008 : Lagi?

143 23 11
                                    

𝄞⨾𓍢ִ໋

"Bilal, hey! Bilal!" panik Bara.

Bagaimana tidak, jelas di depan matanya sang anak yang terus - terusan melontarkan kata maaf sembari gemetar hebat. Kemudian melihat sesuatu yang membuat dirinya sontak tak dapat bergeming barang sedikitpun.

Terlihat kulit di sela jari - jari sang anak itu membuka, menampakkan luka goresan yang lebih seperti sayatan, darah segar mulai berlomba - lomba untuk melumuri kulit putih Bilal.

Ia marah, sebab hal ini sempat terjadi 10 tahun lalu, dan itu sungguh merepotkan karena sang anak mendadak memasuki rumah sakit kala itu.

And he knows, ada seseorang yang sedang amat murka lebih dari dirinya. Dirinya tengah menghukum anak keras kepala di hadapannya ini, yang tentu ia mengerti bahwa sang anak sudah sedikit lebih jauh dari hanya sekedar berkunjung ke sang 'adik kelas'.

Tak tega melihat anaknya kesakitan, ia menarik tubuh kecil itu untuk ia rengkuh, mengusap lembut lengan sang anak agar lebih tenang, sembari menepuk - nepuk bibir sang anak menggunakan telunjuknya agar berhenti mengucapkan kata maaf.

Dirasa tak cukup karena sang anak belum juga tenang, ia reflek bersenandung dengan nada irama yang persis dengan yang sang anak senandungkan saat di ruang cinema. Sebenarnya tidak ada niatan untuk mengingat, hanya saja irama itu terus menghantui indra pendengarannya.

Hembusan nafas terdengar dari raga yang ia rengkuh. Dapat ia rasakan tubuh sang anak mulai memanas, namun bertepatan juga dengan pernafasan yang normal dan tiada kalimat permohonan maaf lagi yang menyapa telinganya.

"Ayah," lirih Bilal.

"Hm?" Bara melepaskan rengkuhannya, kemudian memberikan seluruh atensinya pada sang anak.

Bilal menunduk guna melihat punggung tangannya yang semula dilumuri cairan merah pekat, kini kembali tertabur bedak yang membuat itu kembali memutih. Namun masih dapat ia rasakan sensasi panas perih itu.

Ia kembali mendongak sembari tersenyum, "Makasih." ucapnya.

Bara masih setia terdiam, "..senandungnya, merdu."lanjut sang anak.

"Bilal suka." Kemudian ia beranjak dari kursi taman untuk memasuki mansion, cukup lelah mendapat serangan mendadak. Namun jika begini, bukan Bilal jika tidak semakin semangat membantah. Walaupun sudah melontarkan beribu kata maaf, ia tak janji untuk tidak mengulanginya kembali.

Tak menghiraukan tubuhnya yang panas menerjang angin malam yang menjadi dua kali lipat dingin. Ia sampai di pintu utama, kemudian dengan sedikit berlari menaiki tangga menuju kamar sepupu titan nya - Shaka. Yang pasti ia tahu para sepupunya sudah kembali ke kamarnya masing - masing dari ruang cinema.

"Aa!" bisiknya usai mendorong kuat pintu kamar Shaka.

Shaka yang terusik pun membuka matanya, "Hm?"

"Besok ke Fajjar lagi, yuk!"

Mendengar itu, Shaka mengerutkan keningnya, "Besok kan Aa' pulang, Bil."

"Tunda dulu aja khusus Aa', kan bawa motor, berarti bisa pulang sendiri kapan aja"

Shaka menghela nafas mendengar itu, "Yaudah, ajak Agas. Terus lu tidur."

"Siap!" kemudian ia berlari menuju kamarnya untuk segera tidur. Karena jujur, seisi mansion saat ini sudah sepi karena penghuninya sudah tenggelam dalam mimpi masing - masing. Karena lorong yang minim cahaya, ia harus dengan cepat melewati itu.

"Grayson kecil ini nakal, ya. Too much ga kalo saya jemput sekarang aja?"

────୨ৎ────

hii, makasi yang uda nunggu :3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

hii, makasi yang uda nunggu :3

aku persilahkan buat yang senantiasa mau vote & comment!

kalo ada yang mau ngasih kesan pesan atau saran boleh banget kooo!

anw, aku udah siapin book baru yang masih unpublished. yang tentunya bakal lebih angst, sakit menusuk jiwa raga hehe :'

udah, untuk part ini sedikit aja maaf yaa, next part aku usahain lebih banyak lagi
bye bye !



Grayson Bilal AthalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang