file³

11 14 0
                                    

Keesokan harinya Amara berjalan menuju kelas dengan langkah gontai, pikirannya masih dipenuhi dengan cerita Daffa. Sekolah yang selama ini ia anggap aman, ternyata menyimpan rahasia gelap yang mengerikan.  Ia merasa terjebak dalam sebuah mimpi buruk.

Di kelas, Amara duduk di bangkunya, berusaha fokus pada pelajaran. Namun, pikirannya terus melayang ke lorong gelap itu, ke surat berlumuran darah, dan ke orang berjubah hitam yang berbicara dengan kepala sekolah.  Bayangan itu terus menghantuinya.

Saat pelajaran berakhir, Amara langsung berlari ke perpustakaan. Ia ingin mencari informasi tentang sekolah Infinity, tentang sejarahnya, dan tentang para siswa yang hilang.  Ia berharap menemukan petunjuk yang bisa mengungkap rahasia sekolah ini.

Ia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, membaca buku-buku tua dan mencari informasi di internet. Namun, ia tidak menemukan apa pun yang bisa membantu mengungkap rahasia sekolah.  Amara merasa putus asa.  Ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Gue gak bisa diem aja, harus mencari cara lain untuk mendapatkan informasi tentang sekolah ini," gumamnya, dengan perasaan resah. Ia menggigit jarinya, pikirannya berputar mencari solusi.

"Apa gue diam-diam masuk ke ruangan kepala sekolah ya..." gumamnya lagi,  ide itu muncul di kepalanya.  Ia tahu itu cukup berisiko, namun hanya itu cara terakhirnya.

Amara berniat untuk mampir ke ruangan kepala sekolah sebelum pulang, saat sekolah sudah sepi.

 °•°•°•°•°•

"Baru tau ruangan kepsek se mewah ini..." gumam Amara, matanya berbinar-binar melihat ruangan kepala sekolah yang megah.  Ia berhasil masuk ke ruangan itu saat sekolah sudah sepi.

Terdapat banyak buku yang tersusun rapih di rak-raknya.  Amara menelusuri setiap sudut ruangan tersebut, sampai akhirnya ia menemukan laci yang terkunci.  "Aih kenapa dikunci sih," gumamnya kesal.  Ia harus mencari kunci untuk membuka lacinya.

Amara menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk mencari kunci tersebut.  "Kalo gini terus bisa-bisa kepergok," batinnya, cemas.

Ia dengan telaten mengecek setiap laci dan lemari yang ada di sana, berharap menemukan kunci yang ia cari.

"Ketemuuu!"  Kunci itu disimpan di laci dekat kursi kepala sekolah.

Dengan semangat, Amara membuka laci yang terkunci tadi.  Di sana terdapat berkas siswa yang tersusun rapih.  Namun, beberapa di antaranya diberi tanda {X}  yang aneh.

Amara mencari berkas siswa Vanya dan Viona untuk mengecek apakah ada perbedaan dengan berkas siswa lain.  Benar saja, berkas milik Vanya dan Viona juga diberi tanda {X} yang ntah apa maksudnya.  Ia kembali mengecek berkas-berkas yang diberi tanda itu.

Terdapat empat berkas yang sudah mempunyai tanda {X}.  "Maksudnya apa ya," gumamnya bingung.  Dengan hati-hati, Amara membuka berkas tersebut.

"Galen Anderson. Kelas 12, Jurusan lPS,"  baca Amara, membuka satu persatu halaman dari berkas tersebut.  Sampai akhirnya ia menemukan riwayat pendidikan.

Di halaman itu dijelaskan tentang perilaku siswa, dan di sana terlihat jelas bahwa riwayat pendidikan milik Galen begitu buruk.  Amara mengerutkan kening, heran.

Saat menyadari hal itu, dengan cepat Amara memeriksa riwayat milik Vanya dan Viona.  Tetapi riwayat keduanya cukup bagus dibandingkan dengan riwayat milik Galen.

Saat sedang fokus memeriksa berkas yang diberi tanda, Amara mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah ruangan tersebut.

Dengan panik Amara menyimpan kembali berkas yang ia pegang serta mengunci kembali laci yang ia buka.  Ia dengan wajah paniknya memilih untuk bersembunyi di dalam lemari besar, karena tidak mungkin untuk keluar dari ruangan itu.

Terdengar suara obrolan antar dua orang dewasa, yang Amara sendiri tidak yakin mereka membahas tentang apa.  Ia mengintip di balik lemari, menemukan bahwa ada kepala sekolahnya dan entah siapa yang memakai jubah hitam.

"Apa dia yang di maksud Daffa?"  Bertanya pada dirinya sendiri dengan ragu.  Ia terhanyut dalam pikirannya hingga tanpa sadar bahwa sedari tadi ia sedang diperhatikan.

Tak lama percakapan antar dua orang itu pun usai serta keduanya meninggalkan tempat tersebut.  Amara bernafas lega dalam persembunyiannya.  "Gak kedengaran begitu jelas obrolan mereka, tapi gue masih penasaran siapa orang dibalik jubah hitam itu..."

Amara keluar dari lemari dengan hati-hati, jantungnya berdebar kencang. Ia mengendap-endap, berusaha tidak mengeluarkan suara.  Tangannya gemetar saat meraih kenop pintu.  Ia harus cepat keluar dari ruangan ini sebelum orang itu kembali.

Tiba-tiba, sebuah tangan dingin mencengkeram bahunya.  Amara tersentak kaget dan berbalik dengan cepat.  Ia mendapati dirinya berhadapan dengan orang berjubah hitam yang memakai topeng.

"H-hai," gumam Amara, suaranya gemetar.  Ia sangat gugup.  Orang ini adalah orang yang paling ia hindari, orang yang menyimpan rahasia mengerikan tentang sekolah ini.

"Jangan pernah ikut campur dalam urusan kami," suara orang itu bergema, berat dan dingin.  "Ini peringatan terakhir kami setelah surat yang kami kirimkan padamu kemarin!"

Amara terdiam, matanya terpaku pada topeng yang menutupi wajah orang itu.  Ia bisa merasakan tatapan tajam yang menusuknya, meskipun wajah orang itu tertutup.

"Ingat, apapun yang kamu dengar jangan diberi tahu pada siapapun," lanjut orang itu, tangannya menepuk pundak Amara beberapa kali.  Sentuhannya terasa dingin dan menusuk.

Amara hanya bisa mengangguk lemas sebagai jawaban.  Ia tidak berani melawan.  Orang itu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Amara sendirian di ruangan itu.

Amara terduduk di lantai, kakinya lemas.  "Gila, kaki gue lemes..." gumamnya, memijat kakinya dengan perasaan cemas.  Ia merasa seperti baru saja lolos dari maut.

Setelah beberapa saat, Amara bangkit dan berlari menuju kelasnya.  Ia harus keluar dari ruangan itu secepatnya.  Ia tidak ingin bertemu lagi dengan orang berjubah hitam itu.

Amara sampai di kelasnya dengan nafas tersengal-sengal.  Ia merasa seperti baru saja melewati sebuah mimpi buruk.  Ia harus berhati-hati.  Ia harus menjaga rahasia ini.

Amara menoleh ke arah jendela, matanya menatap langit senja yang mulai gelap.  Ia merasa tidak aman.  Ia merasa seperti sedang diawasi.

"Gue harus tanya Daffa, siapa Galen yang gue temuin berkasnya itu," gumamnya lagi, matanya menerawang ke kejauhan.  Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang siswa yang memiliki riwayat pendidikan buruk itu.  Mungkin ada hubungannya dengan para siswa yang hilang.

INFINITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang