4. Di Balik Jeruji Tak Kasat Mata

237 47 4
                                    

Yama terus bergetar di sudut kamar, punggungnya menempel di dinding, seolah berharap bisa lenyap di balik tembok yang dingin. Ruangan itu seolah mengecil di sekelilingnya, menyesakkan napasnya, dan sosok tak kasat mata itu makin mendominasi pandangannya. Sosok itu tidak pernah jauh. Selalu mengintai. Kali ini, suara yang menguar darinya tidak berteriak, tapi berbisik halus, seperti angin yang menusuk tulang.

"Yama…," bisiknya, penuh godaan. "Kau ingin sembuh, bukan? Ingin semua ini berakhir?"

Mata Yama yang merah dan basah hanya menatap nanar. Ia tidak tahu harus berkata apa, tapi dalam hatinya, ada keinginan kuat untuk bebas dari semua ini. Kebebasan yang seolah diimpikan, tapi tak pernah nyata. Meski begitu, ia hanya bisa mengangguk pelan, nyaris tak terlihat, ketakutannya begitu mencekam hingga tubuhnya seolah lumpuh total.

Sosok itu, dengan wajah yang tadinya penuh kelembutan semu, tiba-tiba mengeras, berubah menjadi bayangan kelam yang mendominasi seluruh pandangan Yama. "Kalau begitu, lawan mereka! Hancurkan mereka! Kau harus melawan orang tuamu!"

Pernyataan itu datang seperti petir yang menyambar di kepala Yama. Lawan orang tuanya? Ia menggigil lebih hebat, menggeleng dengan keras, seolah kata-kata itu seperti belenggu yang ingin ia lepaskan. Tidak. Ia tidak berani. Tidak mungkin. Sejak saat itu, ia telah ditanamkan bahwa orang tuanya adalah penguasa atas hidupnya, yang mengendalikan segalanya. Melawan mereka seperti mencoba melawan hukum alam yang tak bisa diganggu gugat.

Melihat reaksi penolakan Yama, sosok itu berubah lagi. Dari yang sebelumnya tampak hanya sebagai bayangan yang samar, kini menjelma menjadi makhluk mengerikan, dengan mata yang bersinar merah dan cakar tajam yang terlihat seperti bisa menembus dada Yama kapan saja. Suaranya meledak, memekakkan telinga Yama.

"Sampai kapan kau akan jadi pengecut, Yama?! Sampai kapan kau akan diam, membiarkan dirimu dikendalikan seperti boneka?!"

Yama menjerit dalam hatinya, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia hanya bisa menutup telinganya dengan kedua tangannya yang gemetar, seolah berusaha melindungi diri dari gempuran kata-kata yang mengiris batinnya. Sosok itu semakin mendekat, wajahnya begitu dekat hingga Yama bisa merasakan dinginnya napas yang penuh kebencian itu.

"Kenapa kau diam?! Jawab aku, Yama! Kau punya mulut! Katakan sesuatu! Jangan hanya diam seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa!"

Yama terus menggeleng, tubuhnya menggigil hebat. Ia tak berani bicara. Ia tak mampu. Kata-kata yang diucapkan sosok itu menusuk jiwanya seperti duri tajam yang menggores daging. Setiap kata yang dilontarkan terasa begitu nyata, begitu menyakitkan, hingga ia merasa seluruh tubuhnya akan meledak.

"Lemah!" makhluk itu menghardik lagi, suaranya berubah menjadi geraman penuh kebencian. "Kau pantas menderita seperti ini! Kau pantas dihukum oleh kedua orang tuamu! Kau pantas dihancurkan, Yama! Kau tidak berguna! Bahkan untuk membedakan kenyataan dan halusinasi saja kau tidak mampu! Tidak ada yang akan menyelamatkanmu karena kau memang pantas diperlakukan seperti ini!"

Hati Yama hancur. Kata-kata itu bergema di kepalanya, memukul-mukul sisi paling dalam dari jiwanya yang sudah rapuh. Sejak kecil, ia selalu merasa tak berharga, selalu dianggap lemah, tak ada yang peduli. Ia mulai percaya bahwa mungkin benar, ia memang pantas menderita. Mungkin ini memang takdirnya, menjadi boneka hidup yang dikendalikan oleh orang tuanya, dikungkung oleh bayang-bayang masa lalu yang menghantui tanpa akhir.

Air matanya mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Tangan-tangannya yang gemetar masih menutupi telinganya, berharap sosok itu akan pergi, tapi semakin ia berharap, semakin kuat sosok itu menghantuinya. Seolah-olah, makin Yama berusaha untuk lari, makin jauh dirinya terseret ke dalam jurang kegelapan yang ia ciptakan sendiri.

Boneka Hidup Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang