7# Ekspedisi Rubicon

20 13 0
                                    

"The universe is not only stranger than we imagine, it is stranger than we can imagine." - Niels Bohr

~~~~~~~~

Cahaya matahari pagi menyinari wajah Anya yang cemas. Hari ini adalah hari yang menentukan nasibnya. Ia dan para calon astronot lainnya akan menjalani serangkaian tes fisik yang sangat berat. Dengan nafas terengah-engah, Anya bergabung dengan barisan peserta yang sudah siap memulai pemanasan.

"Kalian semua pasti sudah siap, kan?" suara instruktur menggema di lapangan latihan. "Ingat, ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga mental. Kalian harus membuktikan bahwa kalian layak menjadi pionir di Mars."

"Siap, Komandan!" sahut mereka kompak, namun suara mereka sedikit gemetar.

Instruktur, seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam, mengamati mereka satu per satu. "Kalian semua telah melewati banyak tahap. Tapi hari ini, ujian sesungguhnya baru dimulai. Mars tidak akan menunggu mereka yang lemah. Kalian harus membuktikan bahwa kalian memiliki fisik dan mental yang kuat untuk menghadapi tantangan di luar sana."

Pemanasan dimulai. Latihan peregangan yang biasanya terasa membosankan kini terasa begitu penting. Anya berusaha mengabaikan detak jantungnya yang bergemuruh dan fokus pada instruksi instruktur.

Di sampingnya, ada Ben, seorang pemuda atletis dengan tatapan penuh percaya diri.
"Gugup, Anya?" tanya Ben sambil tersenyum.

Anya mengangguk pelan. "Sedikit. Bagaimana denganmu?"

"Tentu saja," jawab Ben. "Tapi ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Kita harus memberikan yang terbaik."

Di belakang mereka, ada Mira, seorang gadis kurus dengan kacamata tebal. Ia terlihat sedikit canggung di antara para calon astronot yang kebanyakan memiliki tubuh atletis.

"Aku tidak yakin bisa melakukannya," gumam Mira. "Aku merasa terlalu kecil dan lemah."

Anya menoleh ke Mira dan tersenyum lembut. "Kita semua merasa seperti itu sekarang. Tapi ingat, kekuatan tidak selalu tentang fisik. Kita juga perlu kuat secara mental."
Mira mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca.

Pemanasan selesa. Peluit panjang berbunyi, menandai dimulainya tes fisik. Para calon astronot berbaris rapi, otot-otot mereka menegang. Instruktur memberi aba-aba, "Push-up, mulai!"

Anya langsung bergerak, tubuhnya naik turun dengan ritme yang stabil. Di sebelahnya, Ben terlihat lebih santai, gerakannya efisien dan kuat. Namun, di barisan belakang, Mira tampak kesulitan. Keringat sudah membanjiri keningnya, napasnya tersengal-sengal.

"Ayo, Mira, kamu bisa!" seru Anya memberikan semangat.

Mira tersenyum lemah, "Terima kasih, Anya. Aku akan mencoba."

Setelah beberapa menit, instruktur memberi aba-aba untuk berhenti. "Baik, sekarang sit-up!"

Kali ini, giliran Ben yang terlihat sedikit kesulitan. Otot perutnya terasa terbakar, tapi ia terus berusaha. Anya yang memiliki ketahanan yang lebih baik, masih terlihat cukup segar.

"Aku pikir aku tidak akan bisa menyelesaikannya," gumam Ben di antara napasnya.

"Jangan menyerah, Ben," sahut Anya. "Kita semua lelah, tapi kita harus terus maju."

Setelah tes sit-up dan pull-up, mereka melanjutkan dengan lari mengelilingi lapangan. Lapangan terasa semakin sempit, kaki terasa berat, dan napas semakin memburu. Namun, mereka terus berlari, saling mendorong dan menyemangati.

"Aku merasa seperti akan pingsan," ucap Mira sambil berusaha mengatur napasnya.

"Tenang saja, Mira. Kita hampir sampai," kata Anya.

La Notte Stellata Di Marte (The Starry Night of Mars)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang