Trigger Warning! |21+| |depression| |Violence| |Mature content| Harap bijak dalam membaca!
______________________________________
"Hari ini adalah hari penting, Pak Bahar mau dateng, kamu denger Ibu? Jangan keluarkan satu patah katapun yang bisa merusak segalanya, paham?" Kamila berbisik dengan nada yang tajam dan terkesan mengerikan kepada anaknya.
Anak muda tersebut, Yama, hanya bisa menunduk seraya merasakan getaran ketakutan yang melanda seluruh tubuhnya. Tangannya yang gemetar mencoba mencari pegangan, dan denyut jantungnya memompa keras, seakan ingin meledak.
"Dengarin dengan bener! Jangan coba-coba membuat kami malu di depan tamu penting ini!" seru Panji dengan suara meninggi. Dalam satu gerakan kasar, ia menarik rambut anaknya, memaksa Yama untuk menatap langsung ke dalam matanya yang menyala penuh amarah.
Yama, dengan wajah yang pucat pasi dan mata yang melebar karena takut, hanya bisa mengangguk lemah. Air matanya perlahan menitik, membasahi pipi dan mencerminkan rasa ketakutan serta tekanan yang dialaminya.
Melihat ketaatan sang anak, Panji tersenyum dengan sinis. "Bagus, Bapak senang melihatnya." Ucapannya itu, penuh dengan kepuasan yang mengerikan, menandai bukti otoritas tak terbantahkan yang ia pegang dalam rumah tangga tersebut.
"Kira-kira Pak Bahar ngasih uang berapa ya bulan ini? Semoga aja ada tambahan ya Pak dari bulan kemarin, kita beliin apa ya uangnya," ucap Kamila kepada Panji, kedua orang itu lantas pergi dari sana meninggalkan Yama sendiri di dalam kamar. Keduanya sibuk membuat keinginan yang mereka mau setelah mendapatkan uang cuma-cuma dari seorang keluarga kaya.
Dalam kesendirian yang memekakkan di kamarnya yang hanya diterangi cahaya redup lampu, Yama meremas tangannya erat-erat. Sebuah ketakutan yang mendalam merayap ke seluruh tubuhnya, ia merasa seperti ada mata yang tak kasat terus mengawasinya dari kegelapan.
Suara-suara itu mulai bergema di kepalanya, setiap bisikan menjadi lantunan nyanyian yang menyayat hati. "Anak tidak berguna! Harusnya kamu mati saja!" gumam bisikan itu seraya menusuk kalbu.
"Untuk apa hidup? Bukannya lebih baik mati saja?" tanya suara lain, lebih dalam dan menyesakkan.
Yama menutup telinganya, berusaha menghalau kata-kata kejam yang seolah-olah menari-nari di sekelilingnya. "Anak gila! Yama gila! Ayo, Yama, lepaskan saja diri dari derita ini. Mati saja."
Jeritan hukuman itu terus bertalu, "Anak nakal harus dihukum! Yama, ayo mati! Mati!" Setiap kata menohok jantungnya, mendorongnya ke jurang keputusasaan yang lebih dalam.
Di tengah kekacauan emosional yang menghancurkan, Yama terkulai, air mata membasahi pipinya yang pucat. Rasa takut, kesendirian, dan suara-suara yang mendorongnya ke arah kegelapan, semua menjadi satu, mengikatnya dalam belenggu kehampaan yang tampaknya tak terlepas.
Yama terus menekan kedua telapak tangannya ke telinganya, berusaha menghalau suara-suara yang terus menghantuinya. "Tidak, aku nggak gila!" teriaknya dengan nada putus asa, matanya berputar-putar mencari kelegaan.
"Pergi, tinggalin aku sendiri!" Pekiknya dengan suara yang memecah kesunyian. Takut untuk membuka matanya, ia merasakan bayangan hitam siap menerkam setiap kali kelopak matanya terangkat sedikit saja.
"Pergi! Tolong aku!" Yama terus berteriak, suaranya serak berharap ada yang mendengarnya dan menolongnya keluar dari labirin ketakutan ini. Yama terjebak dalam teror yang memenjarakan pikirannya. Hatinya dipenuhi rasa takut yang mendalam, ketakutan yang mengikis keberaniannya, seakan-akan dia sedang berada di tepi jurang kehancuran.
Yama Artha Nandika, pemuda berusia 20 tahun, terjebak dalam lembayung keabadian kegelapan yang menggurita. Hari-harinya terlukis dengan warna-warni ketakutan yang tak pernah berubah, sebagai bayang-bayang yang setia mengikuti langkahnya. Skizofrenia yang dideritanya tidak hanya merenggut warna dari dunianya, tapi juga merantai jiwa-jiwanya dalam kekacauan yang tiada henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boneka Hidup
Fanfiction#sicklit #brothership #angst Yama, seorang pemuda yang seharusnya memiliki masa depan cerah, justru terkurung dalam tubuh yang lemah dan pikiran yang terpecah. Orang-orang di sekitarnya melihatnya sebagai korban dari nasib buruk-seorang anak yang me...