tujuh

8 0 0
                                    

Hari berganti malam dan Ahlan masih setia bekerja. Kedua kaki yang mengantuk di ujung sofa bergerak sesuatu keinginan hati sang pemilik.

"Jadi pengen martabak," gumam Marisa saat tidak sengaja menggulir layar dan menjumpai food vloger.

Tanpa banyak berpikir, Marisa memakai jaket dan berjalan keluar rumah. Sekitar seratus meter di luar komplek perumahannya, terdapat satu penjual martabak. Kedai biasanya dia dan Ahlan sering mampir.

Mendekati kedai martabak, Marisa dapat merasakan tetesan air turun deras membasahi jaketnya. "Waduh! Mana gue ngga bawa payung lagi!"

Gadis itu berlari sambil menutupi kepala dengan kupluk jaket. Sampai-sampai lupa bahwa ponsel masih berada di genggamannya.

Bernaung atap kedai, Marisa mengusap usap pakaiannya. Dia mengeluh saat menyadari layar benda pipih tersebut basah.

Ketika berusaha mengeringkannya dengan kain jaket, layarnya tak sengaja menyala dan bergeser dengan sendirinya menuju aplikasi hijau, sebuah roomchat.

"Eh! Eh!" Marisa kewalahan karena jarinya justru tak sengaja menekan ikon panggilan suara.

Netra nya membelalak ketika seorang laki-laki datang. Dari balik naungan payung dia dapat melihat sang empu menempelkan ponsel ke arah telinga.

"Baru juga ketemu tadi sore, udah kangen aja?"

Baik dari telepon ataupun suara asli, semuanya terdengar sama persis.

Dia adalah Raditya.

Ya benar, mereka berdua sempat bertukar kontak saat bersama-sama mengembalikan kunci ruang musik kepada staf yang bersangkutan.

Raditya merasa, ia akan sering berkunjung ke ruang musik di akhir minggu juga yang kemungkinan besar akan selalu bertemu Marisa. Bisa jadi dirinya atau Marisa yang mengambil kunci lebih dulu supaya tidak miss komunikasi.

"Idih! Percaya diri sekali Anda!" cibir Marisa.

"Nih buktinya!" Raditya menggerakkan ponsel di udara.

Marisa menghela napas. "Tadi lagi nge-lap HP gue yang basah. Terus ngga sengaja kepencet telfon. Sorry."

Melihat lelaki itu menurunkan payung membuat Marisa bertanya-tanya. "Rumah lo daerah sini juga? Kok gue ngga pernah liat ya?"

"Gue lagi main ke rumah sepupu. Dia minta dibeliin martabak."

"Pasti sepupu nya perempuan?" tebak Marisa sambil terkekeh.

"Kata siapa? Sepupu gue laki-laki tulen." Raditya tertawa melihat gadis itu meringis, "Emang tingkahnya clingy banget sama nyokap. Jadi ya gitu, gue kena imbas manja-nya."

Mereka berdua sama-sama menghampiri penjual yang nampaknya kesepian karena belum ada pelanggan selain Marisa dan Raditya malam ini.

Setelah memesan, keduanya duduk berhadapan di kursi yang disediakan di depan meja kasir. Tak lama kemudian, ponsel Marisa berdering.

Panggilan video.
Bang Ahlan.

Masih dengan berselimut mantel dan helm basah terkena air hujan, Marisa tahu Ahlan sedang ngemper di teras rumah. "Dek, kamu dimana?"

Gadis itu menjawab, "Aku lagu di kedai martabak deket komplek."

"Bawa payung ngga? Abang jemput ya?"

Seusai bekerja seharian, Marisa dapat melihat raut lelah dari pancaran mata Ahlan membuatnya tak enak hati. "Ngga usah, Bang. Kayanya bentar lagi hujannya berhenti. Abang istirahat aja."

Raditya menoleh ke arah payungnya sendiri lantas menyahut pelan, "Nanti gue anterin."

