerit, terlalu sakit dengan tutur kata yang berhasil menggores sempurna di hatinya.

"Terlihat jelas jika kini, kau menyalahkanku atas semua hal yang terjadi?"

Terdiam. Leo menatap Liera cukup lama. Terlihat jika pria itu kini tengah kelabakan untuk menjawab. "Kau tak menyesal? Dengan semua yang kau lakukan di kehidupan itu, apa kau sama sekali tak menyesalinya?!" Liera hanya diam, tentu saja itu berhasil membuat tawa ringan Leo sekejap kembali mengudara. "Sungguh? Kupikir di kehidupan kali ini kau akan merubah segalanya menjadi lebih baik, tetapi kenyataannya? Tidak! Kau malah ingin memperburuk semuanya! Kau membuatku muak, Evelie!"

Dikehidupan ini, Leo secara terbuka menunjukkan kebenciannya. Dan Liera menerima sepenuhnya rasa benci itu.

Kau pikir aku tak pernah mencoba untuk merubah semua ini? Apa pemberontakan yang selalu kulakukan pada Moon Goddess harus terlihat di matamu agar kau bisa merubah pandangan itu?

Evan, tak hanya sekali ataupun dua kali. Aku sudah mencoba merubahnya lebih dari ratusan kali.

Kau sakit, aku juga sakit. Kau menderita? Bahkan itu tak hanya sekedar membuatku menderita. Aku hancur, Evan.

Tidak ada air mata. Akan tetapi itu tidak membuktikan bahwa Liera tidak hancur. Air matanya sudah habis terkuras beribu mil lamanya. Kini pun ia masih bisa menampilkan senyumnya.

"Terima kasih, Evan. Kau telah membuat api ini. Dan kini giliranku untuk membuatnya tidak akan pernah bisa padam. Dengan darahku yang akan menyatu dengannya. Kau benar, sejak awal aku telah memilih menjadi api, bukan air terjun. Maka, akan kubiarkan dunia ini terbakar untukmu. Untuk kita."

Dan cinta yang tak terbalaskan.

Akan kubiarkan semua mati ditelan kobaran api.

Liera itu bagaikan racun termanis di antara yang paling manis bagi Leo. Tanpanya, semua memudar bagaikan percikan fajar. Leo mencintainya seperti ia mencintai bunga Lili putih. Walau kenyataannya Liera merupakan dandelion pun nyaris diselimuti oleh mawar hitam.

Sejak awal, hidupnya sudah seperti lautan hitam yang sulit diarungi kebaikan. Bahagianya hanya akan datang ketika kematian menghampirinya. 

Hujan abu dari langit berwarna jingga darah. Membakar seluruh dunianya tak bersisa. Hamparan dengan api yang berkobar tak akan pernah padam.

Semoga ini yang terakhir kalinya.

Bulir air mata lolos membuat anakan sungai di pipi Nona Muda Mashmell yang baru saja terbangun dari satu-satunya mimpi buruk dalam hidupnya.

"Mimpi ini?" keluh Liera sembari menangkup wajahnya. "Aku tak boleh berpikir sembarangan. Setahun lagi, semua ini akan berakhir. Ya, aku harus bertahan," cicitnya pelan sekedar ingin menenangkan diri sendiri.

𝐒𝐎𝐕𝐄𝐋𝐘-𝐆𝐋𝐎𝐖 𝜗𝜚˚⋆ ©nadhealeer_

Lilith • Leo Xodiac ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang