Allard Louis Severin, pria paling panas yang sudah dinobatkan hampir satu dekade di wilayah timur. Pesona pria matang dengan kekayaan melimpah membuat semua wanita ingin berada dalam kungkungannya. Hanya saja, ada segelinting rumor yang sedikit tida...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kalau diingat-ingat, mansion Severin tak pernah terbuka untuk umum lagi saat mendiang ayah dari Allard melangsungkan pernikahannya, Tuan Aldrich Jhone Severin. Ballroom yang mereka miliki pun tak seindah milik mansion-mansion lain yang mulai berbenah dengan desain keramik dan ukiran-ukiran rumit. Allard masih menyukai ballroom yang memiliki ruang lebih luas dari yang lainnya di bangunan utama itu tetap seperti saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di tempat ini.
"Hanya perlu menambah beberapa meja, bunga, dan lampu gantung hias. Semuanya akan sempurna."
Allard yang sedang menduduki bangku piano berwarna hitam yang berada di paling ujung ruangan itu hanya diam tak menanggapi kalimat Bibi Marta. Selain karena memang dia setengah hati mengadakan pesta ini, Allard benci kebisingan. Hanya saja, dia tak punya banyak energi untuk mendebat Bibi Marta yang merupakan adik tiri dari ibunya itu.
"Seharian ini, Aubrey tak keluar dari kamarnya. Aku tiba-tiba merasa cemas. Apa kau mau melihatnya?"
"Dia perlu waktu, Bi. Biarkan saja," ucap Allard acuh seperti biasa.
"Baiklah, aku akan memeriksa dapur. Kau bisa lakukan apapun yang kau mau, tapi tidak dengan pembatalan pesta."
Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru beberapa waktu yang lalu Allard masih menduduki bangku piano, dan sekarang ballroom miliknya itu sudah mulai dipenuhi oleh para undangan. Allard menatap kedatangan para kereta kuda dari jendela kamarnya di lantai dua. Hatinya bergemuruh, napasnya tak beraturan ketika melihat sebuah kereta kuda kayu tanpa simbol keluarga siapapun memasuki halamannya.
"Dia datang," ucap Vincent menepuk ringan bahu Allard.
Allard mengepalkan tangannya. Sungguh, dia sedang berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tak melompat dari jendelanya dan mendatangi kereta itu. Kereta yang di dalamnya terdapat Valetta yang entah kenapa malam ini aromanya terasa lebih menusuk.
"Katrina akan memberimu sebuah ramuan. Ramuan itu membuatmu tak mencium aroma apapun selama kau tak menyentuhnya. Kau mengerti maksudku, kan?"
"Kau tahu apa yang terjadi denganku, Vi?" tanya Allard dengan nada frustrasi.
Seharusnya, Allard tak secandu ini dengan Valetta. Seharusnya, dia akan merasa baik-baik saja setiap kali mereka bertemu atau berada di tempat yang sama. Meski memang ada nasehat dalam buku leluhurnya jika darah manusia membuat ketagihan, tapi Allard tak mengira jika rasanya sedahsyat ini. Anehnya, perasaan meluap-luap itu hanya ia rasakan pada Valetta. Sosok yang bahkan hanya segelintir orang yang mengenalnya di Eastoria.
"Sepertinya ... dia mate-mu."
****
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Valetta hadir dengan gaun cantik perpaduan warna ungu dan abu-abu yang tampak lembut. Tak ada yang memperhatikannya, semua orang sibuk berbincang-bincang dan mencari-cari di mana sosok tokoh utama yang katanya sedang mencari pengantinnya. Valetta menuju sebuah meja panjang yang penuh dengan makanan manis, matanya berbinar, air liurnya hampir menetes ketika melihat sebuah cake yang dipenuhi lelehan coklat.
"Tahan nafsu makanmu, Vale!"
Valetta menyentak tangannya dengan cepat ketika ia mendengar suara Wendy menginterupsi kegiatannya, padahal hanya tinggal satu inci saja maka cake itu akan menyapa lidahnya. Tapi sayang, Valetta cukup ngeri mendengar seruan Wendy hingga akhirnya ia meninggalkan cake itu dan berbalik menatap Wendy yang berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat di depan dada.
"Oh ayolah, aku bahkan belum memakan apapun sejak bersiap, Wendy," ucap Valetta dengan memelas.
"Hanya apel. Aku tidak ingin gaun indah mu ini akan robek seperti yang sudah-sudah."
Valetta menurut, mengambil sebiji apel yang terlihat merah dan menggigitnya dengan kasar khas orang kesal. Kalau saja bukan karena rasa penasarannya dengan keluarga Severin, dia pasti tidak akan berada di sini dan menuruti titah Wendy Owen si perfeksionis itu. "Kau puas?" ucap Valetta dengan mulut penuh.
Wendy tersenyum lebar. "Puas sekali, sekarang mari kita menjelajahi tempat ini, kau pasti penasaran, bukan?"
Baru saja mereka akan melangkah meninggalkan ballroom, suara pintu terbuka membuat perhatian semua orang teralihkan. Di sana, Allard dan Bibi Marta memasuki ruangan. Allard hanya memakai pakaian serba hitam dengan tatanan rambut yang menampilkan dahinya, tapi semua orang bahkan Valetta sendiri merasa lututnya melemas.
"Auranya benar-benar berbeda," bisik Wendy pada Valetta.
Netra hijau Valetta menatap setiap gerakan yang Allard lakukan terasa melambat, entah hanya penglihatannya saja, tapi ia merasa Allard menatapnya. Tidak lama, mungkin hanya sepersekian detik, tapi tatapan itu, netra hitam itu, membayang-bayang di pelupuk matanya.
"Kau terpesona."
Valetta menggeleng. "Tidak!"sergahnya cepat.
****
"Kau terlihat berbeda dengan rambut itu, Russell."
"Aku mencoba menyamar semirip mungkin dengan manusia, Pangeran. Apakah sudah sama dengan mereka?"
"Cukup bagus.Tapi, kau masih tetap jelek."
"Di dunia ini hanya Pangeran Drake yang paling tampan," sembah Russell penuh hormat.
Drake hanya memberikan senyum tipis kemudian segera berjalan mendahului. Jubah panjangnya menyapu lantai, kakinya sudah mulai kuat untuk dibawa berjalan dan itu karena darah naga yang Russell tumbangkan di hutan terdalam. Meski begitu, kekuatannya belum kembali. Perlu waktu lama hingga ia siap mengambil alih kembali dunia immortal.
Mansion Severin terlihat berkilau dari kejauhan. Drake dan Russell menatapnya dari atas pohon yang tinggi. "Sebentar lagi, Severin itu akan menemukan pengantinnya."
"Apa yang harus kita lakukan, Pangeran?"
"Menunggu. Hingga anak itu lahir, dan bawa dia padaku. Keturunan vampir campuran akan membuatku semakin kuat."
Keturunan vampir campuran akan membuatku semakin kuat.
Aubrey tersentak ketika telinganya mendengar bisikan dengan suara yang ia kenal. "Suara itu ..."ucapnya bergetar takut.
Sebelumnya, Aubrey tak berniat untuk bangun, apalagi mengikuti pesta yang sedang diadakan saat ini. Tetapi, bisikan itu menyadarkannya hingga rasanya kepalanya seperti disiram air es yang dingin. Tubuhnya mendadak menggigil karena aura gelap yang ia rasakan mulai mengitari tubuhnya. Samar-samar dari sudut mata kiri, Aubrey melihat asap hitam yang masuk dari celah pintu balkon kamarnya.
Aubrey menegang. Sekuat tenaga ia mencoba menggerakkan kepalanya dan menoleh pada sudut balkon yang gelap. Matanya membulat, rahangnya hampir lepas ketika ia melihat sosok yang berdiri menjulang dari balik pintu kaca.
"D-Drake," ucapnya dengan terbata.
"Lama tidak berjumpa, adikku."
Lutut Aubrey lemas. Hampir saja ia kehilangan kesadarannya karena mata dan kepalanya sendiri bisa melihat sosok Drake yang dikabarkan mati. Lelaki yang sialnya adalah saudara kembarnya itu memang berbeda sejak lahir, jiwanya terlahir dengan iblis yang haus darah dan kekuasaan. Tak ada cara lain bagi orang tua Aubrey selain menyingkirkan Drake dengan cara membunuhnya. Tapi, membunuh Drake tidak semudah itu. Pria itu memiliki tujuh nyawa yang tersebar, hingga jika satu hilang, dia masih punya enam.
Drake tetap diam di sana tak bergerak, dalam hatinya ia menyukai bagaimana reaksi Aubrey yang terlihat begitu lemah saat bertemu dengannya. "Jangan pernah berpikir untuk mengacaukan rencanaku, Cally. Anakmu dan Severin tidak akan pernah lahir. Aku pastikan itu."