2. Panggung Kepalsuan

353 50 5
                                    

Di kursi rodanya, Yama terbenam dalam lamunan yang mendalam, matanya kosong menatap ke hampa, seakan tak ada lagi nyawa yang bersarang di dalamnya. Kadang, ia terpekik histeris, atau air mata tiba-tiba menyeruak tak terkendali ketika bayangan gelap misterius itu kembali menghantuinya. Kulitnya berwarna pucat pasi, hampir mirip warna kapas, bukti nyata dari hidup yang terkurung di empat dinding yang telah menjelma menjadi penjara pribadi oleh kedua orang tuanya.

Tubuhnya pun mengering, bagai tanaman layu yang tak lagi mendapat asupan nutrisi, tanda dari tekanan mental yang menggerogoti jiwanya setiap hari. Terisolasi dalam dunianya yang serba kelabu, Yama sama sekali tidak menyadari kehebohan yang terjadi tepat di luar kamarnya.

"Kenapa harus aku? Nggak, Pak, Kendra nggak sanggup! Gimana kalo Yama tiba-tiba kambuh terus pukul aku nanti? Nggak, biar Mas Gian aja!" ujar Kendra menolak tugas itu dengan segenap hati; rasa takut menguasai pikirannya hanya dengan membayangkan kemungkinan menjadi sasaran kebrutalan sang adik yang tak lagi waras.

"Heh, nggak usah bawa-bawa gue ya! Hari ini 'kan jadwal lo urusin dia," timpal Gian, si sulung itu juga menolak mentah-mentah saat Kendra malah membawa namanya. 

Kendra menatap memelas kepada Panji, seolah meminta pertolongan agar ayahnya itu menurungkan niatnya untuk meminta dirinya mengurus Yama.

"Nggak ada penolakan Kendra," ujar Panji tak mau dibantah. Membuat Kendra yang mendengarnya menghela napas kasar, sungguh Kendra tak mau melakukan hal ini.

Kendra dan Gian hanya pulang ke rumah selama liburan kuliah, dan itulah sebabnya Panji menetapkan jadwal bagi mereka berdua untuk merawat Yama selama mereka berada di rumah.

"Kenapa tidak menyewa perawat saja, Pak? Itu jauh lebih mudah, kita tidak perlu susah payah mengurus dia," keluh Kendra dengan nada kesal, meskipun dia sangat menyadari bahwa sumbangan yang diterima adiknya dari para donatur cukup besar, bahkan mampu membiayai pendidikan dirinya dan Gian hingga saat ini.

Dengan langkah yang ragu dan berat, Kendra berjalan menuju kamar Yama yang selalu terkunci dari luar—sebuah tindakan yang dianggapnya berlebihan. "Bagaimana mungkin Yama kabur? Kaki adikku ini tidak berdaya," gumamnya penuh ironi saat menyentuh gagang pintu yang dingin, sementara di dalam hatinya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu.

Tanpa Kendra tahu, tindakan mereka mengunci Yama lebih merupakan simbol ketakutan mereka terhadap kondisi yang tidak mereka mengerti, daripada perlindungan yang sebenarnya bagi Yama.

Setelah terbukanya kamar Yama, Kendra bisa melihat sang adik tengah duduk di kursi rodanya tanpa bergerak sedikitpun. Dengan langkah takut, ia mulai melangkah untuk mendekat.

"Udah waktunya lo mandi, gue yang bakal bantu hari ini," tutur Kendra, walau ia tahu sang adik tidak akan membalas dirinya, tetapi Kendra merasa sangat canggung. Selain ia yang sangat jarang bertemu sang adik, kondisi adiknya yang tidak normal membuat dirinya tak tahu harus berbuat seperti apa.

Dengan ragu, Kendra mendorong kursi roda sang adik menjauh daru jendela tempat di mana Yama menghabiskan waktunya untuk berdiam diri. Segera Kendra membawa sang adik ke kamar mandi.

"Kenapa lo harus gila sih Yam? Lo tau, lo itu cuma bisa ngerepotin orang lain tau nggak," tutur Kendra seraya mulai menyabuni tubuh sang adik dengan tempo yang pelan. "Tapi keadaan lo ini ada untungnya juga sih, bisa buat gue kuliah, tapi kenapa lo nggak sembuh-sembuh ya?" lanjut Kendra lagi.

"Kaki lo mengecil, lo beneran nggak bisa jalan lagi?" tanya Kendra, tak peduli jika pertanyaannya itu hanya akan menjadi angin lalu yang tidak akan mendapatkan jawaban.

Walau malas, tapi pada akhirnya Kendra memandikan Yama dengan baik, mulai dari menggosok gigi anak tersebut hingga menyabuni, semua Kendra lakukan dengan hati-hati. Setelah selesai memandikan, Kendra mengangkat tubuh sang adik yang terasa ringan itu dan ia dudukkan di kasur.

Boneka Hidup Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang