2# Kabar baik?

30 16 0
                                    


"Sahabat sejati itu kayak bintang, selalu ada buat kita, bahkan di saat gelap."

~~~~~~~~


Apartemen Anya di malam hari. Cahaya lampu kota menyinari ruangan melalui jendela besar. Anya baru saja pulang dari kantor dan meletakkan tasnya di sofa.

Anya menghela napas panjang bagaikan hari yang sangat melelahkan.

Cahaya malam menerobos jendela besar apartemennya, menyinari kanvas kosong yang terpasang di dinding putihnya. Lukisan itu, hadiah dari Luca, seakan menjadi saksi bisu dari mimpi-mimpi besar yang sedang ia kejar.

Ia berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil ponsel. Dengan jari-jari yang sedikit gemetar, Anya mencari kontak Luca dan menekan tombol panggilan.

"Halo, Luca! Kamu lagi apa?" sapa Anya dengan ceria.

Luca mengucek matanya, suaranya sedikit serak karena kantuk. "Anya? Jam segini masih semangat banget ya? Lagi ngapain sih? Lagi ngitung bintang lagi?"

Anya terkekeh pelan. "Enggak, kali ini seriusan. Aku punya kabar yang bakal bikin kamu melongo."

"Wah, jangan-jangan kamu mau ngajak aku kabur ke Mars?" tanya Luca bercanda, matanya berbinar.

"Andai saja semudah itu," Anya nyengir. "Tapi, yang pasti ini soal misi ke Mars."

"Jangan bilang kamu mau jadi astronot beneran? Terus, nanti kalau ketemu alien, kamu mau ngajarin mereka bahasa Italia?" Luca terkekeh, membuat Anya ikut tertawa.

"Jangan ngawur, Luca!" Anya terkekeh. "Tapi seriusan, aku baru aja ditunjuk langsung untuk menjadi calon dari tim rahasia untuk misi eksplorasi ke Mars."

Luca terdiam sejenak, rahangnya menganga. "Hah? Seriusan? Wah, selamat Anya! Akhirnya impian kita waktu kecil jadi kenyataan!"

Anya tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. "Iya, nggak nyangka banget. Dulu kita sering ngeliatin langit malam di desa, sambil ngitung bintang dan ngebayangin jadi astronot."

"Iya, masa-masa itu seru banget. Kamu ingat nggak, waktu itu kita pernah bikin roket dari botol bekas terus nyuruh kucing kita jadi astronot?" Luca tertawa terbahak-bahak, mengingat kembali kenangan masa kecil mereka.

"Iya, jangan lupa kucingnya nangis ketakutan!" Anya ikut tertawa terbahak-bahak.

Anya mengubah panggilan suara itu menjadi panggilan video, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah rak bukunya.

"Lihat nih, koleksi buku astronomiku udah nambah lagi. Aku lagi nyari-nyari info tentang Mars. Katanya sih, ada rumor kalau di sana ada air beku di kutubnya."

"Wah, beneran? Kalau gitu, nanti kamu bisa bikin es krim Mars dong!" Luca bercanda lagi, membuat Anya menggelengkan kepala.

"Kamu ini ya, ngelawak mulu sih," ucap Anya sambil tersenyum. "Tapi serius, misi ini nggak semudah yang kamu bayangkan. Kita harus ngalamin pelatihan yang berat dan menghadapi banyak risiko."

Luca mengangguk paham. "Aku tahu. Tapi aku yakin kamu bisa. Kamu kan udah kayak robot, pasti semua perhitungan udah kamu siapin."

Anya tersipu malu. "Ih, lebay! Tapi makasih ya, Luca. Dukungan kamu buat aku semangat banget."

"Sama-sama," balas Luca tulus. "Oh iya, ngomong-ngomong, misi ini rahasia kan? Berarti ada yang spesial nih? Apa ada teknologi baru yang bakal kita pakai? Atau mungkin kita bakal nemuin bentuk kehidupan baru?"

Anya mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berbisik. "Sebenarnya, ada teknologi baru yang lagi kita kembangkan. Katanya sih, teknologi ini bisa ngedeteksi tanda-tanda kehidupan di planet lain, termasuk Mars."

