Gerimis hujan mulai turun membasahi dataran bumi, dengan sorotan sinar senja yang mulai menampakkan cahayanya di layar cakrawala. Saat itu juga gadis yang baru pulang dari sekolah datang dengan derai airmatanya, yang sudah sembab di bawah gerimis hujan yang mulai deras, tanpa sepengetahuan orang rumah, gadis itu masuk dengan tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Apa yang terjadi pada si bungsu, entahlah.
"Loh, sopo iku seng mlebu? Pintune ga di tutup?" Ujar Pak Ibrahim, dari arah dapur.
Detik itu juga, Zaidan keluar dari kamarnya, "kenopo to, Pak?" Tanyanya dengan sisa gerakan kecil pintu.
Otomatis Pak Ibrahim menoleh, "loh, kirain kamu seng keluar, Dan. Opo Mas Joko udah balek, po?"
Dengan wajah yang ikut kebingungan, Zaidan menggeleng. "Hah, belom tuh, lagian mana mungkin, Pak. dia pulang jam segini masih nanggung, kata dia" Ungkapnya.
"Emang kenapa to, pak?"
"Iku, tadi pintu kayak ada yang buka pintu, pas dicek bener buka tapi nggak ada yang masuk atau keluar"
"Hah. Mosok sih, Pak. Opo yo yah mene ono demit ronda"
"Heh ojo salah iki sandikolo. jam lima, setengah enam iki loh"
Hening sejenak, "oh iyo"
"Wes adek mu, udah pulang semua to?" Tanya bapak, tentang ketiga anak bungsunya, siapalagi jika bukan, Gupta, Jian, dan Azizah.
"Sopo? Gupta sama Jian, po? Mereka sudah di masjid dari tadi. Ini mau nyusul" Balasnya sambil menunjukkan sarun dan sajadah yang masih rapi terlipat, sedangkan peci sudah ia kenakan, melekat di kepala.
"Bungsu?"
Seketika Zaidan tersentak kaget dengan kata itu, "walah Pak, iyo. Adek lupa Idan jemput, tadi." Pekiknya menepuk jidat.
Mendapat fakta itu, keduanya pun panik, Pak Ibrahim bergrutu memarahi Zaidan atas kelalaiannya dan juga tugasnya sebagai kakak, juga sore ini adalah gilirannya yang menjemput si bungsu, tetapi ia malah lupa. Zaidan berusaha menghubungi si bungsu namun berada di jangkauan, tak pikir panjang Zaidan teringat jika Jhonatan masih berada di luar rumah, jadi sekalian saja memintanya untuk memeriksa si bungsu di sekolahnya, sementara Pak Ibrahim sudah takut dan waswas, ia sempat mondar-mandir di teras depan sampai adzan maghrib berkumandang.
"Pak, tunggu didalem, nggak baik waktu maghrib" Pinta Zaidan, dengan nada bersalahnya.
Bapak pun masuk menuruti ucapan Zaidan duduk di sofa depan dengan mata yang masuk terus menatap kuar jendela yang sudah tertutup gurden namun masih bisa transparan. Hujan juga sudah turun deras, Jhonatan juga belum ada kabar lagi, mungkin sedang diperjalanan, pulang.
Di saat keduanya sedang cemas menunggu keduanya pulang, disana itu juga terdengan panggilan untuk keduanya dari dalam rumah.
"Pak, Mas. Ngapain di situ? Solat" Anaknya yang sudah siap dengan mukena berborif bunga kecil di seluruh kain, berwarna biru muda itu. Dua orang yang ada pun segera menoleh terkejut bersama.
"Loh! Adek kok udah pulang?"
Mendapat pertanyaan itu bungsu hanya mengernyit dahinya, kebingungan.
"Pulang kapan kamu" Tanya Zaidan sehari menghampiri nya bersama si Bapak.
Dengan polosnya gadis itu menjawab, "dari tadi, jam setengah empat"
"Astaghfirullahalazim" Ucap bapak serentak dengan Zaidan, yang kalang kabut.
"Kenapa sih? Ayok solat" Tanpa rasa salah gadis itu terus mengajak solat keduanya, ya bener tapi kan...
"Dah ah pak, solat yuk. Tu orang biarin ae lah, paling bentar lagi pulang. Toh yang bikin panik udah pulang, gih bapak wudhu, Idan yang imami" Ujarnya berjalan mendahului menuju ruang ibadah di rumah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Seven Brothers
Teen FictionSingkat saja ini tentang anak gadis yang di ratukan oleh keluarganya setelah mendiang sang ibu, anak gadis satu-satunya dalam keluarga ini,di jadi kan sebagai wsrisa dari sang ibu yang telah meninggal dunia kala melahirkan bungsunya. Sehingga ia san...