3. Kegelapan yang Terjalin

262 44 10
                                    

Dinginnya ruangan konsultasi menambah berat suasana yang sudah suram. Yama, dengan pandangan kosong, duduk di kursi rodanya, menundukkan kepala seolah mencoba menghindari tatapan siapa pun. Dokter Rina, yang sudah terbiasa dengan perilaku Yama, mencoba membuka percakapan.

"Yama, bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya dokter Rina dengan lembut. Namun, seperti biasa, tidak ada jawaban. Yama tetap diam, kepalanya tetap tertunduk, dan raut wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun.

Dokter Rina lalu mengambil clipboard dan mulai mencatat beberapa observasi, meski hatinya terasa berat melihat kondisi Yama yang terus-terusan tertutup. "Kita bisa mencoba berbicara tentang hal lain jika itu membuatmu lebih nyaman," usulnya lagi, mencoba menembus tembok yang dibangun Yama. Namun, tetap saja, tidak ada respons. Hanya suara jam dinding yang berdetak mengisi keheningan ruangan itu.

Dokter Rina kemudian mendekatkan kursinya, mencoba untuk menyelami dunia Yama yang penuh misteri. "Saya di sini untuk membantumu, Yama," katanya dengan nada yang penuh empati.

Namun, Yama hanya diam dengan pandangan kosong, seolah-olah segala usaha percakapan adalah sia-sia. Ruangan itu kembali terhanyut dalam kesunyian, hanya sesekali terdengar suara kertas yang dijelajahi pena sang Psikiater, yang terus mencatat dalam upaya terus menerus untuk menjangkau Yama, meskipun tampaknya jauh dari jangkauan.

Di ruang hening itu, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetik lambat, menambah ketegangan yang sudah terasa. Psikiater itu, dengan penuh kesabaran, duduk di depan Yama yang terus menundukkan kepalanya, matanya kosong menatap lantai. Dari waktu ke waktu, dokter itu mencoba memecah keheningan dengan pertanyaan-pertanyaan lembut, namun Yama seperti terperangkap dalam keheningannya sendiri, tidak memberikan respons apa pun.

Dengan lembut, dokter mencoba menyentuh bahu Yama, berharap kontak fisik bisa membuka pintu komunikasi. "Yama, saya di sini untuk membantu. Apa pun yang kamu rasakan, kamu bisa berbagi denganku," ucapnya dengan nada yang penuh empati. Namun, Yama tetap diam, bahunya bergetar sedikit menandakan adanya perjuangan internal yang dialaminya.

Sesi demi sesi berlalu, dokter terus mencoba berbagai metode untuk meraih kepercayaan Yama, dari membacakan buku, memutar musik kesukaannya, hingga mengajaknya berbicara tentang hobi yang mungkin mereka berdua nikmati. Namun, Yama tetap seperti patung, tak bergeming, menahan beban emosi yang tampaknya terlalu berat untuk diungkapkan.

Ketika waktu sesi berakhir, psikiater itu menghela napas, merasa kecewa namun tidak menyerah. "Kita akan coba lagi minggu depan, Yama, saya akan menunggu," katanya seraya memberikan senyum penuh harapan. Yama, dengan gerakan lambat, mengangkat kepala, matanya bertemu dengan mata dokter itu. Ada kilatan sesuatu di sana, mungkin rasa terima kasih atau sekadar pengakuan atas usaha dokter itu, sebelum ia kembali menunduk, menyelimuti dirinya dalam cangkang kesunyiannya.

Sesi konsultasi telah berakhir, ruangan yang tadinya penuh dengan suara diskusi kini kembali sunyi. Dokter Rina menutup berkas catatannya dengan lembut, matanya menatap kedua orang tua Yama, yang duduk di depan meja dengan raut wajah penuh kepura-puraan kepedulian.

"Dari hasil observasi saya dan sesuai dengan apa yang telah kita bahas, saya akan meresepkan beberapa obat untuk Yama," ujar Dokter Rina sambil menyerahkan selembar resep kepada mereka. Tangannya terlipat di atas meja, nada suaranya tenang tapi tegas.

"Saya harap obat ini bisa membantu Yama untuk lebih baik lagi. Namun, jika dalam beberapa waktu ke depan tidak ada kemajuan yang signifikan, kita mungkin perlu mempertimbangkan opsi lain," lanjutnya, matanya tidak lepas memeriksa reaksi dari kedua orang tua tersebut.

Orang tua Yama, yang sejak awal pertemuan hanya memberikan respons minimal, mengangguk pelan seolah memahami. "Tentu, Dokter. Kami ingin yang terbaik untuk anak kami," ujar sang Ayah dengan suara yang terdengar dipaksakan.

Mereka berdiri, menjabat tangan Dokter Rina sebelum berlalu pergi serta membawa Yama, meninggalkan ruangan tersebut dengan langkah yang tergesa-gesa. Namun, di balik punggung mereka, sorot mata yang dingin dan sikap acuh tak acuh mereka sepanjang sesi berbicara lebih banyak dari kata-kata yang terucap.

***

"Gimana terapinya, Bu? Ada perkembangan dari Yama?" tanya Kendra dengan suara pelan, tetapi penuh harap. Ia berdiri di ambang ruang tamu, memandangi kedua orang tuanya yang baru saja pulang mengantar Yama untuk sesi konsultasi. Kecemasan menyelimuti hatinya. Kendra begitu ingin tahu, apakah kali ini ada perubahan, ataukah adiknya masih terjebak dalam jurang kesendirian dan keputusasaan yang tak berujung.

Panji dan Kamila menatap Kendra dengan tatapan berat. Mereka berjalan perlahan ke sofa, duduk dengan napas yang seolah terbawa oleh beban yang tak terlihat. Kamila menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara, sementara Panji hanya memandang lurus ke depan, kehilangan kata-kata.

"Masih sama aja, Nak. Seperti kemarin-kemarin. Tapi, dokter udah kasih resep obat baru. Ya... semoga saja kali ini bisa ada perubahan," ujar Kamila, suaranya terdengar getir, hampir pecah di tengah kalimat. Tangannya gemetar ketika ia menyentuh lengan Panji, seolah mencari kekuatan di tengah keputusasaan mereka yang memuncak.

Kendra mengangguk, meski hatinya tenggelam dalam rasa putus asa yang tak terucapkan. Ia merasakan kepedihan yang sama, setiap kali mendengar kabar yang tak juga menunjukkan titik terang. Adiknya, Yama, seolah menghilang di dalam dunianya sendiri, jauh dari jangkauan mereka yang mencintainya. Kegelapan yang menyelimuti Yama semakin pekat, menutup rapat semua jalan untuk kembali ke kehidupan yang normal.

Kemarin-kemarin Kendra memang takut untuk berdekatan dengan Yama, ia takut adiknya mengamuk dan melukai dirinya. Namun, entah mengapa kini ia merasa ada yang berbeda. Kendra ingin sekali menemui Yama, berbicara dengannya seperti dulu, ketika segala sesuatunya terasa normal. Ya, dulu mereka pernah menjadi kakak adik yang sangat dekat.

"Bu, aku mau liat Yama, boleh?" tanya Kendra, ia tidak memegang kunci kamar Yama, jadi dirinya tak bisa leluasa untuk masuk dan bertemu Yama.

"Yama butuh istirahat, Kendra. Biarkan dia tenang dulu," kata Kamila tegas. Tidak akan membiarkan orang lain bertemu Yama begitu saja tak terkecuali anak-anaknya yang lain.

"Tapi, Bu, aku hanya mau bicara sebentar. Aku yakin Yama akan senang kalau aku menemaninya," desaknya.

Panji dan Kamila saling bertukar pandang, dan untuk sesaat. "Nanti aja, Kendra. Sekarang bukan waktu yang tepat," ucap Panji, lebih tenang namun penuh ketidaknyamanan.

"Ya sudah, nanti izinin aku ketemu Yama, ya." Akhirnya Kendra hanya bisa pasrah. Mungkin benar, jika Yama memang membutuhkan istirahat saat ini.

Di kamar Yama, jendela ditutup rapat, dan Yama duduk di kursi rodanya seperti biasa. Matanya kosong menatap ke depan, namun tangannya terangkat perlahan, seolah menggapai sesuatu yang tak terlihat, mungkin langit di balik jendela. Di dalam pikirannya, ia berusaha mencapai sesuatu yang jauh, sesuatu yang hanya bisa ia lihat dalam pikirannya sendiri.

[]

35 vote, 10 komen untuk lanjut

Lampung, 22092024

Boneka Hidup Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang