satu

13 0 0
                                    

Tanggal 29 November menjadi hari sakral bagi Zane dan Juwi.

Langit biru turut menjadi tamu undangan. Menjadi kubah sepasang pengantin ketika mereka mengucap sumpah pernikahan.
Ratusan kelopak mawar menghujani keduanya.

Marisa dengan gaun bridesmaid di belakang Juwi pun memalingkan wajah lantas menyeka setitik air di pelupuk mata. Ia terkekeh geli dengan sendirinya.

Tahun kemarin, Nathan melangsungkan pernikahan bersama pujaan hatinya. Tentu saja, Hanindya seorang.

Satu persatu saudaranya mulai beranjak memiliki kehidupan masing-masing bersama pasangan mereka. Tersisa Zio, Ahlan dan Marisa.

"Aduh, aduh, yang nikah siapa yang nangis siapa," ejek pria berjas hitam tak berkancing. Dia menusuk-nusuk pipi sang empu.

Marisa berdecak sebal. "Apaan sih, Bang? Jangan ganggu suasana deh!"

Siapa lagi kakak laki-laki yang suka menganggu selain Ahlan? Tidak ada.

Yeah, sekarang Ahlan sudah bukan lagi mahasiswa tukang berangkat telat. Tiga bulan lalu, dia memindah tali toga di auditorium kampus.

Tidak menyangka lelaki sepertinya lulus. Padahal dosen yang memergoki tingkah bodoh Ahlan saat telat kala itu mengira bahwa Ahlan akan menjadi mahasiswa abadi.

Begitu juga dengan Nathan. Sebagai kakak tertua, siapa sih yang tidak terharu melihat adiknya menemukan kunci hati? Mengingat Zane sebelumnya hanya lempeng-lempeng saja bahkan nampak risih kala diganggu Juwi.

Memang ya, jodoh itu seperti backsound Aladin.

Unexpectedly~

Marisa mengerutkan kening saat menengok sekeliling. "Bang Zio mana? Dari tadi kok ngga keliatan?"

Pria bernama Zio itu datang dari H-2 minggu sebelum pelaksanaan pernikahan. Dia turut andil dalam moment ini seperti memberi usul konsep tambahan mengenai vendor.

Kali ini, malah hanya Pattricia yang nampak batang hidungnya.

Sekarang, Pattricia sudah seperti keluarga sendiri. Pertemanannya dengan Zio sangat erat. Apalagi setelah kejadian kelam saat itu.

Ah tidak usah dibahas lagi!

Ahlan ikut-ikutan mengedarkan pandangan. "Katanya sih tadi izin ke toilet. Masa lama banget ya? Wahh ... Jangan-jangan bang Zio boker?"

Seketika Ahlan hampir terjungkal ke belakang karena tiba-tiba lehernya dipiting oleh lengan seseorang. "Ngomong apa tadi hah?"

"Iya-iya, Bang, ampun! Cuma bercanda aja kali!" Ahlan meringis sambil ketar-ketir.

Marisa tertawa. "Mampus!"

Dengan perasaan manusiawi, alhasil Zio menjauhkan tangannya. Ia berdiri di samping kedua adiknya. Mereka bertepuk tangan saat riuh tamu undangan terdengar.

"Cheers!"

Terdengar suara denting pertemuan antara bibir gelas berisi jus jeruk. Mereka adalah Pattricia, Hanin, Juwi, Ratna dan kelima bersaudara.

Nathan tersenyum usai meneguk minumannya. "Ciee Zane udah nggak jadi bujangan lagi! Mau honeymoon dimana? Atau di resort Ayah aja?"

Telinga sang empu memerah sedangkan Juwi jutsru tersenyum kesenangan. "Kak Nath ... "

Pria itu malah tertawa tanpa rasa dosa. Asyik sekali menggoda adiknya yang hidupnya lurus-lurus aja mirip jalan tol.

Netra Nathan beralih ke arah Zio. "Kamu kapan nyusul?"

Hanin sontak mencubit pinggang sang suami berniat menegur. "Kamu kok malah mirip emak-emak tukang rumpi sih, Nath?"

"Loh? Aku kan cuma nanya. Siapa tau Zio mau nyusul dalam waktu dekat," elaknya.

"Sejauh mata memandang, Zio masih suka sendiri aja, Kak. Ngga tau, mungkin dia lagi gila kerja," sahut Pattrcia disusul kekehan.

Merasa jadi tukang mengadu, Pattricia sengaja melirik ke arah lain saat Zio menatapnya dengan pandangan elang. Pura-pura tak melihat.

"Padahal kan banyak bule-bule cantik pada nongkrong di resort. Masa ga tergoda sih, Bang?" timpal Ahlan.

Bugh!

"Yank!" seru Ratna dengan wajah merengut.

"Ya Tuhan ... Kayaknya aku selalu jadi korban KDRT para cewe ... "

Zio geleng-geleng kepala memperhatikan interaksi sepasang kekasih somplak itu. Ia akui Ratna sangat sabar menghadapi tingkah Ahlan. Nyatanya, hubungan mereka langgeng sampai sekarang.

"Kak Nath pulang sama kak Hanin, bang Zane sama Juwi, terus bang Zio ke Bali. Berarti tinggal aku sama Marisa nih di rumah? Syedih sekali." Ahlan merangkul si bungsu. Keduanya serempak melengkungkan bibir ke bawah.

Ketiga pria yang disebut olehnya pun memandang sendu. Nathan dan Hanin menetap di Bandung karena sekarang mereka berdua memiliki usaha kuliner sendiri seusai resign dari restaurant.

Meskipun Zane dan Juwi masih tinggal di wilayah Jabodetabek, tetap saja ada perasaan yang berbeda.

"Abang pasti bakal sering-sering berkunjung. Kalau butuh sesuatu langsung telfon aja," ucap Zane disusul anggukan oleh Juwi.

"Kita kan masih temen seangkatan, Lan. Lo sama Marisa kalau mau dateng ke rumah mah santuy-santuy aja. Pintu terbuka lebar untuk kalian berdua."

"Enggak ah! Kalau kita dateng entar projek keponakan gagal terus," celetuk Ahlan.

"Ahlan ... " desis Zane menutupi rasa malu.

Nathan dan Hanin saling pandang seolah berbicara dengan isyarat mata. "Sebenarnya ... Di hari sakral ini, kita bawa kabar baik."

Semuanya memperhatikan.

"Sebentar lagi kakak bakal jadi ayah!"

Sontak mereka semua memandang dengan tatapan tak percaya. Marisa menutup mulut terharu. Benar-benar kebahagian berlipat ganda.

"WOOO!" teriak Ahlan kemudian mengajak mereka semua untuk saling merangkul kemudian seraya melompat-lompat mengitari sepasang calon orang tua.

Benar-benar pusat perhatian hanya tertuju kepada mereka bersembilan.


SHELTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang