05. Hari Pertama (01)

22 8 0
                                    

10 Juli 2024.

Zira berkedip beribu kali, menampar pipinya perlahan sebagai bukti bahwa ia tak bermimpi. Setelah beberapa milidetik, dia melangkah kembali dan mengambil kursi yang berhadapan dengan Chris.

Chris juga terdiam, atmosfer malu dari dirinya terasa ke Zira. Zira juga sama malunya, sehingga mereka berdua tak berkutik sama sekali, layaknya diam seribu bahasa, atau bahkan membisu.

"Ya Allah. Aku ga terbesit sama sekali kalau Bang Chris adalah abang yang kemarin rela nunggu aku di UKS. Aku harus berbuat apa?!"

Tas Zira tiba tiba terjatuh dari pangkuannya. Semburat merah muda bisa tampak di pipinya sekarang karena semua sorot mata langsung tertuju kearahnya, termasuk makhluk yang ada di hadapannya walau sekarang dia kembali fokus ke HP nya.

Dia mengambil tasnya yang terjatuh, lalu menggeser geser layar HP nya yang dari tadi lengang sebagai pengalihan rasa malunya. Sejujurnya, dia sangat amat tidak nyaman dengan lingkungannya sekarang ini. Canggung, sunyi, diam, bercampur aduk menjadi satu.

"HAHAHA-"

"Astaghfirullah, bisa diam ga sih? Tau sopan santun kan?"

"Tapi ini lucu loh!"

Suasana yang membeku menjadi sedikit mencair. Mereka menatap kedua anak MTs yang sekarang sedang saling melotot karena rasa tak mau kalah atas argumen masing masing.

Zira tertawa perlahan, termasuk semua, lalu kembali menatap HP nya. Sebenarnya, dia ingin sekali chat teman temannya itu, Cs Windah Batubara. Tapi, dia teringat kalau mereka sedang sekolah. SMP nya memang tak diperbolehkan membawa HP.

Matanya menatap Chris tanpa alasan yang tetap fokus dengan layar HP nya. Lambat laun, Chris juga menatap Zira karena merasa ada yang lama menatapnya. Zira tertegun sembari menulan ludah.

"Mengapa aku menatapnya sial?! Kalau udah terlanjur seperti ini, aku harus membuka topik biar aku ga dikira wibu."

"Abang, eee, abang lama kah nunggu Zira tadi?"

Chris hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Ya, hanya 'menggeleng', hanya 'menggeleng.'

"Ini aku yang bakal dikira wibu atau aku yang bakal mikir kalau dia wibu sih?"

"Tidak lama."

Zira tersentak. Di pagi ini, dia sudah malu dua kali. Pertama, karena tasnya jatuh. Kedua, dia menganggap Chris mungkin seorang wibu. Walau dia hanya berpikir itu secara pribadi, tapi dia sudah membayangkan mungkin di dalam cafe nanti ada sesuatu hal yang membuat harga dirinya tercoreng.

"Oalah, baguslah. Soalnya tadi masih singgah di suatu tempat. Hehe..."

Chris mengangguk kembali. Zira berdehem untuk membersihkan tenggorokannya yang kering sekaligus menghela nafas perlahan. Dia menaruh HP di tas karena bosan, dan menatap kedua tangannya yang mengerut karena luka.

"Lukanya udah baikan?", Chris berkata dengan nada pelan walau matanya terus menatap layar, bahkan suaranya nyaris seperti bisikan. Dengan dia berkata seperti itu, membuat Zira terperanjat lagi.

"O..oh? Eee, udah lumayan bang", Zira menampakkan kedua lengannya dengan ragu ragu.

"Baguslah. Lalu, Zira sudah dapat dokumen?"

"Hah? Maaf, Zira tak terlalu dengar."

Jeda sejenak antara mereka berdua. Angin sepoi sepoi kembali menerpa apa yang disentuhnya. Angin dengan lembut menggerakkan kerudung Zira dan rambut Chris dengan pelan seperti rumput ditiup angin.

"Lucu, rambutnya bergerak-"

"Zira sudah dapat dokumen?", pertanyaannya langsung membuyarkan semua imajinasi Zira.

3 Days! [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang