exam⁵

5 6 0
                                    

Detik-detik menegangkan menjelang ujian bulanan di sekolah Infinity.  Amara dan Daffa, yang mengetahui rahasia gelap sekolah,  berusaha menyelesaikan ujian dengan baik dan mendapatkan nilai tinggi.  Mereka harus menjaga citra mereka agar tidak menarik perhatian orang-orang berjubah hitam itu.

Sedangkan murid lainnya yang tidak tahu apa-apa berleha-leha karena menganggap ujian ini tidak terlalu penting.

"UJIAN AKAN DILAKSANAKAN 5 MENIT LAGI.  SEMUA MURID DIHARAPKAN MEMASUKI RUANGAN KELAS MASING-MASING."

Pengumuman terdengar lewat speaker sekolah,  semua murid dengan segera memasuki kelasnya masing-masing.

"Woi.  Nanti gue liat,"  bisik Jace Kimura, siswa dengan catatan buruk yang selalu menggertak siswa lain untuk memperlihatkan jawaban padanya. Jace memiliki badan besar sehingga membuat siswa-siswi takut padanya.  Ia sedang berbicara dengan seorang siswi di sebelahnya,  suaranya berbisik namun terdengar mengancam.

Siswi itu hanya mengangguk ketakutan karena tidak berani untuk melawan.

"Aelah Jace, tenang aja kali ini cuman ujian biasa,"  timpal temannya.

Saat ini sekolah Infinity hening,  tidak ada suara apapun karena semua muridnya sedang fokus pada kertas ujian masing-masing.

Di kelas Daffa,  ia juga sedang menyontek karena ada soal yang dia tidak tahu.  Daffa adalah penyontek handal sehingga tak banyak orang yang percaya bahwa dia sering menyontek.  Dengan trik liciknya,  ia berjalan ke bangku siswi pintar dengan beralasan meminjam penghapus,  dan dengan lihai matanya menatap pada kertas siswi tersebut.  Sehingga jawaban yang dia inginkan diketahui.

Di kelas Amara pun sama,  Aiden yang tidak mempelajari soal ujian membuatnya mencontek sana sini dengan bebas. Semua murid yang ada di kelas itu takut padanya. Guru pengawas pun sedari tadi sedang memainkan ponselnya yang membuat Aiden lebih leluasa untuk menyontek.

"Waktu tersisa 3 menit lagi,"  ujar guru pengawas yang membuat semua murid tergesa-gesa untuk menjawab soal-soal itu.

"Gapapa dah yang penting udah di isi semua," Aiden dengan bangganya memberikan kertas itu pada ketua kelas.

Amara dan Rhea terlihat sangat fokus untuk menjawab pertanyaan yang disediakan. Tidak heran jika keduanya sering mendapatkan nilai tinggi.

"Hah selesai!" Rhea bangkit dari duduknya dan siap menyerahkan kertas itu pada ketua kelas.  Ia merasa lega.

Tak lama diikuti oleh Amara.  "Jawaban nomor 47 berapa?" tanya Amara pada Rhea,  pasalnya ia sendiri masih bimbang dengan jawabannya.

"Jelas 4.756," balas Rhea. Amara mengerutkan kening, tanda tak setuju. "Loh bukannya 4.755?" tanya Amara.

"Gak jir.  Lo salah ngitung kali. Uda jelas-jelas jawabannya segitu,"  balas Rhea. Keduanya berakhir adu mulut hanya karena jawaban mereka beda satu angka.

Aiden yang melihat itu sedari tadi hanya terdiam meratapi nasib.  "Anjing. Gue yang jawabannya 4.398 bisa apa...."  gumamnya.

Karena tidak mau melamun terlalu lama,  Aiden memutuskan untuk pergi keluar kelas,  menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu dia di kantin.

Amara dan Rhea masih berdebat tentang jawaban nomor 47. Mereka berdua sama-sama yakin dengan jawaban mereka.

"Yaudahlah,  kita serahkan aja ke guru.  Nanti kita tanya lagi kalo jawabannya salah,"  kata Rhea,  menyerah.

Amara mengangguk setuju.  Ia tidak mau membuang waktu lagi untuk berdebat.

Mereka berdua menyerahkan kertas ujian mereka pada ketua kelas dan keluar dari kelas.

"Gue penasaran siapa yang bener,"  kata Amara,  matanya menatap Rhea dengan penuh tanya.

Rhea mengangkat bahu. "Entahlah.  Yang penting kita udah berusaha,"  jawabnya.

Mereka berdua berjalan menuju kantin.  Mereka harus mengisi perut mereka setelah mengerjakan ujian yang menegangkan.

Saat mereka sampai di kantin,  mereka melihat Daffa sedang duduk di meja kantin.

"Daf,  lo udah selesai?"  tanya Amara,  menghampiri Daffa.

"Udah.  Gimana ujiannya?"  tanya Daffa.

"Ya... Gitu lancar aja, tapi ada jawaban yang beda dari kita," balas Amara,  sambil mengangguk setuju dengan Rhea.

"Yaudah paling gak jauh-jauh amat beda nya,"  kata Daffa,  sambil melihat ke arah ponselnya.

"Kalian gak laper?  Pesen sana keburu ngantri,"  lanjutnya,  Amara dan Rhea segera pergi dari sana untuk memesan makanan.

Tapi saat sedang mengantri,  ada siswi yang berlari dengan muka paniknya.

"Eh eh kenapa lo?"  Rhea menahan siswi tersebut agar berhenti berlari.  Ini kantin yang seharusnya dijadikan tempat orang untuk makan,  tapi dia malah lari-lari tidak jelas di dalam kantin.

Siswi itu berusaha membuang nafasnya yang tersengal-sengal,  dadanya naik turun hingga keringat yang bercucuran bercampur dengan air mata.  Tunggu?  Dia nangis?

"Eh kenapa kok nangis?"  Tanya Amara,  ia menuntun siswi tersebut ke meja yang sedang Daffa tempati.

Rhea mengikutinya dari belakang,  ia juga ikut penasaran dengan apa yang terjadi pada siswi itu.

"Coba tenangin diri Lo dulu,  tarik nafas,  abis tuh ceritakan pada kita,  oke."  Siswi itu terus saja mengatur tempo detak jantungnya serta mengatur nafasnya.

"Venna..."  Hanya satu kata yang keluar dari mulut siswi tersebut sebelum dia menangis.

Air matanya kembali mengalir melewati pipi,  membuat semua mukanya terlihat memerah.

"Venna dibawa sama orang yang pake jubah hitam..."  ujarnya,  dengan tangis yang tertahan.

Mendengar itu,  Amara langsung memandang ke arah Daffa.  Begitupun sebaliknya,  seakan keduanya berada dalam pikiran yang sama.

"Coba lebih detail ceritanya,"  pinta Rhea,  ia begitu ingin tahu apa yang dimaksud siswi di depannya ini.

Siswi itu menjelaskan dengan detak.  "Jadi orang itu tiba-tiba datang saat kalian keluar dari toilet?"  Tanya Rhea memastikan.

Siswi itu mengangguk lesu.  "Dan saat itu juga tiba-tiba Venna hilang entah kemana,  pulpen yang dia genggam pun terjatuh,"  siswi itu memperlihatkan pulpen Venna yang terjatuh sebelum Venna diculik.

Diculik?  Apa benar ini penculikan?

"Sialan.  Mereka mau ngambil berapa murid untuk dibunuh,"  gumam Daffa dengan penuh kekesalan.

Amara menceritakan pada Daffa tentang apa yang dibicarakan oleh si jubah hitam padanya saat di perpustakaan.

"Udah tenang ya...  Kita berharap aja semoga Ravenna gak kenapa-kenapa,"  kata Amara dengan nada lembut.  Ia mencoba menenangkan siswi itu.

"Sekarang Lo balik ke kelas atau mau di antar?"  Siswi itu menggeleng tak mau dan langsung pergi dari area kantin.

INFINITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang