empat

13 0 0
                                    

"Dek, bisa jemput abang ngga?"

Marisa memijat pangkal hidungnya. "Kan ada ojek online, Bang. Aku masih di kampus nih mau ada kelas."

"Oh ... Yaudah, deh, soalnya ini dompet abang nggak tau ilang kemana. Padahal tadi inget banget udah dimasukin ke saku celana." Ahlan menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

Sambungan telepon ditutup.

Terkadang, Ahlan merasa Marisa menyeramkan meski tanpa nada tinggi sekalipun. Maklum, sudah jam makan siang. Panas sedang terik-teriknya. Tidak cocok untuk mood perempuan.

"Terus gue pulang gimana?" gumam Ahlan serah berkacak pinggang.

Pria itu melangkah hingga tepi jalanan raya. "Pakai angkot dulu aja kali ya? Lebih murah dan kayaknya gue punya simpenan receh di rumah."

Ahlan melambaikan tangan ketika angkutan kota melaju ke arahnya. Pintu masuk penumpang terpampang di depannya.

Ahlan meneguk ludah saat mendapat kawanan emak-emak pulang dari pasar dengan membawa segudang barang.

"Jadi naik ga, Mas?"

"Eh? Oh iya, Pak, jadi. Tapi bayar pas udah sampe rumah ngga papa?" Sang sopir mempersilahkan.

Ahlan menunduk sambil berusaha tersenyum ramah. Karena pada dasarnya pakaiannya cukup mencolok daripada penumpang lain, beberapa pasang mata mulai berkunjung padanya.

"Jarang-jarang liat orang kantoran pulang naik angkot. Ngga bawa motor, Mas?" tanya wanita berkerudung kuning.

"Motor saya mogok, Bu."

"Waduhh ... Yo di servis to, Mas. Pasti njenengan cuma suka make aja," kata wanita berkerudung hitam.

Ahlan berusaha terkekeh. "Sudah saya service tapi kebetulan mogok lagi."

Pria itu memalingkan wajah ke kaca mobil bagian belakang. Benar-benar para wanita ini menyedot habis energinya dalam sekejap.

"Kiri, Pak!"

Angkutan Kota memelankan lajunya. Terpaksa Ahlan menoleh saat bahunya ditepuk dari arah samping. "Bisa bantuin sebentar, Mas? Barang bawaan kami banyak. Mas nya kan laki-laki."

Ahlan tersenyum kumon. "Mari saya bantu."

Dia melongo saat emak-emak keluar semua menyisakan dirinya dan barang-barang di dalam. Melihat ekspresi berharap mereka membuat Ahlan sadar.

Tiba-tiba, Ahlan menjadi kuli panggul dadakan.

Bolak balik keluar masuk mobil angkot untuk menurunkan barang dagangan ke atas aspal. Kemejanya berubah lusuh karena pergerakan berlebih yang tidak semestinya mengenakan pakaian formal.

Sang sopir justru bersiul-siul menurunkan cermin dari langit-langit angkot. Bersenandung entah lagu apa, intinya lagu lawas.

Ahlan menepuk-nepuk kedua tangannya. "Sudah semua, Ibu-ibu."

"Cah ngganteng iki koyok samson betawi yo? Otot kawat tulang besi. Makasih banget loh, Mas!"

Ahlan mengangguk samar. "Sama-sama."

Tanpa aba-aba, salah satu wanita mengeluarkan beberapa lembar uang dan diberikan kepadanya. "Buat bayar angkot. Tadi saya dengar kamu bayarnya waktu sampai di rumah, pasti dompetnya ketinggalan?"

"Hilang lebih tepatnya, Bu."

"Duhh mesa'ke tenan," sahut wanita jawa itu.

Kembali pada lembaran uang di tangannya, Ahlan menatap sang ibu itu. "Tapi, Bu, ini nggak per—"

"Terima saja, Mas. Saya jadi keinget anak yang lagi kerja dirantauan, dia sebesar kamu juga. Pasti ada masa-masa sulit yang nggak saya tahu, kejadian ini misalnya."

"Sukses terus, Mas."

Sebelum mereka berjalan menjauhi angkot, bahu Ahlan ditepuk beberapa kali. Membuat sang empu terdiam sejenak.

Dadanya terasa sesak.

Sudah lama sekali dirinya tidak merasakan doa dan kasih sayang seorang ibu.

____

Baik Zane maupun Juwi sama-sama sudah membuka mata sejak tadi bahkan saling memunggungi. Hanya saja ada satu perkara yang membuat mereka sungkan beranjak.

Juwi menarik selimut hingga batas leher. Melihat pergerakan tersebut membuat Zane terdiam.

Pria itu perlahan-lahan mencoba menoleh ke belakang, ingin melihat kondisi Juwi, apakah dia masih tidur atau sudah terbangun.

Deg.

Netra mereka bertumbukan karena Juwi melakukan hal yang sama.

Sontak mereka kembali pada posisi masing-masing. Zabe berdehem, "Kamu udah bangun?"

"Udah."

"Mm ... Kamu nggak berangkat kerja?" tanya Juwi canggung.

"Masih libur."

"Oh ... "

"Iya."

"Oke."

Gitu aja terus.

Suara keroncongan berasal dari pencernaan Zane yang meminta jatah makan. Juwi mendengar tentu saja.

"Anu ... Aku mandi dulu?" tanya Zane.

"I-iya, nanti aku masak."

Dengan secepat kilat, Zane berlari ke arah kamar mandi. Juwi terlonjak kaget saat ranjang bergerak seperti terkena guncangan gempa.

Begitu juga sang suami, di balik pintu toilet, ada yang sedang bersandar menetralisir irama pemompa darah.

"Argh ... Malu-maluin banget ... " gumamnya memegangi rambut seolah frustasi.

Selama Zane mandi, Juwi turun ke lantai bawa tepatnya area dapur. Jujur saja, dia jarang memasak. Tapi kalau masak mie dan telur, masih bisa dikompromi lah ...

Pria itu berpakaian. Wajahnya nampak kembali segar setelah dihujani air shower. Dengan kaus putih, ia menuruni anak tangga. Di sana Juwi sudah menunggu dengan senyuman khas.

"Duduk dulu, duduk dulu." Wanita itu menarik kursi untuk suaminya.

"Aku udah masak sesuatus buat kamu."

"Sesuatus?" beo nya.

Juwi mengangguk. "Iya sesuatus karena aku masak satu jenis bahan, tapi diolah dengan beberapa macam."

Zane menaikkan satu alisnya. "Wow! Keren banget! Aku justru baru tau kamu bisa masak."

"Mm ... Little bit. Hehe."

"Aku cobain ya?" Juwi mengangguk mempersilahkan.

Begitu Zane membuka tudung saji, ada suatu hal yang membuatnya terdiam. Bukan apa-apa, hanya saja ...

"Maaf aku cuma bikin telur dadar, telur rebus, sama telur mata sapi. Sisanya harus belajar dari awal."

Zane menggaruk pelipisnya tak tahu harus berkata apa. Sang istri menyentong nasi ke atas piring. "Ayo dimakan, jangan malu-malu."

"I-iya."

SHELTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang