sembilan

11 0 0
                                    

"Ayo cepet! Kita hampir ketinggalan kereta!"

Keempat muda-mudi keluar dari tiga pintu taxi. Mereka berlari memasuki lobi stasiun sehingga ransel yang mereka gendong bergerak seirama.

Syafa menggandeng tangan Marisa, sedangkan di belakang keduanya terdapat Raditya dan Wily. Tentu saja mereka berlari sendiri-sendiri.

Mendekati loket check in, mereka berempat mengantri agar petugas memindai tiket online melalui sebuah aplikasi.

"Kalau bisa lari ya, Mas, Mba, satu menit lagi kereta nya berangkat," ucap petugas memperingatkan membuat mereka meneguk ludah ketar-ketir.

Raditya mendorong bahu Marisa dari belakang agar kecepatannya bertambah. Maklum, jarang berolahraga membuat Marisa bertransformasi menjadi remaja jompo.

"Raditya!"

Wajah gadis itu berubah pias tatkala roda kereta mulai berputar saat dirinya masih di luar gerbong. Raditya langsung mengulurkan tangannya dan dalam satu kali sentakan berhasil membuat Marisa berhasil masuk ke dalam kereta.

"Tenangin nafas lo dulu," pinta Raditya. Meteka berdua masih berdiri di ujung pintu yang terbuka.

Sang empu berulang kali menarik dan menghembuskan napas sambil mengibas tangan kegerahan. "Ya Tuhan ... Hampir aja!"

"Makanya kalau hari libur sempetin jogging di GBK," cibirnya sedari tadi memperhatikan. Dia menilai kebugaran jasmani Marisa buruk sekali.

"Mana sempat keburu kerja kelompok, makalah, power point, persiapan presentasi. Hari libur berasa ngga ada apa-apa nya. Lo kan masih semester satu, belum seberapa."

Raditya berdecak seraya geleng-geleng kepala. "Malah adu nasib."

Pria itu pergi meninggalkan Marisa yang mengerucutkan bibir sebal.

Melewati deret kursi kelas eksekutif, batang hidung Syafa menyembul. "Kalian habis dari mana? Gue kira ketinggalan."

"Hampir," sahut Raditya lantas memasukkan ransel ke bagasi atas. Dia menoleh ke arah Marisa sambil mengulurkan tangan.

"Apa?" gadis itu bertanya-tanya.

"Tas lo siniin! Mau gue bantuin ngga?"

Marisa menyengir, "O-oh, boleh-boleh. Makasih."

Ala kadarnya perempuan, jika mereka sudah satu frekuensi bagaikan bertemu belahan jiwa. Syafa dan Marisa sudah duduk bersebelahan stand by di depan kamera ponsel. Berpose-pose ria.

"Pilih yang estetik, Syaf!"

Syafa tertawa. "Iya sebentar, sabar. Foto kita banyak banget anjir!"

Marisa pun mengangkat ponsel ke atas sehingga wajah Wily dan Raditya ikut nampak di sana. "Guys! Guys! Cheese!"

Cekrek!

Mari kita mengeksplor bangku belakang dimana dua pria saling tak mengenal disatukan melalui bangku Kereta Api Indonesia.

"Kak Wily anggota Hima yang saya liat sewaktu ospek jurusan bukan sih?" celetuk Raditya membuka suara.

"Tajam juga mata kamu." Wily mengangguk, "Iya benar, saya Wily."

"Kalian bertiga udah saling kenal sebelumnya?" pria itu menunjuk dua bangku di depan serta sang lawan bicara sekaligus.

"Kita dulu satu SMA." Raditya membulatkan bibir mengerti.

"Kamu juga udah saling kenal sama Marisa? Saya lihat kalian cukup dekat." Tentu saja dekat, jika tidak, mana mungkin Marisa mengajak adik tingkatnya sendiri, pikir Wily.

Sang empu mengedikkan bahu. "Ngga sengaja ketemu di ruang musik."

Tiba-tiba dari arah depan, Marisa berbalik badan menghadap kedua pria itu sambil menyodorkan satu bungkus snack kering. "Nih buat kalian! Daripada gabut."

"Daripada kaya gitu, mending kursinya di puter aja, Sa," usul Wily.

Gerbong dua nampak sepi penumpang sehingga mereka berdua tak terlalu malu menatap wajah orang lain dari arah berlawanan.

Raditya mengeluarkan pocket kamera dari tas selempangnya. Sebagai gerakan reflek, Marisa berpose dua jari membuat sang empu menyorot kulit lembutnya.

"Lo konten kreator?" tanya Syafa.

"Bukan, sih. Cuma buat asik-asikkan aja," katanya sambil meletakkan kamera di atas meja kecil dekat kaca sehingga keempatnya dapat tersorot sempurna.

"Eh, ini serius kakak lo yang fasilitasin semua? Mana registrasi dibayarin lagi," tanya Raditya meminta kepastian. Bagaimanapun juga mereka baru saling mengenal.

Marisa mengangguk. "Beneran, kok. Asal kalian tau, setelah gue ngobrol soal kompetisi masak, Kak Nath nge gas minta kita ikutan."

"Sungguh aneh tapi nyata," kekeh Wily mengingat betapa uniknya kelima saudara itu.

Syafa pun menyahut, "Seenggaknya sekali dalam seumur hidup, lo harus ketemu mereka berempat sekaligus, Dit. Asli! Kocak semua!"

Raditya menoleh ke arah Marisa. "Kalau gitu, kira-kira sepuluh tahun lagi, lo sanggup nunggu?"

"Hah?" kelopak mata Marisa mengerjap.

"Lah, katanya suruh ketemu mereka berempat." Wily hanya memperhatikan interaksi keduanya.

Syafa langsung ngeh kemana arah pembicaraan adik tingkat sebayanya itu pun berusaha mengecohnya.
"Apasih anjir! Kagak jelas banget!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHELTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang