Chapter 5

27 4 0
                                    

"Kenapa kau membawaku ke tempat ini, Vale?" gerutu Wendy ketika mereka tiba pada sebuah bangunan tua yang hampir roboh bekas sebuah gazebo beberapa tahun yang lalu, tak jauh dari danau yang sebelumnya Valetta kunjungi untuk membaca buku.

"Aku memiliki kecurigaan pada keluarga Severin," ucap Valetta mantap dengan mata yang melebar dan suara yang berbisik.

Wendy mundur satu langkah. Matanya menatap Valetta dengan dingin kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan bilang, kau percaya dengan semua omong kosong yang ada di buku itu?"

Valetta mengangguk dengan cepat. "Sepertinya buku itu benar, kau tahu Nyonya Camilla yang tinggal di ujung jalan East Bow? Aku mendatanginya, dan menanyai beberapa hal padanya."

"Kau mendatanginya hanya untuk memastikan lelucon buku itu?" potong Wendy cepat dengan decakan sebal yang terdengar di akhir kalimatnya. "Kau mulai menjadi gila, kau tahu itu!?!"

"Dengarkan aku dulu, aku tidak bisa memendam semua ini sendirian. Aku tidak bisa tidur beberapa malam ini karena memikirkannya." Valetta bertutur jujur, beberapa malam yang sudah ia lewati setelah membaca buku itu dihiasi dengan mimpi-mimpi aneh yang bisa ia ingat ketika terbangun.

Wendy memutar bola matanya malas. "Baiklah, aku akan mendengarkan bualanmu kali ini."

Valetta menelan ludahnya gugup. Matanya berlarian ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada satupun yang mencurigakan sebelum ia mengucapkan kalimat mengerikan itu. "Aku pikir, Allard yang dipuja-puja itu adalah... keturunan vampir."

Wendy terdiam, menatap Valetta tanpa reaksi apapun hingga membuat wanita bertubuh gembil itu menunggu-nunggu apa yang akan dikatakannya. "Kenapa kau diam saja? Katakan sesuatu!" desak Valetta sambil menggoyangkan tangan Wendy.

Sebuah bunyi tepukan tangan terdengar dari belakang. Wendy dan Valetta segera berbalik, menatap seorang pria yang entah darimana datangnya dengan pakaian aneh yang menutupi kepalanya.

"Wah, sepertinya aku merusak acara bisik-bisik ini."

Suara bariton yang rendah mengalun seperti alunan nada kematian. Valetta menyingkir dan bersembunyi di balik belakang Wendy, tanda alarm bahaya menggema di kepala keduanya. "Siapa kau?" tanya Wendy lantang meski dadanya berdetak kuat karena takut.

"Well, sepertinya aku masih belum terkenal di kota ini." Pria itu membuka tudungnya. Kepala tanpa rambut dengan urat-urat biru yang tampak di seluruh wajahnya membuatnya terlihat sangat menyeramkan.

"Perkenalkan, aku Russell," ucap pria itu sambil membungkukkan badan hormat khas seorang pangeran kerajaan. "Dan, bolehkah aku berkenalan dengan kalian?" Russell melirik Valetta yang mengintip takut-takut dari balik lengan Wendy. Dari awal, memang wanita itu incarannya.

"Mohon maaf, kami tidak bisa berkenalan dengan orang asing tanpa pendamping. Silahkan bawa pendamping Anda di kesempatan yang lain. Terimakasih."

Wendy menarik tangan Valetta dan membawanya menjauhi bangunan tua yang hampir runtuh itu. Russell menatap kepergian dua wanita itu dengan seringai mengerikan dan mata berkilat merah. Valetta memberanikan diri berbalik menatap kembali pada sosok Russell yang masih tak bergeming di pelataran bangunan itu. Bulu kuduknya berdiri, membuat Valetta bergidik takut. Pria itu, akan menjadi orang yang selalu Valetta hindari.

Ternyata, Valetta keliru. Karena setelah hari itu, Valetta selalu bertemu lagi dengannya di mana pun ia berada, di pasar, di toko swalayan, di restoran, bahkan di belakang rumahnya yang penuh pepohonan. Russell selalu terlihat dari sudut matanya dan secara terang-terangan menatapnya dari kejauhan. Meski begitu, sampai sudah beberapa hari, pria itu tetap di sana, seolah menjaga jarak dengannya.

Valetta tersentak ketika ayahnya menepuk bahunya dengan keras. "Ada apa?" tanya sang Ayah dengan bahasa isyarat.

Valetta menggeleng. Matanya kembali melirik ke arah pepohonan yang bertiup karena tiba-tiba saja awan menghitam dan anging berhembus kencang pertanda akan hujan. "Ayo masuk, sebentar lagi hujan," ucap Valetta dengan perlahan, karena hanya isyarat bibir Valetta yang ayahnya mengerti.

Tepat ketika sepatu kulit berwarna coklat yang Vale kenakan menjajaki pintu belakang, hujan mulai turun dengan gerimis deras yang membuat suasana semakin berkabut. Sekali lagi, Valetta kembali berbalik, tiba-tiba ia ingat dengan sesuatu. Siluet tubuh Russell hampir sama persis dengan laki-laki yang ia lihat di danau dulu. Hanya saja, Russell tak memiliki rambut yang pria itu miliki.

****

Allard terlihat gelisah, beberapa kali ia meneguk ludahnya kasar dan mencoba melonggarkan kancing kemejanya yang terasa mencekik di leher. Beberapa keringat bahkan mengucur bebas dari pelipisnya, jantungnya memompa dengan cepat, membuat Allard tak bisa fokus dengan pembicaraan yang berlangsung di meja bundar tersebut.

"Sepertinya, Tuan Severin sedang tidak sehat?"

Allard mencoba mengangkat wajahnya dan menatap siapa yang bicara. "Hanya sedikit terasa panas, kita bisa lanjutkan, Tuan Robbinson." Satu teguk air mengaliri kerongkongannya yang terasa kering. Allard kembali memusatkan perhatiannya pada kesepakatan kerja yang sedang mereka bahas.

"Ini peluang sangat bagus, terlebih pada para Lady yang begitu konsumtif pada gaun-gaun yang berbahan wol. Saya pikir, kerja sama dengan pihak Timur membuat kota Eastoria semakin maju tentang tata cara berbusana. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana penduduk di sana berpakaian dengab sangat elegan baik itu pria maupun wanita."

Allard mengangguk beberapa kali. Perlahan ia mulai bisa menguasai dirinya sendiri. "Aku setuju saja. Bagaimana kalau kita percepat pertemuan ini. Lebih cepat bukankah lebih bagus?"

Robbinson tersenyum puas. Menarik investor seperti Allard memang tujuannya setelah ia berkelana mengelilingi dunia. "Tentu, Tuan Severin. Silahkan tanda tangani disini."

Setelah pertemuan itu usai. Allard bergegas keluar dari bangunan itu. Sebuah bangunan bar yang memiliki ruangan tertutup untuk mereka yang membicarakan bisnis. Beberapa kali Allard memegang jantungnya yang masih sedikit berdetak lebih cepat meski tidak sehebat sebelumnya. Bibirnya berdecak kesal melihat pemandangan di depannya. Alasan di balik tidak stabilnya pikirannya hari ini.

Valetta di sana. Keluar dari sebuah toko buku kemudian menduduki bangku besi yang sengaja disediakan oleh pihak toko kemudian membaca buku dengan sekaleng kukis yang entah dari mana ia dapatkan. Allard membenci situasi seperti ini. Bagaimana bisa ia mampu mencium aroma Valetta bahkan ketika mereka berada pada gedung yang berbeda.

"Sialan! Bahkan aku tak bisa bergerak sama sekali," kesal Allard pada dirinya sendiri.

Tanpa Allard sadari, beberapa pasang mata sedang melirik ke arahnya. Melihat seorang pria yang terang-terangan menatap wanita membuat beberapa orang mulai berpikiran lain. "Apa seleramu jadi turun, Tuan Louis?"

Allard menutup matanya. Suara itu, dan panggilan itu ia hafal sekali. Maka dengan berat ia menoleh ke belakang dan menemukan seorang wanita yang berdiri tepat dua langkah dari dirinya sedang melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapnya tak suka.

"Mau apa kau disini?" tanya Allard dingin.

Wanita itu mendekat dan menutupi pandangan Allard pada Valletta. "Tentu ingin bertemu dengan calon tunanganku."

The Secrets of AllardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang