Paginya, Dain terbangun lebih dulu. Mendapati Asa yang tertidur dalam pelukannya. Entah sejak kapan mereka dalam posisi seperti itu. Ia memperhatikan wajah polos Asa yang sedang tidur, tangannya terangkat ke arah wajah Asa, menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah ayu itu.
"Maafkan aku, entah sejak kapan aku mulai menyukaimu lebih dari seorang sahabat. Berawal dari curhatan-curhatanmu tentang dia, aku sadar bahwa aku tidak suka kau dimiliki orang lain. Salahkah aku jika berharap suatu saat nanti kau dapat memiliki perasaan yang sama denganku? Apa aku salah jika berharap kau dapat membalas perasaanku, Asa-ya?" tangannya sibuk memainkan alis, hidung, bahkan bulu mata Asa.
Dain berani berkata seperti itu karena Asa masih tidur, gadis itu tidak akan mengetahui apa yang ia katakan barusan. Setelah puas memandangi fitur wajah Asa, Dain dengan hati-hati memindahkan kepala Asa ke bantal dari lengannya. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi, bersiap untuk pulang ke apartemennya.
Mendengar pintu kamar mandi yang tertutup, Asa perlahan membuka kedua matanya. Ternyata ia sudah terbangun sejak Dain mulai menyingkirkan anak rambutnya, hanya saja memilih untuk tetap memejamkan mata. Dan tentu saja ia dengan sangat jelas dapat mendengar semua yang diucapkan Dain padanya. Ia bangun, duduk bersandar di headboard tempat tidur, memikirkan ucapan Dain tadi.
Pikirannya teralihkan oleh bunyi notifikasi dari ponselnya yang menandakan adanya pesan masuk. Ia menoleh ke arah nakas, tangannya meraih ponsel yang ia simpan di atasnya semalam. Pesan itu dari Ruka, kekasihnya, yang meminta untuk bertemu di tempat biasa mereka bertemu. Sebuah café dengan nama Dream café. Tentu saja Asa segera membalasnya, bagaimanapun ia memang merindukan kekasihnya itu, ia juga akan mendengarkan alasan sang kekasih lebih memilih futsal daripada dirinya.
"Oh? Kau sudah bangun? Mandilah, aku akan pulang sebentar lagi." Asa mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamar mandi, tampak Dain yang sudah terlihat segar di sana. Asa hanya tersenyum, mengangguk, kemudian berlari kecil masuk ke kamar mandi. Ia menyelesaikan ritual mandinya dalam waktu 49 menit, yah setidaknya tidak sampai satu jam.
*****
Kini Dain berpamitan pulang pada kedua orang tua Asa setelah tadi mereka sarapan bersama. Keempatnya sudah berdiri di ambang pintu, mengantarkan Dain keluar. "Berhati-hatilah saat mengemudi, Nak." Momo mengelus lembut pipi Dain, menyalurkan rasa hangat kasih sayang. "Jangan ragu untuk mengabari kami jika kau mengalami kesulitan." Kini giliran Heechul yang memegang pundak Dain yang dibalas senyuman dan anggukan oleh gadis itu.
"Baiklah, Appa, Eomma. Dain pulang dulu kalau begitu." Ia menatap orang tua Asa bergantian, kemudian memeluknya sekejap lalu berjalan menuju mobilnya diikuti Asa. "Dain-a, terima kasih karena selalu mau mendengarkanku." Langkah Dain terhenti di samping mobilnya, berbalik menatap ke arah Asa. Tangan kanannya ia bawa ke puncak kepala Asa, membelainya lembut, "Apapun untukmu, Princess." Dain tersenyum kemudian masuk ke dalam mobilnya, mengendarainya untuk pulang ke Apartemen.
Asa kembali masuk ke dalam rumah, Bersiap untuk bertemu dengan Ruka. Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya, ia segera meminta sang supir untuk mengantarkannya Dream café. Di sana, sudah ada Ruka yang duduk menanti sang kekasih. Di hadapannya, tersaji segelas iced americano, segelas chocolate milkshake, dan dua piring toast. Asa yang baru tiba di café itu, mengedarkan pandangannya mencari Ruka. Dan, ketemu! Ia segera menghampiri meja tempat Ruka, duduk tanpa berkata sepatah kata pun, menunjukkan wajah merajuknya.
Ruka yang tadinya fokus menatap ponsel sambil tersenyum, terkejut dengan kehadiran sang kekasih yang sudah duduk di hadapannya. Segera ia menyembunyikan ponselnya, menampakkan senyuman yang memperlihatkan jajaran gigi putihnya pada Asa. Asa masih belum mau memberikan senyumnya pada sang kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau Putus - RorAsa
FanfictionRora dan Asa sudah bersahabat sejak sekolah dasar. Asa selalu menjadikan Rora sebagai tempat curhatnya, termasuk masalah asmara. Lama-kelamaan, Rora tidak bisa lagi menganggap Asa hanya sebagai sahabat. Perasaannya perlahan tumbuh untuk Asa. Lalu, b...