"Beneran ngga papa? Kayanya kita beda arah," sahut Marisa membuat sang enpu mengangguk tanpa beban.

"Kamu lagi sama temen? Laki-laki?" pada dasarnya Ahlan tukang kepo. Daripada muncul fitnah, terpaksa sekali Marisa menunjukan wajah Raditya.

Yang ditunjukkan wajahnya juga tak canggung sama sekali, Raditya justru melambaikan tangan. "Santai aja, Bang. Nanti adiknya saya anterin sampai rumah."

Ahlan mengigit jari gemas. "Aw! Lucu-nya ... "

Ponsel kembali ke arah wajah Marisa. "Bang! Please ya ...  "

"Tapi, Dek. Daripada sama Wily mending sama laki-laki yang di sebelahmu sekarang. Lebih gentle."

Marisa mendelik malu. Pasalnya Raditya jelas mendengar percakapan mereka. Dia segera menurunkan volume panggilan. "Udahan ya, Bang? Martabaknya udah jadi, nih! Bye-bye!"

Tut.

"Asyik ... Belum apa-apa udah dapet lampu hijau," celetuk Raditya dengan nada menggoda.

"Abang gue emang gitu. Ngga usah dipikirin." Marisa saja cape sendiri menanggapi celetukan-celetukan nyeleneh dari Ahlan.

Sang empu mengedikkan bahu. "Gue sih biasa aja. Takutnya justru lo yang kepikiran. Cewe kan biasanya gitu."

"Except me of course!"

"Mas, Mba, martabaknya sudah jadi," seru penjual menginterupsi keduanya.

Raditya mengeluarkan dompet dari balik saku. "Total dua-duanya jadi berapa, Pak?"

Marisa sontak menoleh. "Eh, ngga usah. Gue bayar sendiri aja kali."

"Sante aja lah ... Gue orang kaya. Dua puluh ribu doang ga bakal bikin gue miskin." satu hal yang dapat Marisa tangkap dari kepribadian Raditya adalah kepercayaan diri tinggi.

"Ayo, pulang," ajak Raditya.

Hujan masih turun cukup deras. Meski diameter payung hitam tersebut cukup lebar, tetap saja percikan air mengenai pakaian mereka.

Di antara keheningan, Raditya membuka suara. "Katanya, lo pernah bikin band bareng anggota keluarga? Abang lo yang tadi termasuk?"

Marisa mengangguk. "Kita lima bersaudara. Dan kelima-lima nya adalah anggota band 'High Five'."

"Gue akui ide kalian keren. Sampai sekarang masih aktif?" gadis itu menggeleng pelan membuat Raditya mengerti.

Lima menit berselang, mereka berdua sampai di depan selasar rumah Marisa. Sebelum gadis itu keluar dari lingkaran payung, dia berbalik badan menatap Raditnya.

Dia mengangkat plastik berisi martabak. "Makasih buat traktirannya dan makasih juga karena udah nganterin."

Raditya merespon dengan anggukan sambil menahan tawa membuat sang lawan bicara mengerti bingung. "Kenapa?"

"Masuk sana! Muka abang lo terpampang jelas tuh di jendela. Gue mau ngakak tapi takut dosa." tetap saja Raditya tertawa.

Reflek Marisa memandang ke arah kaca jendela. Wajah Ahlan benar-benar menempel. Sepertinya pria itu merasa diperhatikan sehingga kini tersisa jejak bentuk muka yang tertinggal.

"Sumpah, Bang, aku malunya sampai ubun-ubun," batin Marisa.

"Gue pulang dulu."

Gadis itu terasadar. "Eh iya hati-hati!"

Dia mempercepat langkah memasuki rumah. Begitu membuka knop pintu, nampaklah Ahlan yang berpura-pura melihat majalah.

Marisa mendekat kemudian mengambil majalah tersebut dari genggaman Ahlan. "Kebalik, Bang."

Pria itu mengerjapkan kelopak mata memperhatikan majalah dan punggung Marisa berulang kali.

SHELTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang