Yama itu sakit jiwanya, wajar jika ia tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Sebab rasa takut dan trauma selalu mengepung dirinya, seolah tak membiarkan dirinya bebas. Entah sejak kapan, sejak detik itu Yama selalu percaya dengan kata-kata kedua orang tuanya. Membuat jiwanya terjebak akan semua kebohongan.
Kini, semua perkataan Kendra terngiang dibenaknya. Dalam hati, ia selalu bertanya-tanya apakah dirinya dulu seperti itu? Yama merasa ada yang salah, tetapi ia tidak tahu di mana letak kesalahan itu. Kepalanya terasa penuh dengan bisikan-bisikan, yang membuat dirinya hanya bisa berteriak karena bingung.
Jika Yama tengah berkutat dengan ingatan masa lalu yang tiba-tiba saja muncul, lain halnya dengan Kendra yang kini tengah mendapatkan amarah dari ayahnya. Akan tetapi, Kendra tidak merasa takut, ia justru merasa tambah curiga dengan ayahnya ini.
"Liat apa yang kamu lakuin, Ken! Adik kamu kambuh lagi, teriak-teriak nggak jelas melebihi yang kemaren-kemaren! Kamu nggak kasihan? Bilang apa aja kamu sama dia? Kalo kayak gini kejadiannya, Bapak nggak kasih izin tadi!" cerca Panji. Entah apa yang sudah Kendra ceritakan kepada Yama, hingga membuat Yama histeris.
"Aku cuma berusaha bantu Yama, Pak! Aku mau ingetan dia waktu kecil itu pulih, supaya dia inget kalo dia itu dulu sehat! Harusnya Bapak seneng, tapi kenapa marah?" tanya Kendra diakhir kalimatnya, meminta penjelasan kepada sang ayah mengapa pria itu tak suka. Padahal seharusnya Panji senang kalau apa yang Kendra lakukan bisa memancing masa lalunya dan membuat Yama sadar dari dunia halusinasinya.
"Bukannya Bapak marah, Ken! Tapi liat sendiri jadinya sekarang. Bapak tau niat kamu baik, tapi kamu bukan profesional yang bisa bantu!" sanggah, padahal di dalam hati ia berharap Yama tidak ingat apa pun. Agar rahasia yang disembunyikan tetap tersimpan rapat.
"Kalo emang harus seorang profesional yang bantu Yama sembuh, mana buktinya, Pak! Yama nggak sembuh!" timpal Kendra lagi. Di sisi lain, Gio menggelengkan kepalanya seolah memberitahu Kendra agar tidak melanjutkan, tetapi Kendra tetap kekeuh.
"Itu karna adik kamu yang nggak mau sembuh, dia selalu malas terapi!" sangkal Panji sekali lagi, menyalahkan Yama yang tidak mau sembuh. Padahal semua itu hanyalah kebohongan belaka.
"Makanya itu, Pak! Aku mau kasih Yama motivasinya biar tambah sembuh," ujar Kendra.
"Besok kamu nggak perlu lakuin itu lagi, biar Bapak aja yang ngurus dia," putus Panji, ia merasa kendra adalah ancamannya saat ini.
Kandra menatap sang ayah lamat, kemudian berucap, "Aku jadi curiga, deh, sama Bapak dan Ibu."
Panji cukup terkejut dengan ucapan sang anak, tetapi ia berusaha membuat mimik wajahnya tetap sama. "Apa yang kamu curigai? Nggak usah aneh-aneh kamu."
"Ken." Gio mengintruksikan agar Kendra tidak melanjutkan perdebatan ini, tetapi Kendra tetap tidak mau menyerah.
"Entah aku yang bodoh atau Bapak sama Ibu yang pinter nyembunyiin sesuatu dari aku sama Mas Gio. Tapi aku curiga, Pak. Bapak sama Ibu cuma manfaatkan Yama, aja, 'kan? Kalian memperalat Yama buat jadi ladang uang buat kalian!" tandas Kendra dengan sorot tajam, tak peduli jika yang ada di depannya ini adalah sang ayah.
"Ngomong apa kamu, Kendra! Berani kamu nuduh Bapak!" Panji tak menyangka jika Kendra akan menuduhnya demikian, membuat dirinya ketar-ketir.
"Tentu aja aku berani, Pak! Aku baru sadar kalo selama ini baik Bapak dan ibu udah banyak berbohong! Aku tau kalian yang udah buat Yama gila!" papar Kendra, tak bisa menyembunyikan lagi tuduhannya.
Plak!
Kendra merasakan pipinya terasa panas kala tangan sang ayah menampar pipinya, ia tersenyum kecut akan perlakuan yang ia terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boneka Hidup
أدب الهواة#sicklit #brothership #angst Yama, seorang pemuda yang seharusnya memiliki masa depan cerah, justru terkurung dalam tubuh yang lemah dan pikiran yang terpecah. Orang-orang di sekitarnya melihatnya sebagai korban dari nasib buruk-seorang anak yang me...