Mata Luca berbinar penuh semangat. "Wah, keren banget! Jadi, kita bisa jadi orang pertama yang menemukan alien?"

Anya tertawa kecil. "Jangan terlalu berharap dulu. Tapi, kemungkinan itu ada."

"Aku nggak sabar nunggu kabar selanjutnya dari kamu," ucap Luca antusias. "Jangan lupa, kalau ketemu alien, ajak dia ngobrol ya."

Anya tertawa terbahak-bahak. "Pasti!"

Luca terdiam sejenak, mengingat sesuatu. "Oh iya, ngomong-ngomong, pameran lukisan aku sebentar lagi nih. Kamu mau datang? Aku bakal lukis potret kamu lagi, tapi kali ini dengan latar belakang planet Mars."

Anya langsung bersemangat. "Wah, keren! Pasti aku datang. Tapi jangan lupa kasih aku diskon ya!"

Luca tertawa kecil. "Bisa aja kamu. Oke deh, deal!"

"Aku jadi ga sabar deh liat hasilnya! Kira-kira kamu bakal pakai warna apa buat ngegambar Mars-nya? Merah kayak api ya?" tanya Anya dengan bersemangat.

Luca tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Mungkin aku bakal coba kombinasi warna yang lebih unik, biar beda dari lukisan-lukisan aku sebelumnya. Kamu punya ide nggak?"

"Hmm, gimana kalau warna biru tua, terus ada sedikit semburat merah buat simulin badai debu di Mars? Atau mungkin warna ungu, biar lebih misterius?" saran Anya.

"Ide bagus! Aku bakal coba kombinasikan warna-warna itu. Oh iya, kamu mau aku tambahin elemen apa lagi di lukisanmu? Robot penjelajah misalnya?" tanya Luca.

"Wah, keren banget pasti hasilnya! Nanti kalau lukisan itu udah jadi, buat aku yaaa!!! nanti aku pajang di kamar. Biar setiap hari bisa ngebayangin lagi jadi astronot," ujar Anya sambil tertawa.

"Kalau misi ke Mars kamu sukses, kita harus rayain bareng. Aku traktir makan malam spesial di restoran Italia favorit kita." ujar Luca sambil mengedipkan sebelah mata.

"Deal! Tapi kalau aku yang berhasil menemukan bentuk kehidupan baru di Mars, kamu harus lukisin potret aliennya buat aku." sahut Anya dengan penuh semangat, membayangkan betapa lucunya alien yang akan dilukis Luca.

"Wah, tantangan diterima! Tapi kalau kamu nggak nemuin alien, kamu harus beliin aku kuas lukis terbaru." tawa Luca, sambil menyodorkan tangannya seolah sedang menerima tawaran menarik.

Keduanya mengakhiri panggilan dengan tawa lepas. Persahabatan mereka yang telah terjalin sejak kecil semakin erat. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka akan selalu ada satu sama lain.

Tangan Anya menggenggam ponsel yang masih hangat, matanya berbinar haru. Mimpi masa kecilnya kini menjadi kenyataan yang semakin dekat. Namun, ia juga sadar bahwa perjalanan panjang masih menanti. Tanggung jawab besar kini dipikulnya, namun ia siap menghadapinya dengan semangat yang sama seperti dulu. Ia siap membuktikan bahwa mimpi tak pernah terlalu tinggi untuk diraih. Bintang-bintang di langit malam seolah berbisik, mendukung langkahnya.








*********

"Mars memanggil, jiwa meronta. Bukan sekadar planet, tapi cerminan diri sendiri."

Bintang-bintang malam ini seakan berbisik tentang keajaiban alam semesta, ku ingat kembali percakapan dengan Anya. Sebagai seorang seniman, ku coba mengabadikan keindahan kosmos dalam setiap goresan kuas. Namun, sebagai seorang penggemar sains, ku juga kagum dengan pencapaian Anya. Mimpi kita, yang dulu hanya sebatas khayalan, kini mulai terwujud satu per satu. Apakah kamu punya sahabat yang selalu mendukung mimpimu? Mari rayakan keberhasilan teman kita dan teruslah bermimpi.

La Notte Stellata Di Marte (The Starry Night of Mars)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang