dua

12 0 0
                                    

"Kita berangkat dulu ya!"

Dari balik kaca mobil, Juwi melambaikan tangan di samping Zane. Berselang tiga hari setelah pernikahan, mereka berdua harus pindah ke rumah baru yang telah Zane beli dengan uang tabungan sendiri.

Baik Zio, Ahlan, maupun Marisa menjawab lambaian tangan gadis itu. Bunyi klakson mobil menandakan bahwa mereka bersiap melaju meninggalkan halaman rumah.

Marisa menghembuskan napas panjang. Hal tersebut membuat perhatian Zio teralih. "Kenapa?"

Gadis itu menoleh. "Cuma kangen masa SMA waktu kita nge band bareng. Seru banget ya dulu?"

"Kamu mau kita nge band lagi?" tanya Ahlan.

Marisa menjawab, "Ya enggak lah! Kita udah pada sibuk semua. Aku nggak akan egois lagi kayak dulu."

Zio menyahut pelan. "Siapa yang egois, Marisa? Kita ber-empat memang sama-sama mau. Jangan nyalahin diri sendiri."

"Iya, nih! Makin dewasa kok abang liat-liat kamu jadi sering overthinking. Wily udah nembak kamu belum, sih? Kayaknya ngga ada progres sama sekali."

Marisa berdecak, "Kenapa jadi nyambung ke sana? Udah aku bilang berapa kali? Kita ngga ada hubungan lebih daripada temen."

"Yah ... Friend zone," ejeknya.

"Abang!" kesal Marisa.

"Yang terpenting itu fokus kuliah biar lulus tepat waktu," pesan Zio. Sang empu mengangguk patuh.

Zio berdehem sekali. "Nanti sore kalian mau anter abang ke bandara?"

"Iya dong! Jahat banget kalau kita biarin abang naik taxi!" sahut Ahlan. Mereka bertiga pun melangkah bersama memasuki rumah.

"Kalian udah sarapan belum?" tanya Zio.

"Belum," kompak mereka.

"Mau abang bikinin apa?" tawarnya.

"Telur mata sapi!"

"Mm ... Bisa ganti yang lain? Abang agak trauma sama makanan itu."

____

Satu koper dan satu tas ransel berhasil masuk ke dalam bagasi mobil. Zio menutup pintu belakang hingga memastikan tertutup sempurna.

"Aku mau nyetir, Bang!" pinta Ahlan yang kemudian kunci mobil melayang ke arahnya dan ditangkap dengan epik.

Begitu Ahlan duduk di kursi kemudi, ia pun menghela napas. "Salah satu temenin aku dong di depan. Memangnya aku itu sopir?"

"Iya," sahut Marisa.

"Jahat."

"Udahlah ngga papa, Lan. Sesekali," kekeh Zio di bangku nomor urut dua.

"Y."

Pria berkemeja putih itu melipat kedua tangan di depan dada. Bola matanya memperhatikan bangunan demi bangunan yang dilewati. Keramaian Jakarta akan selalu dikenang di lubuk hati.

Tiba-tiba sebatang cokelat berpita merah melayang tepat di depan matanya. Ia menoleh dimana Marisa sedang tersenyum ke arahnya.

"Cokelat buat Abang nanti di pesawat."

Zio tersenyum lantas menerimanya dengan tangan terbuka. "Terimakasih ya."

Marisa mengangguk. "Sama-sama. Jangan lupa dimakan, aku udah effort beli ke minimarket."

"Iya-iya."

Mobil melaju memasuki wilayah bandara yang kemudian berhenti sementara di depan lobi untuk menurunkan barang bawaan beserta calon penumpang. Selagi Ahlan mencari tempat parkir, Zio mengajak adik perempuannya duduk di dalam.

"Aku mau naik kopernya!" seru Marisa.

Zio tertawa saat gadis itu duduk di atas koper kemudian roda berjalan dengan sendirinya. Pria tersebut menyamai kecepatan Marisa.

"Kita duduk di sana aja," pinta Zio sambil menunjuk sebuah sofa.

Saat Marisa duduk manis menunggu, Zio melangkah menuju salah satu kedai roti ber-aroma kopi. Dia membeli tiga bungkus untuknya dan kedua adiknya.

"Terimakasih kembali, Kak!" ucap sang kasir.

Di sana sudah terdapat Ahlan. Matanya langsung berbinar melihat makanan. Alhasil mereka bertiga duduk bersama menyemil roti hangat itu.

Matahari tenggelam setengah badan. Mendekati jadwal keberangkatan, Zio diantar oleh Ahlan dan Marisa hingga batas yang ditentukan.

"Abang pergi ya? Kurangin berantem nya karena tersisa kalian berdua di rumah, jangan terlambat makan. Kalau ngga bisa masak, order aja."

Zio melirik ke arah Ahlan. "Jaga Marisa baik-baik."

Ahlan mengangguk. "Iya, Bang."

Sang kakak memeluk kedua adiknya bergantian. Namun, ketika hendak melepas dekapan, tangan Marisa menahannya.

Tangan Zio terulur mengusap punggung si bungsu. Katanya, yang paling tersiksa di antara ikatan persaudaraan adalah anak terakhir. Sosok itu harus melihat satu persatu kakaknya meninggalkan dirinya.

"Sering-sering pulang ke Jakarta ya, Bang?" lirih Marisa.

"Pasti," kata Zio tanpa ragu.

Sampai kapanpun, Zio akan terus menjadi kakak favorite-nya.


SHELTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang